Di Lampung.Pukul sembilan pagi, mobil yang mengantar Pramono memasuki area kampus. Halaman yang luas, pepohonan rindang di halaman, bunga-bunga yang menghias di hampir semua sudut, seketika menyambut kedatangan mereka. Sejuk dan asri.Di jok kiri depan, Pramono melihat Nadya mengedar pandang. Terlihat dari bagaimana wanita itu memperhatikan sekitar dengan mata nyaris membulat, dia tahu istrinya suka tempat-tempat semacam itu.Memasuki halaman parkir, tampak dua orang telah berdiri di teras depan kampus. Pramono melangkah turun diikuti Nadya. Bak artis yang kedatangannya telah ditunggu-tunggu, keberadaan Pramono langsung disambut hangat.“Selamat pagi, Kak?” sapa salah satu dari mereka. Sementara satu lagi memilih diam melainkan mengulurkan tangan diiringi senyum ramah.Pramono menyambut uluran itu tak kalah hangat. “Apa saya terlambat? Di mana lokasinya?”“Tidak, Kak. Mari saya antar.”Nadya dan Pramono melangkah mengikuti dua orang di depannya. Aula kampus itu begitu luas. Kursi-kur
“Tante Annisaaa ....” Teriakan Tasya seketika membuat wanita berhijab di depan meja, menoleh. Binar bahagia. Senyum mengembang begitu saja di bibirnya. “Tasyaaaa ...” teriak Annisa pura-pura histeris. “Tante kangen sama kamuuuu ...” Gadis itu merendahkan posisi tubuh, menyambut kedatangan putri dari bosnya dengan kedua tangan terbuka. Isyarat pelukan. “Tasya udah pulang?” Tasya berangsur cepat lalu mengangguk. “Dijemput bunda. Papa kok lama, Tante?” Bibir Tasya mengerucut. Sekilas itu membuat Annisa ingin menggigitnya karena gemas. Mendengar pertanyaan itu, Annisa mengangkat wajah. Memandang wanita cantik yang berdiri di belakang bocah itu. “Papa kan baru pergi kemarin, Kak. Hari ini baru dari sana.” “Masih lama ya, Tante?” “Um .... Mungkin sebentar lagi,” Annisa mengusap pipi bocah itu. “Tasya mau es krim?” “Mau. Mau. Mau.” “Ayo kita beli es krim!” Lincah, Tasya mendahului langkah. Sementara Annisa dan ibu sambung gadis itu menyusul di belakangnya. Hening dan canggung. Awaln
Perjalanan ke Bandung masih lama. Ada yang berat di pangkuan, tapi Nadya tak bisa mengatakan jangan.Memandang dari dekat wajah pucat Pramono, hangat kembali merebak di kedua matanya dan nyaris menitik. Nadya menahan dengan menggigit bibir yang bergetar itu. Lalu seperti itu belum cukup, satu tangannya terangkat begitu saja, menutupi dengan punggung tangan agar jangan sampai terdengar isak.Ada yang mengganjal besar di dada. Menghadirkan penyesalan mendalam, namun dia tak tahu yang mana. Nadya merasa melakukan begitu banyak salah pada laki-laki itu dan keluarganya. Mempermalukan nama baik orang tua dengan perilaku yang tak bisa dimaafkan.Dari kaca spion, Nadya sempat menangkap Mardi mencuri pandang. Tentu saja, orang baru macam apa yang berhasil mendapatkan kata rindu dari atasannya, jika bukan seseorang yang dikenal baik? Bahkan mungkin sangat baik.“Pak, saya butuh penurun panas. Bisa minta tolong belikan di apotek sebentar?” Nadya memandang laki-laki di jok kemudi dari pantulan ka
“Sudah siap?” tanya seseorang saat Nadya membuka pintu rumah. Laki-laki itu mengenakan setelan kemeja kasual yang anehnya, meski motif namun tampak rapi dalam pandangan Nadya. Edwin. Dia memandang laki-laki yang berdiri di halaman, lalu menghela napas tak percaya. “Sejak kapan kau di situ?” Edwin mengedikkan bahu. “Andai tak membebanimu, mungkin aku sudah datang sejak semalam.” Kedua mata Nadya membulat. Wanita itu menggeleng tak percaya. “Astaga. Orang akan menggerebek kita karena dianggap pasangan mesum.” Usai mengunci pintu, Nadya melangkah mendekati laki-laki yang bersandar di kap mobil dengan tangan terlipat di dada. Edwin terkekeh. “Siapa yang akan berpikir begitu? Aku datang untuk menagih uang kontrakan.” “Baik. Berapa harus saya bayar, Pak?” Nadya melotot. Laki-laki itu kembali terkekeh. Di ujung jalan, Shofwa tampak memandang ke arahnya. Gadis itu telah rapi dengan pakaian panjangnya yang khas, dan hijab yang menutup hingga perut. Nadya melambaikan tangan dengan seulas
