Pov : Bian|Mas, gimana uangnya? Dania mau meminjamkan uangnya buat kita, kan?| Pesan dari Irena membuatku semakin pusing. Tak seharusnya dia terlalu berharap pada Dania karena belum tentu dia mau meminjamkan uang seratus juta itu. Padahal Dania saja tak peduli bahkan memintaku untuk memecahkan masalah itu sendiri. |Kenapa nggak kamu balas, Mas? Apa kamu masih ngobrol dengan mantan istrimu itu?| Aku kembali membaca pesan kedua dari Irena yang masuk di whatsapp. Mungkinkah semua ini memang sandiwaranya saja untuk mendapatkan uang Dania? Sebab selama ini Irena memang sangat menginginkan uang restoran itu, tapi setega itukah dia melibatkan Rizqi untuk ambisinya ini?Apa Irena pikir dengan alasan penculikan Rizqi, Dania mau meminjamkan uang itu? Padahal jelas Dania tak sebodoh yang dia kira. Hatinya cukup kuat dan peka. Dia pasti tak percaya begitu saja dengan ceritaku. Jangankan Dania, aku sendiri masih ragu apakah ini murni penculikan atau sekadar akal-akalan Irena saja. Aku benar-b
Irena belum jua mundur. Dia masih berusaha merayuku, lebih tepatnya memaksaku untuk memenuhi keinginannya itu. Setelah sekian menit terdiam, suara itu kembali terdengar. Suara yang dulu begitu kurindukan entah mengapa kini terdengar menyesakkan. "Pinjam mama, Mas. Aku yakin tabungan mama banyak. Kalau mobilku dijual, bagaimana aku antar jemput Rizqi ke sekolah? Bagaimana kalau kami pengin jalan-jalan saat kamu di kantor? Nggak mungkin naik motor, kan? Panas, Mas. Bisa juga kehujanan. Apa kamu nggak mikir sampai sana?" "Bisa naik taksi. Semua bisa diatur, Irena. Yang penting sekarang Rizqi selamat dan kembali ke kita. Itu saja," sahutku tak mau kalah. Aku nggak akan membiarkan Irena terus mencecar dan memanfaatkanku demi ambisinya. Aku nggak mau melibatkan mama dengan rumah tanggaku dengannya. Aku malu. "Kalau memang kamu nggak mau pinjam mama, biar aku yang pinjam sendiri ke sana. Meski mama tak merestuiku menjadi menantunya, aku yakin mama tak akan membiarkan cucunya disekap pe
Pov : Bian"Tunggu!" Aku berteriak sembari mempercepat langkah ke arah laki-laki kekar itu. Dia hampir saja memacu mobilnya meninggalkan area parkir super market. Laki-laki bernama Zaky itu pun membuka setengah kaca jendelanya lalu menatapku lekat. Dia menelitiku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Begitu detailnya."Siapa kamu?" tanyanya singkat. "Aku adalah suami dari perempuan yang baru saja kamu temui," balasku. Zaky kembali mengernyit saat aku mengangguk yakin atas jawabanku sendiri. "Irena?" tanyanya singkat sembari tersenyum miring. "Kamu bawa ke mana anakku?""Apa? Coba ulangi?" Aku yakin dia pura-pura tak mendengar sebab suaraku cukup keras jika didengar oleh telinga normal. "Dimana Rizqi? Kenapa kamu culik anakku?" sentakku kemudian. Namun laki-laki itu justru tertawa lebar. "Siapa? Anakmu?" tanyanya lagi sembari mengangguk-anggukkan kepala. Senyumnya miring seperti semula seolah begitu mengejekku. "Seyakin itu kalau Rizqi adalah anakmu?" "Aku sudah nikah sama ibuny
"Mama kenal dengan mamanya Irena?" tanyaku lagi agar mama berniat untuk menceritakan sebagian besar masa lalunya. Setidaknya agar aku tahu alasan apa saja yang membuat mama tak pernah ridho hubunganku dengan Irena. "Namanya Siska. Mama memang nggak terlalu kenal, tapi cukup tahu karena dia yang menghancurkan rumah tangga Bude Vina," ucap mama dengan nada kesal. Bude Vina adalah kakak kandung papa yang kini tinggal di Semarang. Aku tak tahu apa maksud mama, tapi bisa menebak jika perceraian Bude Vina dengan suaminya dulu itu berarti ulah mamanya Iren begitu sepertinya. Bude Vina yang hingga detik ini lebih memilih menjanda dengan dua orang anaknya-- Fian dan Fano daripada menikah lagi. Entahlah. "Mama mertuamu itu dulu merebut Om Sonny dari Bude Vina. Om Sonny bahkan menikah siri dengan perempuan itu saat masih menjadi suami Bude Vina. Karena itulah Bude Vina menggugat cerai. Namun entah mengapa akhirnya mereka berpisah. Perempuan itu meninggalkan Om Sonny begitu saja dan kembali m
