“Jangan gila, Hadi.” Liani membentak kekasihnya, tidak peduli kalau lelaki itu masih diperban. “Aku sama sekali tidak gila.” Hadi tersenyum manis menatap kekasihnya itu. “Aku bisa melakukan ini dan akan menang.” “Demi Tuhan! Kenzo itu mengajakmu balapan motor di sirkuit. Bukan mengajakmu lomba makan. Tanganmu masih di gips.” Liani tidka bisa tidak berteriak ketika mengatakan itu. Bagaiamana mungkin Liani tidak emosi. Dalam keadaan bahu dislokasi dan tulang tangan retak, tentu saja Hadi tidak mungkin mengendalikan motor dengan baik. Lelaki itu bisa terjatuh dan terluka makin parah. Hal lain yang membuat Liani kesal adalah kekasihnya menerima tantangan sang putra yang tidak masuk akal itu dengan penuh percaya diri. Liani tak habis pikir bagaimana Hadi bisa sepercaya diri itu ketika dia terluka. “Wow. Ini keren.” Liani mendelik tajam ke arah putranya, ketika mendengar suara teriakan itu. “Aku tidak pernah balapan di sirkuit dan baru pertama kali menggunakan motor balap.” Kenzo yan
“Will you mary me?” Hadi bertanya sambil berlutut dengan satu kaki dan cincin di tangannya yang tak terluka. Pria itu langsung melakukannya ketika balapan sudah selesai, dengan dirinya sebagai pemenang. Hal yang sudah dipersiapkan sejak lama, namun baru bisa terlaksana sekarang. “Oh, yang benar saja.” Kenzo mengeluh setelah sang ibu menjawab ‘yes’ dan memeluk Hadi. “Ya. Ini sama sekali tidak lucu,” gumam Reino jelas ikut merasa kesal. “Kenapa kau ikut kesal? Padahal bukan ibumu yang dilamar pria tak dikenal.” “Karena yang melamar itu karyawanku. Bayangkan bagaimana kau bekerja dengan ayah mertuamu.” Kenzo melebarkan bibirnya karena terkejut baru mengingat hal itu. Rasanya itu akan sangat canggung. “Kau sendiri? Kenapa tak suka pada Hadi?” tanya Reino menyaksikan semua orang berbahagia atas lamaran itu. Rasanya hanya dia dan Kenzo yang tidak. “Karena aku tidak ingin Mama kecewa lagi. Aku tidak ingin lelaki yang Mama nikahi sama bodohnya dengan almarhum papaku.” “Wah, du
“Rei?” Lydia bergumam dengan suara serak, ketika merasakan ranjang di sebelahnya sudah dingin. Itu artinya Reinno sudah lama bangun. “Kau sudah bangun?” Lelaki yang Lydia cari kini muncul dari walk in closet. “Loh kok sudah rapih? Memangnya ini sudah jam berapa?” Lydia terlonjak melihat suaminya yang sudah siap berangkat kerja. “Baru jam 7 kok. Santai saja.” Reino duduk di tepi ranjang dan merapikan rambut sang istri yang berantakan. “Bagaimana bisa santai.” Lydia menggeram marah. Perempuan itu turun dari ranjang dengan membawa selimut untuk membungkus tubuh telanjangnya. Ini jelas saja sudah sangat terlambat untuk bersiap-siap ke kantor. “Santai saja, Sayang.” Reino kembali mengulang kalimatnya, sambil menarik istrinya untuk duduk di ranjang.“Astaga Kak Rei! Kita bisa telat kalau aku tidak siap-siap dari sekarang.” Lydia jelas saja mendesis mendengar suaminya. “Kau itu istri yang punya perusahaan. Siapa yang mau menegurmu kalau terlambat ke kantor? Lagi pula, kau tidak punya
“Kita ke restoran?” Lydia bertanya dengan kedua alis terangkat naik. “Ya. Apa kau tidak suka tempat yang kupilih?” tanya Reino agak panik melihat raut wajah istrinya yang terlihat tidak suka. “Gak sih. Aku suka, cuma kenapa tiba-tiba? Padahal biasanya juga makan di rumah saja.” Lydia menoleh melihat sang suami. “Aku hanya sedang ingin saja, Sayang. Sesekali kan tidak apa-apa kalau aku memanjakan istri.” Lydia menatap suaminya dengan mata yang menyipit. Dia merasa aneh dengan kelakuan Reino hari ini, tapi sudahlah. Soal makan malam di luar jelas bukan sesuatu yang aneh. “Tunggu sebentar, biar kubukakan pintu.” Reino menahan istrinya yang akan turun dari mobil. Walau merasa aneh, tapi Lydia membiarkan suaminya. Dia tentu saja merasa senang kalau diperlakukan istimewa seperti ini, apalagi Reino bukan orang yang romantis. “Baiklah.” Lydia memeluk lengan suaminya dengan erat. “Kau ini kenapa sih? Kok tiba-tiba jadi romantis? Mencurigakan.” “Astaga! Kenapa hari ini kau terus menga
