“Mbak Nisa di sini dulu, ‘kan?” Hasna meletakkan piring bekas makan putrinya ke wash bak. Dengan cekatan perempuan itu mencuci tangan lalu mengusap bibir putrinya yang berlepotan dengan sisa air di tangan, dan mengulangi gerakan itu untuk beberapa kali hingga bersih. “Mbak Nana kan lebih tua dari aku, kenapa panggil aku ‘Mbak'?” Malu-malu Annisa mengatakannya sambil mematikan kompor di depannya. Belum lama tadi dia memasak sup brokoli dengan bakso berharap Ali mau makan sesuatu. Sayangnya sejak malam itu dia belum juga mau memakan sesuatu. Annisa paham, saat hati berduka sulit bagi mulut menikmati hidangan apa pun. Tapi bukankah tubuh butuh tenaga? Jika menantang sendok dan memasukkannya ke dalam mulut saja tak mampu bagaimana akan menghadapi ujian hidup? “Mbak Nisa kan calonnya Mas Ali, jadi wajar aku panggil ‘Mbak'.” Mendengar jawaban Hasna, Annisa tersipu. Sebenarnya, satu-satunya yang pantas membuat Annisa dipanggil Mbak adalah ukuran badannya yang sedikit lebih tinggi dari H
Dengan langkah buru-buru, Annisa pergi ke dapur. Mencari pan untuk memanaskan air lalu pergi ke kamar Roro bermaksud mencari kain apa pun untuk mengompres. Hati-hati Annisa membuka lemari. Melihat ke segala sisi sebelum berakhir ke laci tempat perempuan sepuh itu menyimpan kain-kain kecil. Setelah menemukan benda yang dia cari, Annisa kembali ke dapur. Menuang air yang tadi dipanaskan lalu kembali ke tempat di mana Ali berada dan mulai mengompres. “Mas harus ke rumah sakit,” ucap Annisa setelah menempelkan handuk untuk ke sekian kalinya. Tapi bukan Ali namanya jika tak menolak segala bentuk perhatian dari Annisa. Dia menggeleng. “Tidak perlu, aku hanya demam.” “Tapi Mas tidak makan dua hari ini.” Tak ada sahutan. Ali tahu, dan dua merasa lebih tahu mengenai kondisinya lebih dari siapa pun, termasuk Annisa. “Ayolah, Mas, jangan buat aku kuatir,” ucap Annisa lagi dengan suara mulai bergetar. Annisa merasakan hangat merebak di wajahnya hingga membuat pandangannya memburam. Tidak m
Waktu menunjukkan pukul empat pagi saat samar Ali mendengar suara dengkuran. Perlahan dia membuka mata dan tersadar tengah berada di tempat asing yang begitu terang. Laki-laki itu terperanjat dan menutup mata seketika akibat silau yang mendera. Dari sisi kirinya samar terdengar seseorang berucap lirih dan teratur. Ali menajamkan pandangan. Dia segera menyadari siapa orang itu, meski hanya tampak punggungnya karena wajah dan sebagian tubuh lain tertutup tirai penghalang. Tepat seperti dugaannya, Ali berada di rumah sakit. Dia pingsan semalam dan entah siapa dan bagaimana orang membawanya ke rumah sakit. Lirih suara doa itu kini diiringi isak yang perlahan semakin keras. Sesaat, Ali merasa, perempuan itu menangis karena dirinya. Ali kembali memejamkan mata. Mengatur napas dan menikmati sensasi denyut di kepalanya, sampai tirai yang menyekat antara dia dan perempuan itu tersingkap. Rupanya Annisa selesai melaksanakan salat dan dia bermaksud membangunkan Ali untuk melakukan hal yang s
Ali meneguk air yang diberikan Annisa, lalu memandang gadis yang menunduk itu lekat. “Tak perlu memikirkan aku. Aku baik-baik saja,” ucapnya saat memberikan kembali gelas itu kepada Annisa. Annisa menerimanya. Lalu berpaling untuk menyembunyikan rasa panas di wajah, diam-diam menghapusnya. Sejauh ingatannya, orang yang mengatakan aku baik-baik saja adalah orang yang sedang berupaya untuk baik-baik saja. Bukan benar-benar dalam keadaan baik. Perlahan sudut mata Annisa mengembun lalu luruh dalam derai yang menganak sungai, walau coba dia tahan kuat-kuat. Membayangkan bagaimana Ali kesepian di rumah itu, membuat Annisa merasa berat untuk meninggalkan meski dia sangat tahu, dirinya tak berarti apa-apa. “Apa ini ada hubungannya dengan permintaan terakhir ibu?” Annisa mengusap pipinya dan menggeleng samar. “Ya, tapi tidak seluruhnya. Aku hanya berat meninggalkan Mas, karena berpikir jika itu aku ... ... pasti akan sangat kesepian.” **** Tamu-tamu silih berganti menjenguk Ali, dan k
