Aku meraba sekeliling tempat tidur dengan mata terpejam. Mencari ponselku yang secara sadis telah membangunkanku di akhir pekan yang sakral ini.
Hari paling damai menuju hibernasi yang sesungguhnya. Itulah yang kusebut sebagai akhir pekan. Tak ada kuliah, dan tak harus pergi ke Red Roaster. a.k.a benar-benar bebas.
Lagipula reahersal kemarin baru selesai pukul sepuluh malam. Pimpinan teaternya, Jean-Pierre, adalah orang yang perfeksionis.
Kami sampai harus melewati take vocal berkali-kali. Belum lagi berapa pemain sempat mengalami perubahan bagian. Selain itu karena ini drama musikal kami juga mesti bekerja lebih keras.
Sebab kombinasi adegan tari jelas membutuhkan konsentrasi dan stamina lebih ketimbang pementasan drama biasa.
Akhirnya… kutemukan benda terkutuk itu terselip di bawah bantal. Aku mengerang saat melihat nama yang tertera pada layar ponsel.
Kenapa sih dia tak bisa biarkan aku
Aku tertawa mendengarnya. "Kalau begitu kenapa kau bicara padaku?" Thomas menggeleng. "Sejujurnya aku tak suka menyerah tanpa perlawanan." "Kau pemberani," selorohku. “Melakukan segalanya demi melihat Jason terpancing." Ia mengangkat bahu. "Kadang pacarmu sangat menyebalkan,” tukasnya kesal. Aku memikirkan kata-katanya, lalu berdehem sebelum berbicara. "Dengar, Thomas, aku sangat menghargai kau menghentikan laporanmu atas Jason, sungguh." aku memulai. "Dan kuharap kau bisa … pelan-pelan melupakan masalah ini." kuamati ekspresinya. Kalau-kalau dia menunjukkan reaksi tak terima. "Aku janji, Jason tak akan pernah melakukannya lagi," ujarku sungguh-sungguh. Thomas menghela napas sambil menyandarkan punggungnya ke sofa. "Kau tahu Mia, menurutku kalian berdua mirip salah satu judul buku Dan Brown yang terkenal itu." dia berkata sambil memiringkan kepala menatapku. "Angel and Demon," ujar Thomas lalu menyeringai lebar. "Apa kau bilang?" terd
Paul sedang duduk berhadapan dengan dua orang pria asing berbadan tinggi besar. Aku menduga mereka adalah orang-orang dari agensi. Meskipun jujur saja penampilan mereka lebih mirip tukang pukul daripada pegawai kantor. Dari raut wajah mereka nampaknya percakapan itu cukup serius. Aku sedang berdebat dengan diriku, antara pergi menyapa Paul atau tidak, mengingat atmosfer di dalam sana sepertinya bakal sedikit canggung, sebelum ponselku tiba-tiba berbunyi. “Ya?" "Apa kau beli sepatunya di Kanada?! Cepat ke sini karena kami sudah menunggu selama dua puluh menit!" Aku memutar bola mata. "Iya, sedang dalam perjalanan. Aku segera—" "Bagus," potong Jason lalu menutup sambungan telepon. Aku mengerutkan kening dengan kesal menatap ponsel di tanganku seolah benda itu yang sudah menyinggungku. Dengan menggerutu aku berjalan kembali menuju restoran. Satu hal yang membenarkan pemikiranku tentang Forestier, saat menginjakkan kaki ke dalam, interior-nya sung
Dia menyukainya… Jason bahkan tidak berusaha menutupi perasaannya kepada Karen. Padahal selama aku mengenalnya dia orang yang tak pernah memperlihatkan ketertarikan terhadap apapun selain pekerjaannya di industri hiburan. Semua yang dilakukan Jason selama ini semata-mata demi eksistensinya sebagai seorang selebriti. Bahkan saat dia berpura-pura pacaran denganku di depan semua orang. Mungkinkah kali ini perasaannya sungguhan? Aku meraba bibirku tanpa sadar. Harusnya dia tidak menciumku ketika sudah ada seorang gadis yang dia sukai, bukan? Mengapa Karen juga menanggapi hal itu begitu santai? Mengapa mereka berdua sepertinya tidak peduli pada kejadian di pesta ulang tahun Jason waktu itu? Jangan-jangan Karen sudah tahu kalau hubungan Jason dan aku cuma rekayasa? Atau … apakah itu karena dia tidak punya perasaan yang sama terhadap Jason? Bagaimanapun Karen gadis yang sangat cantik. Dia ramah dan menyenangkan. Wajar seumpama ada lusinan pria mengan
