"Kau sudah kembali dari Stand Arc?"
Aku menjepit ponsel di antara pipi dan bahuku seraya membuka pintu lemari untuk mengambil celana jins. "Baru saja. Showcase-nya berlangsung lebih lama dari perkiraan." suara Jason terdengar letih.Sudah hampir seminggu sejak kencan kami di Long Island.
Saat itu aku menghabiskan waktu seharian bersamanya mengelilingi Southampton, karena besoknya Jason mesti pergi ke California untuk menghadiri acara promosi film terbarunya The Magical Valley selama beberapa hari.Ternyata seminggu itu lama sekali, meskipun kami sering bicara di telepon. Itu berbeda. Usahaku berkonsentrasi pada Hemingway's juga tidak sepenuhnya berhasil.
Aku merindukannya. Aku mencemaskannya. Kadang aku bertanya-tanya apa dia memikirkanku juga?Bila kuingat lagi, Jason belum pernah sekalipun mengatakan tentang perasaannya padaku.
Aku tahu tindakan yang terpenting, kata-kata hanyalah ungkapan.
Tapi kadang cewek b“Aku baru membaca pesanmu, apa yang terjadi?” Aku memindahkan ponsel ke telinga kiri, meraih tas dari bangku penumpang dengan tangan yang lain lalu keluar dari mobil. “Ibuku,” aku mendesah. “Ia marah besar karena aku tidak menuruti ucapannya soal menyanyi, tidak ada yang baru.” aku berkata getir. Aku bisa mendengar Jason bergumam kesal dari seberang telepon. “Kau harus membiarkanku bicara pada ibumu—” “Tidak.” “Mia, mungkin dia akan mengerti bila kujelaskan,” Aku memejamkan mata frustasi. Bukannya aku tidak memahami maksud baik Jason dalam hal ini. Dia pasti khawatir pertengkaranku dan Mom bakal semakin berlarut-larut bila dibiarkan, begitupula denganku. Tapi ibuku tidak akan pernah mau berkompromi tak peduli siapa yang bicara padanya, dan aku tidak tahu bagaimana mengatasi hal itu. “Jangan khawatirkan masalah ini, Jason. Aku akan mengurusnya,” kataku sok yakin. “Baiklah, nanti aku akan ke tempat kerjamu, kita b
Aku nyaris merosot ke lantai ketika Jason mengakhiri ciumannya. Seolah kedua kakiku mendadak terbuat dari jelly. Kedua tangannya yang kokoh tetap menahan tubuhku ke dinding, mencegahku pergi. Sebenarnya ia tak perlu khawatir aku bakal melarikan diri atau apa, kalau saja dia tahu yang baru saja dia lakukan telah membuat pikiranku kacau balau. Jason menyandarkan keningnya padaku dengan mata terpejam. Napasnya yang memburu menerpa wajahku. “Apapun yang kau dengar, itu hanya separuh kebenarannya.” ia membuka matanya perlahan. Sepasang mata biru sejernih langit menatapku intens, mengirimkan getaran ke sepanjang tulang belakangku. Aku menelan ludah dengan susah payah. “Seharusnya kita tidak bersama, itukah harga yang harus kubayar untuk kontrak itu?” Ekspresi wajahnya mengeras. “Tidak. Aku sudah pernah melakukan kesalahan dengan membiarkanmu pergi sekali dari hidupku." suaranya yang tenang berlawanan dengan degup jantungku. "Tidak ak
“Kenapa kau bicara seperti itu?” Matthew hanya menjawab dengan senyuman tipis yang bahkan tidak menyentuh ujung matanya. “Pergilah atau kau akan terlambat.” Ia meletakkan telapak tangannya di bawah punggungku lalu menggiringku berjalan dengan cepat menuju ke pintu kemudian membukanya. “Lain kali jangan datang menemuiku untuk membicarakan lelaki lain.” dia berbicara di dekat telingaku. Kata-kata Matthew selanjutnya membuatku membeku. “Aku membencinya...” Gedung Rockford, tempat diadakannya anniversary perusahaan keluarga Marshall terletak di daerah paling padat di pusat kota New York. Untung saja aku berinisiatif berangkat lebih awal dan mengambil rute memutar untuk menghindari kemacetan. Aku sampai di tempat itu sepuluh menit sebelum acaranya dimulai. Para pelayan berseragam yang menyambut tamu undangan di area pintu masuk lobi gedung bertanya padaku mengenai meja undangan. Aku memberitahunya bahwa Jason memasukkanku ke dalam d
