Keadaan Anna maupun Gina semakin membaik dalam seminggu ini, Anna sudah mau lebih banyak berbicara. Sedangkan Gina telah diizinkan pulang setelah 2 hari dalam perawatan.
Kejadian tersebut hanyalah Anna dan Jonas yang tahu. Telah beberapa kali Gina mencoba meyakinkan mereka kalau dia akan baik-baik saja. Memang saat ini, Gina sangat terluka karena kehilangan calon bayi sekaligus ditinggal pasangan yang tidak bertanggung jawab. Namun, Gina adalah sosok kuat dan tangguh.
Dan keesokan harinya, Gina langsung kembali bekerja. Staminanya itu membuat Anna heran. Dia pergi ke kantor seperti tidak mengalami sakit apa pun.
“Hei, kau harus membawa bekal du…” omongan Anna terputus saat Gina mengambil kunci mobilnya dan memutar gagang pintu.
“Aku sudah telat. Bye!” kata Gina dengan bersemangat dan menghilang dari balik pintu.
Mungkin kepindahannya ke sini adalah ide terbaik. Anna jadi punya teman bicara, dia juga dapat merasa sibuk dan sedikit lebih bersema
Meski mereka sudah kembali bersama, mental Anna tidak semerta-merta langsung membaik. Anna masih mengalami masa-masa sulit dan terkadang tidak mau bertemu dengan Jonas. Tetapi pria itu tetap sabar menghadapi mood Anna yang selalu berubah-rubah. Kejadian itu memang membuat Anna menjadi pribadi yang berbeda. Lebih pendiam, cenderung pemarah, dan masih sering bermimpi buruk. Jonas dan Darryl menginap di apartemen Gina selama akhir pekan setiap jumat malam dan sabtu malam. Selama mereka di sana, Jonas beberapa kali pergi ke kamar Anna ketika wanita itu bermimpi buruk dan menangis dalam tidur. Pria itu juga dengan setia mendampingi Anna saat terapi. Ibu Purnama mengatakan bahwa keberadaan Jonas rupanya sangat membantu, tetapi untuk sembuh dari luka batin memang memerlukan waktu dan mereka harus bersabar. Malam itu, Jonas membawakan masakan China untuk mereka makan bersama di rumah. Anna menyiapkan semua di atas meja mulai dari mie, ayam asam manis, capcay
“Tentang Rian.” Kata Silvanna. Mendengar nama itu, suasana hati Anna berubah drastis. “Aku tidak tertarik berbicara tentangnya.” “Ku mohon, Anna. Bertemulah denganku. Sekarang aku ada di dekat apartemen di mana kau tinggal. “Dari mana kau tahu aku tinggal di sini?” “Dari mantan rekan kerjamu. Aku akan menunggumu di bawah, di kafe seberang. Aku janji, hanya sebentar saja.” “Apa yang membuatmu berpikir aku akan menemuimu?” “Aku hanya takut nanti kau menyesal.” “Dia tidak menyesal memperkosaku.” Kata Anna dengan skeptis. Silvanna mendesah. “Aku prihatin hal itu terjadi padamu. Tetapi percayalah, dia amat menyesal. Hanya saja, dia tidak bisa berbicara dan tidak akan pernah bisa berbicara langsung lagi kepadamu.” “Apa maksudmu?” “Temui dulu aku. Oke? Aku akan menunggmu di sini. Kau punya satu jam.” Kata Silvanna langsung menutup telepon itu. Anna tidak bisa berhenti memikirkan apa yang Silvanna akan k
Anna pulang ke apartemennya dengan pikiran yang kalut. Ia duduk di lantai dekat ranjangnya dan bersandar di sana sambil memeluk lututnya yang tertekuk. Belas kasihan membujuk egonya untuk segera menengok Rian, tetapi batinnya menentang hal tersebut. Ia sungguh tidak ingin bertemu dengan Rian, mendengar namanya saja, membuatnya hampir kena serangan panik. Bagaimana jika bertemu langsung? Rian belum sempat dihukum atas kejahatannya, dan Anna merasa belum puas. Tetapi ia bukan menginginkan Rian mati, hatinya tidak sejahat itu. Anna menutup matanya untuk mengusir semua beban pikirannya hingga ia mendengar pintu terbuka dan seseorang berteriak dari depan. “Anna, kau di mana?” Anna mengangkat kepalanya untuk mendapati Gina berdiri di depannya dengan wajah kusut dan rambut berantakkan. “Kau di sini rupanya. Aku akan mandi dan berganti sebentar, oke? Aku sudah membelikan bahan makanan. Jika kau tidak keberatan, masaklah untukku,” kata Gina dengan manja.
