Gimana perasaan kalian kalau jadi Annisa?
Andai ada aku yang lain, aku pun tak rela menyerahkanmu pada yang lain. -Nadya Arfianti — Ali menenggak minuman bersoda di depannya seperti orang kehausan. Lalu meletakkannya kembali dengan sedikit tekanan. Annisa tersentak kaget, dan menatap bingung laki-laki itu dan Nadya bergantian. “Baiklah, ayo, Sa.” Ali bangkit. “Ya? K—kemana?” tanya gadis itu. “Kemana pun, mewujudkan keinginan kakakmu itu.” Ali menatap Nadya dingin bersamaan dengan tatapan bingung Annisa pada orang yang sama. Nadya mengangguk, isyarat agar Annisa setuju. “Uncle, Uncle, Asya ikut,” rengek bocah di sebelah Ali yang diam-diam menguping mereka. Ali memandang Tasya sesaat lalu menarik bibirnya samar. “Boleh.” Diraihnya bocah empat setengah tahun itu. Sebuah kecupan mesra mendarat di pipinya. Ali melangkah keluar membawa serta Tasya dalam dekapan. Nadya berpaling pada Annisa, menggenggam tangannya erat. “Gih, Sa. Tolong jaga Tasya.” “Tapi, Mbak ...” “Ali laki-laki baik. Kamu lihat sikapnya ke Tasya, ‘kan
“Siapa yang mengizinkan kamu melibatkan Annisa? Ha?” geramnya, “apa pilihanku melajang, membuat kamu rugi?” Sekali lagi pandangan mereka saling mengunci. Menyadari Ali begitu marah, Nadya berpaling. Namun, dia keliru jika mengira Ali akan membiarkannya begitu saja. Demi menahan perempuan itu tak berpaling, dengan tangan kanan Ali mencekal dagunya hingga buku jarinya memutih. “Aku tidak memaksa kamu menerimanya, bukan? Tidak sekali pun.” Ali mengatakan itu untuk dirinya sendiri. Berharap dengan begitu berhenti menyesal dan memulai hidup baru. Berharap dengan begitu dia pun sadar bahwa Nadya tak mungkin lagi dia miliki. “Bahkan ketika aku bisa saja membawa kamu lari, aku memilih membiarkan kamu menikah dengan Pram. Apa masalah kamu, ha?” Sekali lagi ... dia mengatakan itu pada dirinya sendiri. Pandangan mereka mengunci sekarang. Dengan hati kacau, Nadya berusaha mendorong laki-laki di depannya meski berakhir sia-sia karena Ali masih menahan dagu dan lengan kirinya. Nadya melangkah
Dan inilah akhirnya. Akhir dari semua cerita masa lalu yang belum selesai. Ketika hati gagal menahan diri, maka nafsu akan menguasai. Rindu menggebu yang lama terbendung akhirnya meluap dan terurai hingga melanggar batas. Di depan kamar Nadya, masih dengan bertelanjang dada, Ali terduduk dengan dua kaki terlipat. Waktu menunjukkan pukul delapan lima puluh malam saat terdengar dering panjang telepon dari kamar Nadya. Ali menoleh tanpa benar-benar melihat pintu yang tertutup itu. Menyadari siapa yang telepon, Ali menajamkan pendengaran demi mendengar apa pun suara di dalam, dan dia akhirnya tahu suara isak itu berhenti. Di kamar, menyadari ponselnya berdering, Nadya tersentak seperti tersangka yang tertangkap basah melakukan kejahatan. Dia yang semula berada di depan pintu, menyeret tubuh hingga ranjang untuk meraih ponsel. Nama Pramono muncul sebagai penelepon. Nadya berdeham. Dengan tangan gemetar menyeka sisa air mata di pipi. Sekuat hati berupaya menenangkan diri dan menampakkan
Mendengar suara panggilan, Nadya dan Ali terenyak. Keduanya memandang satu sama lain. “Ibu, Mas,” bisik Nadya. Ali tersenyum. Ditatapnya lekat perempuan dalam kuasanya itu. “Inilah salah satu hal yang kubilang kita hadapi bersama.” Lalu sebuah kecupan melayang di pipi Nadya. Rindu di hatinya belum juga lunas meski perempuan itu telah berada dalam dekapannya. Dalam pelukannya. “Nad!” panggilan itu kembali terdengar diiringi ketukan di pintu. Nadya gusar. Sebaliknya, Ali tak bergeming. Alih-alih berhenti, dia justru menjatuhkan diri, mengangkat Nadya ke atasnya. Nadya mengernyit. Kedua tangannya ke depan, menahan. “Tapi, itu ibu, Mas, aku harus buka,” bisiknya lagi. Kecemasan tampak jelas di wajahnya. Seperti tak ingin mendengar apa pun, Ali memejamkan mata. Kedua tangannya bergerak seirama. Nadya mendesis. “Mas!” Nadya menggeram pelan, berharap Ali mendengarkan. “Aku harus buka pintu!” Ali menghentikan gerakannya. “Lalu membiarkan ibumu tahu?” tanyanya menatap lekat wanita itu.