Pagi ini cuaca kota New York cerah dan hangat. Aku baru saja selesai mengatur pot-pot azalea ibuku di halaman depan rumah, saat menyadari cuacanya terlalu bagus untuk dilewatkan. Tadinya aku berpikir untuk berjemur sebentar di halaman belakang rumah sambil minum sekaleng limun karena hari ini Jason sedang tidak ada jadwal. Namun mendadak dia menghubungiku beberapa saat yang lalu, dan mengatakan ingin pergi ke pelabuhan New York untuk menghadiri pesta yang diadakan oleh kawannya sesama selebriti, Richard Johnson, di atas kapal pribadinya. Sejujurnya aku belum pernah menumpangi kapal apapun seumur hidupku. Jadi aku cukup bersemangat dengan perjalanan ini. Namun sepertinya tidak semua orang sependapat denganku. Aku melirik Jason yang duduk di kursi penumpang di sebelahku. Sejak kami meninggalkan rumahnya hingga sekarang yang ia lakukan cuma duduk termenung sambil memandang keluar jendela dengan wajah muram. Seolah jiwanya sedang ber
Mustahil… Mereka berdua adalah saudara? Kenapa aku tak pernah mendengar apapun tentang ini sebelumnya? "Mengapa Jason sama sekali tak pernah menyinggung tentangmu?" sahutku heran."Apa dia menyembunyikan hal ini untuk menghindari gosip?" Karen menggelengkan kepalanya. "Tidak, Jason bukan orang seperti itu." Aku menangkap secercah rasa haru di dalam ucapannya. "Dia melakukannya bukan untuk dirinya sendiri, tapi demi aku Mia," jelasnya. Aku mengernyit menatapnya. "Aku tidak mengerti." Karen mengalihkan pandangan dariku, menatap pada hamparan puncak gedung-gedung bertingkat di hadapan kami, matanya terlihat menerawang. "Ayah Jason bertemu dengan ibuku ketika Jason masih sangat kecil, mungkin umurnya baru tiga atau empat tahun saat itu." Karen tertunduk." Ya, ayah Jason berselingkuh dengan ibuku. Jadi kami saudara tiri. " Aku menatapnya dengan mata melebar. Kurasa aku mulai mengerti arah pembi
Jason sedang duduk di salah satu kursi tunggu di depan kamar rawat ayahnya saat kami kembali. Dia langsung berdiri saat melihatku dan Karen. "Apa kata dokter?" tanya Karen cemas. "Kondisi Dad menurun, mereka memberinya obat untuk mengurangi rasa sakit dan juga mengontrol tekanan darahnya agar kondisi ginjalnya tidak semakin parah, tapi dokter tak bisa menjamin berapa lama Dad bisa bertahan dengan obat-obatan sebelum ginjalnya benar-benar mengalami kerusakan permanen." "Ya Tuhan," bisik Karen. Jason melingkarkan tangannya memeluk bahu Karen untuk menenangkannya. "Tadi aku sudah melakukan tes, hasilnya tujuh puluh persen." Karen memandangnya dengan sorot mata penuh harap. "Itu cukup tinggi Jason." Dia mengangguk. "Ya, ini patut dicoba." "Terima kasih." Karen memeluk Jason erat-erat. "Dia juga ayahku, aku tak mungkin membiarkannya meninggal begitu saja." Jason tersenyum menenangkannya. Karen mengangguk sambil mengusa
“Bukannya aku tak mau menemuimu, Matthew. Tapi aku harus menyiapkan makan malam untuk Joe, lalu setelahnya, aku berencana kembali ke rumah sakit.” Joe yang mendengar namanya disebut mendongak dari layar tv dan menatapku penasaran. Ia memberengut kesal saat aku memberinya isyarat untuk segera naik ke kamarnya dan mengerjaan pe-er. “Baiklah… aku mengerti, Mia si perawat nomor satu,” kelakarnya. “Jadi ingat dulu, kau adalah sukarelawan yang paling rajin membesuk anak-anak yayasan, sampai orang-orang sering salah mengira kau sebagai perawat.” Aku tersenyum seraya melepas sepatu lalu menempatkannya di atas rak di dekat ruang tamu. “Soalnya aku sampai bisa membaca monitor segala, gara-gara terlalu sering melihat para suster jaga memeriksa anak-anak waktu itu`.” Matthew tertawa mendengarnya. Entah kenapa aku merasa sebenarnya ada hal yang ingin dikatakannya kepadaku. Aku mengenal Matthew cukup lama sehingga bisa tahu saat ada hal yang sedang menganggunya.
"Apa itu?" Jason bertanya saat melihatku masuk ke dalam kamarnya menenteng gitarku. "Memangnya kau tak bisa mengenali bentuknya?" ujarku sinis. Dia berdecak tak sabaran. "Aku tahu itu gitar, maksudku untuk apa kau membawanya kemari, Mia?" Aku menggantungkan ranselku di kaki ranjang kemudian menarik kursi berlengan yang ada di dekat meja ke samping tempat tidurnya. Aku duduk sambil mendekap gitar yang kutaruh di atas pangkuan. "Hari ini aku akan melatih lagu dari dramaku saja, daripada harus mendengarmu mengomel," ujarku sambil mulai menyetel gitarnya. Jason mengulum senyum. "Apa kau sudah lupa yang terjadi saat terakhir kali kau bernyanyi untukku?" Ia pasti mengacu pada kejadian di atas panggung sewaktu pesta ulang tahunnya. "Diam, Jason. Jangan merusak konsentrasiku, apalagi mood-ku, atau kau akan menyesal," ancamku. Dia tertawa. Aku mengabaikannya lalu memainkan kunci awal untuk mencoba-coba intronya. Sepertinya sudah sesuai.