Tangis Annisa pampat seketika bersamaan dengan tangan kiri yang memegangi pipi. Dia menatap lekat laki-laki yang sekian detik lalu mendaratkan kecupannya di sana. Bahkan sebelum itu, bibir mereka nyaris saling menyentuh.Annisa mengusap sisa air mata dengan punggung tangan dan bertanya-tanya, apa arti semua ini?“Aku tidak pantas dapat semua kebaikanmu itu.” Ali menjauhkan wajah dari Annisa. “Kau terlalu baik, Nisa.”Annisa menatap nanar laki-laki di itu. Tidak pantas? Terlalu baik? Lalu apa arti kecupan itu?Antara kesal dan gugup gadis itu melangkah ke arah baskom di ujung bed. Menyelupkan lagi handuk ke dalam air lalu kembali mendekat pada Ali.“Apa denda untuk mencium tanpa izin?”Ali menoleh cepat. “Apa?”“Denda untuk mencium tanpa izin.” Annisa meraih tangan Ali yang lain, dan mulai mengelapnya.Laki-laki di hadapan Annisa tampak berpikir. Dia sadar telah terbawa suasana. Melihat wajah sendu Annisa, memancing rasa untuk merengkuh. Jauh dalam lubuk hati Ali, dia menyesal membuatn
Ali melepaskan tangannya. “Keluarlah. Aku butuh istirahat,” ucapnya lalu membaringkan diri membelakangi Annisa. Alih-alih menuruti perintah Ali, Annisa justru memperbaiki posisi duduknya di samping laki-laki itu. Meraih selimut yang semula hanya sebatas kaki, hingga ke atas tubuhnya. Memastikan dengan itu Ali merasa nyaman dan hangat. “Ingatlah. Akan ada saat mas rindu perhatian kecil semacam ini. Jadi syukuri saja ... ... selagi ada.” Annisa berbalik dan melangkah meninggalkan laki-laki itu di kamarnya. Klak. Pintu kamar tertutup. Tapi bukan melanjutkan langkah yang Annisa lakukan, dia justru berhenti di depan kamar demi memperbaiki ritme jantungnya. Sekejap merasa berdebar dengan sikap tak terduga laki-laki itu, lalu terhempas karena sadar Ali mungkin hanya terbuai dan menjadikan dirinya sebatas pelampiasan. Annisa tersenyum sumir saat menyadari kemungkinan ke dua lebih masuk akal. **** “Makanlah, mas harus minum obat.” Annisa meletakkan nampan berisi makanan itu di hadapa
Beberapa hari lalu. “Dek? Lama banget. Dah sore nih.” Pramono membuka pintu kamar dan melangkah setelah menutupnya kembali, bersamaan dengan terdengarnya suara pintu tertutup. Itu jelas pintu kamar mandi karena Pramono mendengar suara air. Laki-laki itu kemudian duduk di tepi ranjang. Pandangannya tertuju pada jam tangan di atas nakas yang seketika mengingatkan dia belum memakainya. Pramono meraih jam itu, dan dengan gerakan terlatih memakainya dalam sekali tekan. Pandangannya kemudian teralih oleh suara getar dari meja, dari ponsel Nadya. Mas Ali? Ali? Pramono mengernyit. Untuk apa dia menelepon Nadya? Pramono nyaris menggeser tombol hijau sebelum dia sadar, tak terdengar lagi suara gemercik air. Dia memilih meletakkan lagi ponsel itu sebelum Nadya melihatnya. Pintu kamar mandi terbuka. “Astaga, Mas Pram?” ucap Nadya terkejut, “sejak kapan Mas di situ?” Meski bagi Pramono pertanyaan itu terdengar aneh—karena tidak seharusnya istri terkejut, lalu menanyakan itu, atas keberadaan
“Bagaimana kabarmu, Nduk?” tanya Tuan Aji saat melihat Nadya sedang memandangi potret lama di rumah besar itu. Rumah itu sebenarnya terlalu besar untuk hanya dihuni oleh seorang laki-laki lumpuh, seorang perawat yang sudah seperti anak sendiri, pembantu dan satpam. Nadya berbalik. “Sehat, Yah. Ayah juga sehat, ‘kan?” Tuan Aji hanya tersenyum. “Kapan kamu akan tinggal di sini? Rumah ini terlalu besar untuk ayah tempati sendiri.” Nadya tercenung karena tak punya jawaban untuk itu. Orang tua mana pun pasti ingin hidup berdampingan dengan sang anak. Tapi yang terjadi pada Pramono, berbeda. Sejak kecil laki-laki itu terdidik mandiri. Bahkan dengan penghasilannya mampu memiliki rumah di usianya yang ke dua lima, dan dia terbiasa tinggal di rumah miliknya alih-alih hidup bersama kedua orang tuanya. “Nad akan coba bicara sama Mas Pram ya, Yah.” Tuan Aji hanya mengangguk. “Rumah ini sangat sepi setelah ibumu meninggal, Nduk. Mungkin itu juga alasan Pram enggan berlama-lama di sini.” Tuan