Pov : Bian Sore ini, aku pulang ke rumah dengan ojek online. Bukan karena mobil mogok atau alasan lain, hanya saja ingin membuktikan sendiri jika Irena tak seburuk yang mama kira. Meski ucapan laki-laki itu masih terngiang di benakku, tetap saja aku merasa belum ada bukti nyata bahwa Rizqi memang bukan darah dagingku dan aku harus membuktikannya sendiri agar semakin yakin apa yang akan kuputuskan nanti. "Kamu harus tegas pada istrimu sendiri, Bian. Sadap handphonenya atau sesekali cek cctv rumah. Mama tahu kamu pintar, tapi entah mengapa jadi seperti ini sejak Irena kembali. Kamu seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Nggak bisa mengambil keputusan sendiri, ngikut saja apapun yang dikatakan istrimu bahkan selalu mengekor saja kemanapun dia pergi. Cari tahu tentang dia, Bian. Mama yakin kamu pasti akan terkejut jika tahu bagaimana istrimu sebenarnya. Jangan diperbudak oleh cintamu sendiri. Buka mata hatimu, Irena tak sebaik yang ada dalam pikiranmu."Nasehat mama berulang kali terng
Aku tak tahu mengapa Irena harus berdusta dan bilang jika Rizqi adalah darah dagingku jika dari awal dia tahu lelaki kecil itu bukanlah anakku. Padahal tanpa dia berdusta pun, aku tetap mencintainya dan berniat menikahinya. Cintaku padanya sedalam itu. Tak pernah berubah meski sekian waktu telah berlalu. Apa dia takut aku membatalkan niatku menikahinya jika dia jujur siapa Rizqi sebenarnya? Apa dia takut aku tak menerima jagoan kecilnya dan tak mau menjadi ayah sambungnya? Seragu itukah dia padaku? Aku yang awalnya begitu percaya dan memiliki harapan yang tinggi padanya, entah mengapa kini terasa sangat berbeda.Rasanya hanya aku yang berlari mengejarnya, sementara dia tak balik mengejarku agar bisa mengikis jarak. Saat aku terbang begitu tinggi karena mendapatkan cintanya kembali sekaligus anak lelaki yang begitu kuidamkan sejak dulu, ternyata kini aku harus patah hati karena semua harapan yang kupunya sia-sia belaka. Aku benar-benar merasa menjadi laki-laki bodoh yang dibutakan ol
Pov : Bian Irena masih menutup mulutnya dengan telapak tangan saat aku berhenti tepat dua atau tiga langkah di depannya. Kedua matanya masih membulat lebar menatapku tak berkedip beberapa saat lamanya. "Hebat kamu, Irena. Aku benar-benar tak menyangka jika kamu bisa sehebat ini. Perempuan satu-satunya yang kucintai setelah mama, perempuan yang begitu kuperjuangkan bahkan aku rela kehilangan cinta dari tiga perempuan lainnya, tapi ternyata dia hanya menipuku saja. Memanfaatkan cinta tulus yang kupunya demi ambisinya. Demi menutupi semua aibnya. Bagus. Bagus sekali caramu, Irena," ucapku sembari geleng-geleng tak percaya. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa Irena bisa begitu tega berdusta bahkan sengaja merencanakan semuanya tanpa pernah memikirkan bagaimana perasaanku jika tahu semuanya. Seperti detik ini. "Ma-- maafkan aku, Mas ...."Berulang kali hanya itu yang kudengar dari bibirnya. Dia mencoba menarik tanganku, tapi kutepis kasar. Rasanya hancur berantakan. Tak akan bisa k
"Kenapa kamu membahas perempuan itu sekarang, Mas? Apa kamu menyesal sudah berpisah dengannya? Dia yang bahkan tak pernah kamu cinta selama empat tahun kalian berumah tangga?" Irena kembali menyudutkanku, seolah memiliki celah untuk mematahkan ucapanku."Kalau aku bilang sangat menyesal memangnya kenapa? Ada yang salah? Nggak ada yang salah, Irena. Justru aku yang telah salah karena mengabaikannya demi memperjuangkanmu. Kamu yang nyatanya tak pernah mencintaiku. Kamu yang tak peduli dengan kebutuhanku. Bahkan tega membiarkanku kelaparan dan mengurus semua keperluanku sendirian sebelum aku mengambil asisten untuk mengurus semuanya. Padahal dulu, Dania begitu telaten mengurus semuanya dengan ikhlas. Aku memang harus membandingkanmu dengan dia, karena sekarang aku sadar kamu dan dia memang jauh berbeda." "Aku nggak sudi kamu bandingkan dengan perempuan itu, Mas. Seperti yang kamu bilang, aku dan dia jauh berbeda dan nggak bisa dipaksa sama, mana bisa kamu banding-bandingkan begitu. Ngga