Setelah kejadian malam itu, Reino benar-benar berusaha untuk membuktikan kalimatnya. Dia berusaha sebaik mungkin jadi ayah siaga dan suami romantis, apalagi malam itu Lydia sudah melayaninya di tempat yang seharusnya. Yup. Saat di restoran kala itu, mereka dengan beraninya bercinta. Bukan di dalam ruangan makan, tapi di kamar mandi. Agak riskan, tapi berhasil dilalui dengan sangat baik. Itu jelas saja membuat Reino makin bersemangat untuk menjadi suami yang baik. Tentu saja Lydia juga senang dengan kelakuan suaminya itu. Seperti yang terjadi hari ini. “Udah selesai belanja dengan mama?” Reino menanyakan itu dari sambungan telepon. “Ya. Sekarang kami lagi makan karena tiba-tiba aku pengen pizza. Kamu bisa datang ke sini gak, Rei?” tanya Lydia dengan nada manja. “Itulah gunanya aku meneleponmu. Aku memang ingin menjemput.” Reino membalas dengan senyuman. “Bagi lokasinya ya. Aku akan segera ke sana.” “Kau terlihat makin mesra dengan Reino ya.” Liani berbicara ketika putrinya
Lydia menatap Pak Hadi dengan tajam. Ibu hamil itu sudah beberapa menit seperti itu dan membuat Pak Hadi jadi salah tingkah. Bahkan Reino pun jadi agak salah tingkah. “Anu, Mbak. Ada apa saya tiba-tiba dipanggil?” tanya Hadi merasa sudah terlalu lama berdiri di depan kedua bosnya. “Apa kau sudah bosan hidup?” Lydia bertanya dengan nada ketus. “Tentu saja saya masih ingin hidup karena saya akan menikah sebentar lagi,” jawab Hadi tanpa berpikir. “Ya, itu. Kau kan sudah akan menikah, jadi kenapa membuat ibuku hamil di luar nikah?” Lydia menghardik dengan nada yang masih sama kesalnya. “Oh? Apa Liani sudah melakukan tes?” tanya Hadi tanpa merasa bersalah sama sekali. “Tunggu dulu.” Tiba-tiba saja Reino menyela. “Maksudmu Mama Liani hamil?” tanya lelaki itu dengan mata melotot. “Maksudnya kau akan punya adik lagi?” Reino kembali bertanya setelah istrinya mengangguk. “Anak dari Hadi?” Suara Reino makin lama makin membesar. Dia sungguh amat sangat terkejut mendengar berita ya
Setelah menjalani pemeriksaan, rupanya Liani benar-benar hamil. Baru sekitar sebulan, tapi itu membuatnya jadi cemas. Bukan saja cemas ini akan membuatnya kelelahan di hari pernikahan, tapi juga cemas dengan Lydia dan Kenzo. Biar bagaimana, pendapat kedua anaknya itu penting. “Wuah.” Kenzo langsung memekik senang mendengar kabar itu. “Aku akan punya adik? Sungguh?” Liani senang ketika melihat putra bungsunya itu antusias mendengar berita bahagia yang satu itu. Artinya sekarang tinggal Lydia saja. “Asal jangan banyak-banyak. Kalau satu masih bisa kumaklumi.” Pada akhirnya hanya itu yang bisa dikatakan Lydia pada ibunya, walau dengan tampang yang masih tak rela. Desahan napas lega langsung terdengar ketika Liani mendengar kalimat putrinya. Setidaknya kini tak ada lagi yang membebani pikirannya, selain harus segera menutup kandungan setelah melahirkan nanti. “Terima kasih karena mau memberi Mama satu kesempatan lagi,” bisik Liani memeluk lengan putrinya yang terasa makin gemuk.
“Bagaimana ini?” Liani tampak panik ketika melihat putrinya sampai ke rumah lama mereka. “Mama kenapa?” Lydia segera menaruh tasnya di sofa dan duduk di samping sang ibu dengan wajah cemas. “Tadi mamamu ada sedikit flek.” Pak Hadi yang akhirnya menjelaskan kondisi calon istrinya itu. “Jadi kami pergi ke dokter karena Liani agak khawatir dan ternyata ....” “Kantong janinnya ada dua,” lanjut Liani memotong kalimat calon suaminya. “Hah?” Reino dan Lydia bergumam bersamaan. “Sepertinya kembar.” Lagi-lagi Hadi yang menjawab. “Maaf, Lyd. Mama bener-bener gak sengaja. Padahal kau sudah mengatakan hanya ingin satu adik lagi, tapi pada akhirnya jadi dua. Mama khawatir padamu.” Liani makin panik saja. Jujur saja, Lydia sangat syok. Dia tak menyangka akan mendapat dua adik lagi dan ingin protes, tapi mau apa lagi? Sudah terjadi juga dan dia tak bisa menyalahkan sang mama. Liani jelas tidak bisa mengontrol hal seperti itu. “Tidak apa-apa kok, Ma.” Lydia akhirnya berbicara setelah diam cu