"Ini membosankan." Lauren berputar di depan cermin yang dipasang melapisi dinding ruang ganti butik sambil mengamati gaun yang dicobanya. Kami telah berada di salah satu butik Tory Burch, di pusat kota Manhattan sejak sejam yang lalu.Lauren menyeretku kemari untuk menemaninya berburu gaun keluaran terbaru karena dia tahu akhir pekan adalah waktu bebas bagiku, apalagi Jason sedang pergi ke New Jersey. “Kupikir koleksi musim panas mereka bakal lebih nyentrik lagi, aku ingat tahun lalu …” Kata-kata Lauren menghilang dari benakku, tergantikan oleh ingatan tentang momen di pesta keluarga Jason semalam. Rasa penasaran yang hebat membakarku ketika menyadari Jason tampak mengenali pria asing yang telah mengancamku di rumah sakit. Aku nyaris tak bisa menahan diri untuk menceritakan semua kepadanya. Nyaris. Tapi aku perlu memastikan apa kaitan Jason dengan pria itu, sebelum aku mengkonfrontasinya tentang segala sesuatu yang sudah dikatakan oleh pria
"Itu Tisha Benitez. Dia baru kembali dari Kuba. Aku pernah dengar ada yang membicarakan kedatangannya." Lauren bicara keras di dekat telingaku mengatasi suara hentakan musik. Aku menoleh padanya. "Mereka kelihatannya saling kenal," sahutku. Lauren tiba-tiba terlihat canggung. "Semua orang di sini juga mengenalnya, ayahnya orang penting di negara asalnya, seorang perdana menteri, kudengar." "Kenapa kau tak bicara dulu pada Jason soal agensi, untuk itu kau mencarinya bukan? Aku akan pergi kelounge bergabung dengan Richie dan yang lainnya, kalau sudah selesai kau bisa mencariku di sana." Aku mengangguk.Lauren tersenyum sambil menggenggam lenganku sekilas sebelum berbalik pergi meninggalkanku. Untuk alasan yang tidak kumengerti aku merasa dia seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Aku menghembuskan napas kemudian berpaling kembali pada Jason.Kini cewek itu, Tisha Benitez, semakin merapatkan dirinya pada Jason seraya membisik
“Dia akan melewatinya, sebentar lagi …” Aku mengerenyit pada sekelompok pria antusias, para agen interpol yang sedang rehat tugas, yang berkumpul di depan tv besar menyaksikan pertandingan final Super Bowl. Setiap pasang mata yang seolah melupakan apapun selain tontonan di depan mereka. Bahkan kehadiranku. Tiba-tiba mereka serempak bersorak dengan gemuruh suara yang bisa saja terdengar hingga ke blok sebelah. Apa yang terjadi pada protokol keamanan yang selalu mereka agung-agungkan? “Yes! Aku sudah menduganya!” Habel Trent mengepalkan tinjunya ke udara. Aku tidak tahan lagi. “Hei!” protesnya ketika aku meraih remote tv lalu mematikannya. Mereka semua tercengang menatap layar yang gelap. “Kita perlu bicara.” “Ini pertandingan final, bung!” Ia mendelik tak percaya. Aku tidak mengindahkannya. “Kau pergi menemui pacarku.” Itu bukan pertanyaan. Aku yakin Habel telah melakukannya. Bila tidak, bagaimana
“Anda tidak tahu siapa dia?” “Orang yang anda maksud memang terekam dalam cctv nona, namun namanya tidak tercatat dalam buku tamu karena ia datang bersama rombongan pekerja yang mengatur perlengkapan pesta.” “Tapi penampilannya tidak terlihat seperti pekerja kasar,” gumamku. “Jadi ini berarti anda tidak memiliki petunjuk apapun?” “Maafkan saya, hanya itu yang bisa saya temukan. Apakah orang ini menimbulkan masalah?” “Tidak,” sahutku cepat. “Seperti yang pernah kubilang sebelumnya, aku hanya merasa mengenalnya itu saja, tapi mungkin saja aku salah.” “Bagaimanapun terima kasih atas bantuan anda.” aku segera mengakhiri sambungan teleponnya, sebelum staff Rockford itu bertanya-tanya lebih lanjut tentang pria yang kucari. Aku tahu ini berisiko. Apalagi setelah pria itu memperingatkanku sebelumnya. Namun aku tak bisa tinggal diam bila ternyata pria itu benar-benar mengenal keluarga Jason. Aku merasa harus memastikan, ia tidak
Mataku melebar terkejut menatap Jason yang berdiri tak jauh dari tempat kami duduk. Di bawah sinar lampu berwarna keemasan siluetnya tampak seperti pangeran dalam dongeng. Garis wajah rupawan serta sorot mata teduh yang mampu menghipnotis siapapun yang melihatnya. Tapi bukan aku, dan tidak malam ini. Aku perlu menetapkan batas yang jelas di antara kami, dan Jason harus mengetahuinya.Aku tak boleh kalah lagi. "Apa yang dia lakukan di sini?" aku berbalik pada Karen. "SorryMia, aku khawatir kau bakal menolak ikut bersamaku, kalau kau tahu Jason akan datang." Aku menghembuskan napas kesal. "Kau sengaja memancingku." "Please, dengarkan saja dia dulu. Beri Jason kesempatan untuk menjelaskannya kepadamu, setelah itu kau bisa memutuskan ingin memercayainya atau tidak." Karen berkata penuh harap sambil menggenggam tanganku, sebelum ia beranjak dari bangku lalu berjalan pergi meninggalkan kami berdua. Aku tida