Share

BAB 14

Pov Vira

Mbak Nita pergi dari rumah, tidak membawa sedikit pun hartanya. Hanya membawa anak tiriku saja. Baguslah aku juga tidak menginginkannya. Lebih baik mengurus anak kandung sendiri. Siapa yang gak seneng, sebagai wanita kedua namun mampu memiliki suami seutuhnya, ditambah Mbak Nita tidak menuntut harta apa pun. Otomatis aku yang menguasainya, memang takdir baik ada pada diriku. 

Belakangan ini, Mas Duta hanya mengurung diri di kamar Mbak Nita, membuatku muak atas sikapnya. Dia seperti tidak menganggap aku ada. Isi otaknya hanya Nita, Nita, dan Nita. Rasanya aku seperti tidak dihargai. Walau bagaimanapun, aku ini juga istrinya, seharusnya dia memikirkan perasaanku juga, jangan hanya sibuk dengan mantan istrinya. Menyebalkan sekali, ingin rasanya menunjukkan sikap ketidaksukaan, tapi aku tahu diri, tidak mungkin menunjukkannya sekarang. Jenuh juga melihat sikap Mas Duta yang seperti itu. 

Aku mencoba mengetuk kamar Mba Nita untuk memanggil Mas Duta.

"Mas … keluar, makan dulu!" triaku di depan pintu. Namun, tidak ada jawaban. Aku mencobanya sekali lagi.

"Mas … keluar dong !" Masih tidak ada jawaban. Aku yang sudah malas akhirnya meninggalkanya.

Hih benci sekali rasanya, ingin kumaki suami itu, apalah daya, aku tidak mampu melakukan apapun. 

Beginilah rasanya jadi istri kedua, tidak leluasa. Mengingat soal Mbak Nita, aku tidak pernah menyangka, dia bahkan tidak menyentuh apapun benda yang ada di rumah ini. Jika wanita lain, bercerai dari suaminya, pasti sang istri menuntut harta gono- gini. Namun berbeda dengan Mbak Nita, dia sama sekali tidak menuntut, bahakan semua barangnya masih utuh di rumah ini. Bodohnya Mbak Nita. 

Aku sadar telah menghancurkan rumah tangga seseorang, bahagia di atas penderitaannya. Namun, apalah dayaku, awal perkenalan, Mas Duta tidak pernah berbicara kalau dia telah memiliki seorang istri dan anak, hingga aku terbuai dalam rayuannya.

 Sebenarnya ini bukan seratus persen salahku. Aku telah memberikan kehormatanku pada Mas Duta, karena dia berjanji akan menikahiku, yang aku lihat darinya selain berwibawa, dia juga pemilik perusahaan, perempuan mana yang tidak akan tergoda olehnya? Dari segi wajah tidak nampak kalau Mas Duta telah menikah. Ketika hubungan dengannya sudah semakin dekat, dan timbul rasa sayang juga takut kehilangan, baru Mas Duta jujur siapa jati dirinya.

"Vir … Mas ingin jujur padamu," ucapnya saat itu. Aku sedikit merasa tak enak, tetapi aku berkata, "Jujurlah, Mas." 

"Mas, telah memiliki seorang istri, Mas sudah meminta ijin untuk menikah lagi, dan dia mengijinkannya." Ucapan Mas Duta seakan menusuk jantungku, setelah kuberikan semua, baru dia jujur. 

Aku sendiri wanita, yang tidak mau merasa dirugikan, biar saja menjadi yang kedua, tidak peduli. Walaupun istri kedua, aku tidak serendah itu. Jika kembali mengingat saat awal perkenalan dengannya, aku pun tertipu olehnya. Dia mengaku single. Ketika aku sudah jatuh hati, baru dia mengaku telah menikah, pengakuannya sudah terlambat, aku sudah tidak bisa menolak. 

'Maafkan aku Mbak Nita, ini salah suamimu yang telah berbohong. Namun, jujur dari hati yang terdalam, aku senang kalian bercerai, aku sendiri juga tidak mau berbagi suami. Aku terlanjur mencintai suamimu. Aku tidak akan melepaskannya. Aku yakin cepat atau lambat, hanya ada satu nama di hati Mas Duta. Dia akan mampu melupakan Mbak Nita, tugasku sekarang adalah membantu mantan suamimu melupakanmu, Mbak. Aku yakin cepat atau lambat, hidup kami akan normal kembali. Terima kasih Mbak Nita, telah rela melepaskan Mas Duta. Doaku untukmu semoga mendapat pengganti yang lebih baik dari Mas Duta. Ikhlaskan suamimu untukku ya, Mbak. Maafkan atas keegoisanku. Semoga Mbak Nita masih mau menjalin silaturahmi dengan kami.

Ting … nong … Ting … nong

Suara bel membuyarkan lamunanku. Mungkin Mbak Nita. Aku sedang malas membuka pintu, biar saja Bi Eli yang membukanya.

"Bi …! Buka pintu ada tamu!" triaku.

"Iya, Bu." Bi Eli berlari membuka pintu untuk tamunya. Kemudian Bi Eli menghampriku.

"Siapa, Bi? Kenapa gak disuruh masuk?" tanyaku penasaran.

"Enggak tau, Bu, mencari, Bapak katanya." 

Deg hatiku sedikit tersentak. Siapa ya tamunya. 

"Oke, Bi. Biar saya yang panggil Bapak," ucapku lalu bergegas Menghampiri Mas Duta yang masih mengurung diri di kamar Mbak Nita.

"Mas, ada tamu. Nyariin Mas!" ucapku.

"Siapa?" jawab Mas Duta. Syukur dia sudah bersuara.

"Enggak tau, Mas. Dia ingin bertemu denganmu." 

Tidak lama Mas Duta keluar dengan mata yang sembab, sepertinya suamiku telah menangis sepanjang hari, bahkan dia sampai tidak pergi ke kantor hari ini.

Kulihat Mas Duta, tergesa-gesa menemui tamunya. Siapa yang datang kira-kira? Tumben sekali, biasa urusan kantor diselesaikan di kantor. Aku akan meminta Mas Duta untuk pindah ke kamar utama. Kamar yang pernah di pakai oleh Mbak Nita dan Mas Duta, Sepertinya lebih nyaman, karena lebih besar dari kamarku. Nanti setelah Mas Duta menerima tamu, aku akan meminta izin untuk menepati kamar Mbak Nita.

Tak lama, Mas Duta kembali masuk, tetapi tak menyuruh tamunya singgah. Kulihat wajahnya lunglai setelah kepergian sang tamu. Ada berkas coklat di tangannya, entah apa isinya.

Niat untuk pindah ke kamar Mbak Nita kuurungkan. Melihat ekspresi wajah yang tak memungkinkan. Mas Duta duduk di sofa, kemudian kembali masuk ke kamar Mbak Nita dan menutup pintu. Lagi-lagi aku diabaikan.

'Ada apa denganmu Mas? Murung lagi dan lagi. 'Sabar Vira sabar ….'

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Allyca Alfaro
Banyak pelajaran dari kisah ini, harta,tahta dan wanita....bener² racun. Suami tak tau bersyukur ya begitu, kan akhirnya menyesal 🥵
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status