Malam itu aku mengalami mimpi yang sangat aneh. Kukira sedang berada di sekolah lamaku. Aku mengingatnya, ini adalah gedung gimnasium.
Aku dulu sering datang kesini diam-diam saat jam pelajaran sekolah usai, mengambil gitar akustik pemberian ayahku yang kusembunyikan di balik alat-alat kebersihan di dalam gudang, lalu memainkan beberapa lagu yang kusuka.
Tidak perlu penonton. Cukup diriku sendiri dan musik sudah membuatku terhanyut.
Hingga aku mendengar sesuatu, atau seseorang.Ketika aku menoleh ke arah datangnya suara, ia sepertinya terkejut karena aku menyadari kehadirannya, kemudian ia mundur perlahan, menyelinap ke balik bayang-bayang bangku tribun lalu menghilang keluar dari gedung.
Aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi aku akan mengenali tatapan mata itu di manapun.
Jason...
Aku mengerang sambil membuka kedua mataku perlahan. Leherku sakit, dan punggungku remuk. Rasanya seperti aku habis melakukan akrobat atau seje
Aku meminta tolong pada sang pemilik café, Jorge, seorang laki-laki paruh baya bergaya hippies yang ramah, untuk memperlihatkan rekaman cctv di hari aku melihat Paul ada di café-nya. Kubilang padanya kalau Paul adalah pamanku, dan bahwa dia sedang terlibat masalah. Aku menduga orang-orang yang bersamanya saat itu mungkin tahu sesuatu, jadi aku harus menemukan mereka. Mulanya Jorge melihatku ragu-ragu, kemudian seperti tersadar, matanya terbelalak memandangku. "Aku tahu kau!" serunya sambil menudingku. Huh? "Kau pacar baru-nya Jason Marshall 'kan?!" serunya takjub. “Pantas saja rasanya seperti pernah melihatmu.” Sebenarnya aku sedang tak punya waktu untuk bergosip, tapi untuk kali ini kuikuti saja alurnya. "Itu benar." aku memasang senyum sopan di wajahku. Dia menggelengkan kepala takjub. "Aku sungguh terkejut waktu kalian mengadakan konferensi pers. Ternyata selebriti seperti Jason bisa juga kepincut pada seorang gadis yang bukan dari kalangan artis."
Amy juga melihatku. Ia segera mempercepat langkahnya menghampiriku. “Kau pikir apa yang sedang kau lakukan?!” hardiknya. "Kau tidak seharusnya ada di sini, lantai ini khusus para pekerja." Ia berkata tajam. "Ikut aku!" sergahnya kasar sambil menarik pergelangan tanganku, menyeretku berjalan menjauhi lift. Dia menggelandang lenganku menyusuri koridor, melewati deretan kantor-kantor lalu keluar lewat pintu samping yang mengarah ke tangga darurat. “Tunggu, Amy, aku harus bicara pada mereka tentang Jason—” aku mencoba membuatnya berhenti berjalan namun ia sama sekali tak menggubrisku. Amy membawaku keluar pintu darurat lalu menghempaskanku ke pembatas balkonnya. Ia melipat tangannya di depan dada sambil menatapku dengan marah. “Kau tak akan bicara pada siapapun!” ujarnya sengit. Aku memegangi pergelangan tanganku begitu dia melepaskannya. “Serius kau ingin mengulangi hal semacam ini lagi? Ini bukan di SMU, Amy! " aku berkata kesal seraya mengusap
"Kenapa kau tak jadi pemain band saja Dad?" tanyaku seraya mengamati ayahku yang tengah mengutak-atik mesin chevy tua-nya. "Karenaitu tak bisa membayar tagihan sayang." dia berkata sambil tersenyum padaku. "Tolong obeng standar-nya." ia mengulurkan tangan kirinya. Aku meraih obeng dari dalam kotak peralatan lalu menaruhnya ke dalam telapak tangan ayahku. "Lagipula ibumu tak akan pernah mau tinggal bersamaku kalau aku tidak punya pekerjaan sungguhan," gumamnya. "Kenapa tidak? Kau orang paling baik, dan ayah paling keren sedunia!" Dia tertawa pelan. Ayah mengulurkan sebelah tangannya merangkul bahuku seraya mengecup puncak kepalaku. "Itu benar! Pertahankan pemikiran itu Mia. Kau memang fans nomor satu-ku!" "Selalu," sahutku sambil nyengir. "Apapun yang terjadi kau harus ingat, bahwa ayah sangat menyayangimu dan itu tidak akan pernah berubah." ia menatapkudengan mimik serius sebelum berpaling kembali
“Bunganya indah sekali!” Aku memalingkan wajah pada suster jaga. Ia tersenyum sambil memindahkan rangkaian bunga mawar berwarna kuning cerah dari buket ke dalam pot kaca lalu meletakkannya di atas nakas di samping ranjangku. Tadi pagi saat aku kembali dari berjemur di halaman rumah sakit untuk mencari udara segar, kudapati sebuah buket mawar telah bertengger di atas nakas. Ada kartu ucapan di dalamnya, tertulis lekas sembuh, tapi tanpa nama pengirim. Suster itu menyodorkan segelas air minum kepadaku. “Melihat ukuran buket itu jumlahnya mungkin sekitar seratus tangkai. Pacarmu romantis sekali,” komentarnya. Aku hampir tersedak air. “… pastinya,” ujarku terbatuk. Andai dia tahu, kalau memang Jason yang mengirimkan bunga-bunga itu, pasti ia melakukannya cuma untuk pencitraan. “Bagaimana dengan pemeriksaan lanjutannya suster?” aku menahan nyeri saat berpindah posisi duduk. “Bukankah baru besok jadwalnya? Dokter bilang tulangmu tidak retak atau patah, seha