Pukul sembilan pagi, setelah malamnya gagal menemui sang putri, Dinar kembali datang. Berbeda dengan semalam, paginya Terios hitam tidak lagi di halaman. Dinar yakin betul itu bukan milik menantunya. Lalu milik siapa? Dia kerap melihat itu di halaman rumah Ali saat mengunjungi mertuanya. Sialnya Dia tak cukup awas untuk meneliti pelat mobilnya. Sampai malam tadi. Dinar sadar betapa pentingnya dia tahu hal itu. Tapi, terlalu jauh jika harus berpikir sampai ke sana. Nadya sudah bahagia dengan Pramono walau akhir-akhir ini kedekatan dengan Ali mulai membuatnya cemas. Dinar takut Ali ... mungkin lebih tepatnya perasaan Nadya yang merusak semuanya. “Assalamualaikum, Nad?” sapaan salam terucap. Dan belum ada jawaban. Rumah itu lumayan besar, wajar suara lirihnya tidak terdengar dari dalam. Dinar meraih knop dan menyelip masuk setelah sukses membukanya. Dia tahu putrinya di rumah. Terdengar dari peralatan dapur yang beradu di ujung ruangan yang tertutup tirai. “Belum matengan, Nduk?” ta
Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi saat terdengar dering singkat dari ponselnya Nadya. Pandangannya yang semula tertuju pada laptop, kemudian teralih pada benda di atas meja. Nama Annisa muncul di bar notifikasi. Nadya membukanya cepat lalu tampak kerutan dalam di dahi sesaat setelah membaca isinya. Tak yakin, dibacanya sekali lagi pesan itu dengan setengah berbisik hanya demi memastikan apa yang dia baca tidak salah. ‘Mbak, kapan kita bisa ngobrol lagi? Aku mau bahas sesuatu sama Mbak Nadya,’ tulis Annisa membuat kerutan di dahi Nadya semakin dalam. ‘Tumben,’ pikirnya. Setelah memastikan jawabannya, Nadya mulai mengetik, ‘Mbak menyesuaikan jadwal kamu,’ balasnya. ‘Mau bahas apa? Tumben?’ timpanya lagi. ‘Ada, deh ...’ balas Annisa. Nadya mengulum senyum. Jemarinya kembali mengetik. Lalu meletakkannya kembali setelah mengetuk panah hijau. ‘Tumben ngajak ketemuan duluan? Bahas apa?’ Meski penasaran, Nadya memilih mengabaikan. Dia akan tahu setelah mereka bertemu nanti. Pandang
“Ayo kita lari.” Suara Nadya di kafe sore itu kembali terngiang di benak Ali. Dengan tegas, laki-laki itu menolak ide Nadya yang dengan wajah frustrasi meminta dibawa lari. Dengan alasan pernikahan tak bahagia tanpa restu orang tua Ali menolak mentah-mentah meski akhirnya menyakiti hati wanita yang dicintai. Pun jantungnya pula, ketika Ikhsan tetap pada keputusannya. Ali hancur. Dia yang berprinsip cara terbaik mencintai wanita adalah dengan menikahinya, nyatanya sekarang justru merusak kesuciannya. Lihat apa yang terjadi sekarang? Lari jelas lebih baik dibanding mencuri milik orang lain, bukan. Andai saat itu dia terpikir untuk bernegosiasi. Menemui Pramono dan membicarakannya baik-baik, kira-kira akan berakhir seperti apa sekarang? Mengabaikan map laporan penjualan mebel bulan ini, Ali mengusap ujung dagunya. Diraihnya ponsel di meja, dan mulai mengetik pesan. **** Melihat nama Ali muncul di bar notifikasi. Nadya mengulum senyum. Dia buru-buru membuka lalu meletakkan kembali
Setelah paginya sang ibu dan malamnya Pramono, Nadya semakin sadar, dilihat dari sudut mana pun, meski hati saling mencintai—dalihnya—hubungan dua manusia di luar pernikahan tetaplah salah. Bukan cinta namanya jika harus ada yang dikhianati sebab cinta salalunya adalah pemberian yang penuh kasih dan tanpa pamrih. Dengan wajah tertegun dan senyum getir, pandangan Nadya kembali tertuju pada dua cangkir kopi yang bersanding di meja. Andai keadaan semudah dua gelas itu. Alangkah bahagianya. Bukan hanya tentang niat menjodohkan Annisa, sesaat Nadya bahkan lupa pada suami, anak, dan keluarga yang pasti sangat kecewa—andai semua perbuatan bejat mereka sampai terbongkar. Nadya meletakkan gawai yang semula dia genggam ke atas meja sebelum duduk dengan kedua tangan mengusap letih wajahnya. Entah akibat tekanan yang baru diterima atau akibat kelelahan, Nadya merasa kepayahan menghadapi perasaannya sendiri. Detik berikutnya, perempuan itu menoleh pada Ali saat terdengar sebuah pertanyaan, “Jad