“Mereka nggak tak tahu aja siapa Kak Nadya,” sambung Hana lalu menghembuskan napas pasrah. Cup kopinya terisi penuh. Lalu melangkah mendekati meja. Nadya menoleh pada gadis itu. “Mereka?” ulangnya. “Tidak tahu siapa aku?” lanjutnya. Di telinga Nadya, kalimat itu terdengar seperti—Hana tahu siapa dirinya. “Iya, Kak.” Hana menatap ragu. “Jadi kamu tahu siapa aku?” tanya perempuan itu memastikan. Merasa mengucapkan kalimat yang keliru, Hana menunduk. “Astaga,” desis Nadya. “Lalu siapa yang menyebarkan isu pelakor itu?” tanya Nadya akhirnya. Jevri dan Hana saling memandang. “Dia ...” *** “Astaga.” Nadya menghabiskan kopi dalam cup miliknya lalu membuang napas jengah. Tangannya mengepal, hingga paper cup bekas miliknya teremat tak berbentuk. ‘Apa maksudnya ini?’ Perempuan itu bangkit. Lalu dengan langkah panjang meninggalkan pantri, menuju mejanya. Nadya menghempaskan diri ke kursi. Tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Dia tak habis pikir, bagaimana bisa seorang
Wanita di tengah ruangan membuang muka. Ratna melirik wajah suaminya. “Tidak,” jawab Pramono. “Aku hanya butuh kau tak pergi dari sini. Jangan pergi ke mana-mana ... istriku,” lanjutnya menatap tajam wanita yang berdiri itu seakan kalimat itu memang ditujukan untuknya. Dari ujung mata, Ratna memandang wanita yang mematung itu. Getar-getar halus di tubuhnya terlihat, meski dia yakin susah payah wanita itu berusaha menyembunyikannya, agar jangan sampai terlihat lemah di mata Ratna, sama seperti sebelumnya. Detik berikutnya, tepat ketika suara isak tertahan itu terdengar, Nadya melangkah keluar. Pintu tertutup. Ratna yang semula menunduk, menahan diri dari apa pun yang ingin dia ucapkan, kini memandang laki-laki yang memejamkan mata di tempat tidurnya, menuntut penjelasan. Desir-desir halus berubah menjadi debar-debar menyakitkan, lalu mencair menjadi tetes-tetes air mata. “Mas mengatakan itu untuk Nadya, bukan?” ucap Ratna di antara isak tertahan. Wanita itu tersenyum pada detik b
Beberapa menit sebelumnya. “Mas sarapanlah dulu.” Ratna meletakkan mangkuk sayur di meja. Satu piring dia ambil dan meletakkannya di depan Pramono. Di atasnya, nasi lengkap dengan sayuran telah tersaji. “Terima kasih,” jawab Pramono melirik wanita di seberang meja sebentar. Tampak sembab di wajah itu. Dia yakin, Ratna menangis belum lama tadi. Beralih ke piring, laki-laki itu meraih sendok di atasnya. “Kau baik-baik saja?” Ratna tertawa datar. “Apa ada yang baik-baik saja, setelah diceraikan suaminya?” Butuh waktu bagi Ratna untuk mendengar tanggapan laki-laki di depan meja. Wajahnya menunduk ke arah makanan di hadapan. “Aku hanya tak ingin membebanimu, Ratna,” ucap Pramono dengan nada begitu rendah. “Aku tahu.” Wanita itu mengangguk. “Itulah kenapa kuminta Kak Syarif datang untuk menjemput ke sini.” “Syarif? Asisten Ayah?” “Ya.” Pramono manggut-manggut. Kabari aku saat dia datang. Aku harus ke kantor sebentar. *** Usai mengantar Tasya ke sekolah, Pramono bergegas menuju kan
“Mas, di sini.” Annisa melambai pada laki-laki yang mengedar pandang di tepi alun-alun kota Bandung. Topi hitam di kepala. Jam di tangan kirinya. Laki-laki berkemeja putih itu menoleh. Lalu tersenyum. Dia melangkah mendekat. Namun perempuan dari arah sebaliknya melangkah lebih cepat. Gadis itu berhenti ketika jarak mereka hanya tersisa beberapa senti. Dengan teliti, dipandanginya wajah itu. Binar kebahagiaan terpancar jelas di matanya. Senyum jujur yang dibalut rasa malu. Satu lagi ... rasa yang sama. Annisa hampir tak percaya bisa melihat laki-laki itu datang begitu jauh hanya untuk menemuinya. Annisa melangkah maju dengan kedua tangan terbuka, dan merengkuh erat tubuh laki-laki itu. “Aku kangen, sama Mas.” Ragu, laki-laki itu mundur selangkah. Kedua tangannya sempat akan mengurai dekapan Annisa, namun akhirnya memilih membiarkan ketika dekapan itu terasa lebih erat. *** “Ratna!” Mendengar namanya dipanggil, wanita di pintu keluar bandara menoleh. Wajah yang semula sendu, beru