“Berhentilah menggigiti kuku, ada apa denganmu?” ibuku melirik sebal padaku dari sofa tempatnya duduk di sisi ranjang. Ia tengah menungguiku sambil mengupas sepiring apel. “Jason belum datang?” gumamku gelisah, lebih kepada diri sendiri. Sejak kepergian pria asing misterius itu aku tak bisa tenang sekejappun. Benakku terus saja memikirkan setiap ucapannya. Menganalisisnya. Pria itu tidak bilang dia polisi, namun juga tidak mengatakan sebaliknya. Dari omongannya sepertinya dia juga mengincar Paul tapi untuk alasan yang berbeda. ‘Sesuatu yang lebih besar’, dia bilang waktu itu. Dan menurutnya tindakanku mencari tahu tentang Paul tempo hari telah mengganggu usahanya tersebut. Tapi tunggu dulu, dari mana dia tahu aku menyelidiki Paul? Seingatku aku belum memberitahu siapa-siapa tentang kunjunganku ke café Jorge tempo hari, bahkan kepada Jason. Lantas bagaimana pria itu bisa tahu? Aku bergidik ngeri. Mungkinkah aku selama ini telah diawasi? Tapi ke
Aku dirawat di rumah sakit selama seminggu, hari ini adalah jadwal kepulanganku. Jason telah menghubungiku tadi pagi dan berkata akan menjemputku siang ini setelah dia kembali dari biro, jadi aku sedang menunggunya sambil menulis jurnalku untuk mengisi waktu. Banyak yang terjadi belakangan ini, dan sejak aku sibuk mencari Jason tempo hari aku belum sempat melakukannya lagi. Aku suka menulis jurnal, untuk mendokumentasikan hari-hariku. Semua perasaanku dan segala yang terjadi, sebagai pengingat. Seperti ketika orang-orang senang mengambil foto untuk mengabadikan setiap momen berharga yang penting bagi dirinya. Jurnal-ku juga seperti itu. Self healing, kalau tidak salah aku pernah membaca istilahnya di suatu tempat. Sejak kemunculannya hari itu pria misterius yang datang untuk—menurutnya— memperingatkanku, tidak pernah menampakkan dirinya lagi, begitupun dengan tanda-tanda keberadaannya. Aku mencoba mencari tahu identitasnya dari suster jaga yan
“Apa kau bilang?” Aku khawatir salah dengar sebab tak mungkin dia baru saja mengatakan bahwa aku akan menyanyikan original soundtrack-nya Frosty Fountain. Namun ekspresi Jason bergeming. No way … “The Blues Record, label yang menangani original soundtrack Frosty Fountain, ingin kau ikut menyanyikan salah satu lagu di dalam film itu, “ ia memulai. “Mereka melihat penampilanmu saat kau bernyanyi di pesta ulang tahunku tempo hari, dan menurut mereka warna suaramu cocok dengan karakter dalam lagu-nya.” “Lalu Scott bertanya padaku, apa aku bisa membuatmu setuju untuk ikut serta dalam proyek itu.” Pikiranku langsung kosong. Mulutku membuka lalu menutup lagi seperti ikan sekarat. “Kau sedang bercanda,” cetusku. Lelucon terhebat tahun ini, batinku. “Apa kau tidak mau? Sayang sekali, padahal banyak penyanyi mengantre demi bisa dipilih oleh Scott Riley, ya sudah apa boleh buat…” ia berkata enteng sambil mengambil ponsel dari dalam sakuny
Aku tak pernah membayangkan akan terlibat dalam sesuatu yang besar seperti menjadi pengisi lagusoundtracksebuah film. Ditambah lagi buatan sutradara sekaliber Riley Scott. Seolah kini satu persatu mimpiku mulai jadi kenyataan. Frosty Fountain adalah film yang hampir diperankan oleh Jason tempo hari, meskipun akhirnya Thomas Parker yang menggantikannya. Dan sejak aku mengontak Blues Record kemarin mereka pun mengirimkan partitur lagunya supaya bisa kupelajari. Mereka juga menyarankan aku mempelajari alur filmnya, atau minimal berdiskusi dengan para pemainnya, karena menurut mereka itu bisa membuatku menemukan penghayatan dengan gayaku sendiri terhadap lagu yang bakal kunyanyikan di dalam film itu. Cara yang sangat jitu dan profesional menurutku. Sebab menyanyikan lagu soundtrack sebuah film tapi tidak tahu apa-apa tentang film itu kesannya absurd. Rencananya aku akan bertanya pada Jason untuk mendengarkan pendapatnya soal ini. Omon