Gina dan Anna telah berada di parkiran rumah sakit. Mereka masih di dalam mobil. Gina memberi waktu agar Anna siap turun untuk bertemu dengan Rian. Tetapi saat mereka mencari Rian, dia malah tidak ada. Anna lalu memanggil perawat yang tengah memberi seprai baru ke atas ranjang kosong itu. “Bu, pasien yang bernama Rian di sini, ke mana ya?” Perawat itu menaikkan alisnya karena tidak familiar dengan nama itu. “Rian?” Ia lalu berpikir sejenak. “Oh, Tuan Antonius?” “Benar.” “Beliau dipindahkan ke ruang ICU tadi pagi.” “ICU?” tanya Anna. Perawat itu memberitahukan di mana ruang ICU berada, dan mereka langsung pergi ke sana, mendapati Pak Hendri yang menunggu dengan wajah yang terlihat muram. “Anna?” kata pria paruh baya itu melihat Anna. “Bagaimana keadaan Rian?” Ia mengerutkan keningnya, “dia dalam keadaan koma.” Anna terkejut dan menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Gina yang berdiri di sebelahnya juga
Dear Anna… Sejujurnya, aku tidak tahu apakah aku akan bertemu lagi denganmu atau tidak. Jika kau membaca surat ini, berarti kondisiku tidak memungkinkan untuk berbicara langsung denganmu. Aku sungguh-sungguh meminta maaf atas semua yang aku lakukan padamu. Saat membawamu ke rumahku, aku tidak pernah berpikir untuk menyakitimu, sama sekali. Kau adalah orang terakhir yang ingin kusakiti. Tetapi aku tidak menyangka, kebersamaan kita yang terakhir menjadi hal terberat yang kau jalani dalam hidupmu hingga sekarang. Itu adalah penyesalan terbesar bagiku. Aku tidak pernah berpikir kalau rasa cintaku ini begitu melekat dalam hatiku dan bertumbuh menjadi duri yang mendorongku untuk merusak tubuh dan jiwamu. Aku tahu, cinta dan kasih sayang tidak bekerja dengan cara seperti itu, tapi aku terlalu bodoh, sangat bodoh sampai-sampai tidak mengerti bagaimana cara membuatmu tertarik padaku
Air mata Anna menetes selepas ia membaca surat Rian untuknya. Rahasia itu akhirnya terbongkar. Selama hidup, dia memang merasakan beberapa kemudahan-kemudahan yang ia anggap keberuntungan. Tetapi ternyata, keberuntungan itu bukan sekedar kebetulan. Seketika, hatinya berkecamuk akibat rasa bersalah yang hebat. Bagaimana bisa pria ini mencintainya dengan cara seperti ini? Bahkan sebelum ia terbaring di rumah sakit, dia masih sempat-sempatnya mempekerjakan seorang psikolog untuk Anna. Pantas saja beliau tidak mau dibayar. “Rian telah melakukan semua hal yang bisa ia lakukan untukmu,” kata Pak Hendri memecah hening yang membuat Anna sempat terhanyut. Anna menatap Pak Hendri dengan mata sayu saat orang tua itu melanjutkan lagi. “Kau tinggal dan makan gratis di asrama kami itu karena Rian. Rian juga menelepon rektor universitas di mana kau kuliah, jika saat itu kau melakukan terminal karena tak mampu membayar, bisa jadi Rian akan membayarkan
Mereka segera pergi ke sekolah Darryl dan menceritakan semuanya. Tanpa diduga, respon Darryl tidaklah buruk terhadap keberadaan ayahnya yang ternyata masih hidup. Tidak seperti sangkaan Anna dan Jonas mengingat tempo hari, Darryl memberi respon yang sangat menunjukkan ketidakterimaannya ketika mengetahui kalau dia adalah anak hasil hubungan gelap. Sepertinya, kejadian tempo hari memang baik adanya diketahui oleh Darryl, sehingga jika sewaktu-waktu ayah mereka muncul, setidaknya Darryl tidak shock lagi. Bahkan kini Darryl setuju untuk pergi ke Manado untuk melihat ayahnya. Di samping itu, Jonas sangat ingin mengetahui kenapa pria tua itu tidak mencari Jonas atau pun Darryl selama lebih dari 15 tahun ini, meski kemungkinannya kecil untuk Paman Jonathan bisa mengingat lagi kejadian sebelum Darryl lahir. Mereka bertiga segera bertolak ke Manado tanpa menunda-nunda lagi menuju sebuah pedesaan di daerah Minahasa Tenggara ke sebuah rumah sederhana tanpa cat,
Jonas pergi ke dapur yang berada di sudut paling belakang di rumah itu dan membuatkan semangkuk bubur ayam kampung yang sudah dipotongkan Michelle dari kandang ayam yang ada di tanah di area belakang rumahnya. Jonas dan Anna sempat bergidik ngeri saat Michelle dengan berani mengambil ayam kampung yang paling besar dan paling sehat itu untuk dijagal sendiri olehnya. Nona kecil ini sudah terlihat hidup sangat mandiri. Setelah ayam selesai dijagal, Michelle membawa ayam tersebut ke dalam untuk direbus sebentar dan dibakar sedikit agar bisa dengan mudah diolah oleh Jonas. Jonas dan Anna bekerja sama membuat bubur, sup ayam kampung, dan ayam rica-rica yang akan mereka santap bersama-sama. Darryl memandangi mereka sambil duduk di atas meja makan tanpa ingin membantu lebih jauh setelah Darryl memasak nasi yang ia sudah letakkan dalam Magic Jar. Kakak-kakaknya tidak memaksa Darryl untuk memberi respon baik pada Paman Jonathan, tetapi mereka memohon ag