"Are you ok?" Mrs. Alena meletakkan piring berisi Beef Bourguignon di meja kerja Julian. Tampaknya lumayan jika disandingkan dengan wine yang sudah lebih dulu menemani Julian.
Julian duduk di kursi kerjanya sambil menghadap jendela kaca besar di lantai dua. Ketika itu malam telah menyelimuti Champs-Élysées. Ia menatap kosong pada lampu-lampu hias yang menggantung menghias jalanan dan berkedip bergantian. "I'm not hungry!" katanya sempat melirik ke meja.
"Since you came back here, you didn't eat anything yet," ucap Mrs. Alena lagi.
Julian mengangkat gelas wine-nya lagi. Sudah lebih dari 24 jam ia berada di Paris, Julian mengakui ia masih belum bisa menenangkan dirinya. Julian bahkan telah mengosongkan dua botol wine untuk diminum sendiri. Ia punya sedikit harapan untuk melupakan Ana
Beberapa hari kemudian, "Sir... sorry!" Mrs. Alena terpaksa membangunkan Julian yang tertidur bersama sketsa-sketsanya. "What happened?" "Someone calling you!" "Did you say I'm sleeping?" "I did. But, he said this is about urgent things!" Julian mengusap rambutnya, "Who?" "Mr. Ruin!" "Ruin?" ulang Julian berharap Alena mengucapkan nama yang salah. "Give me!" Julian mengusap rambutnya sebelum mulai bicara, hormon stressnya memuncak dan itu membuatnya gugup. Tentu saja ia
Ketika terbangun, Ana tak menemukan siapa pun di dekatnya. Kamar yang terlihat asing, tapi tidak dengan aroma parfum Julian yang melekat di setiap sudutnya. Ana turun dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. Jika tidak salah, kamar mandi yang ia maksud ada sekitar sepuluh langkah dari tempatnya berdiri sekarang. Luar biasa, baru saja ia mendorong pintu kamar mandi, Ana menemukan jendela besar yang tertutup tirai tipis di samping bath tub. Handuk putih yang tergantung di sisi kamar mandi, juga alat cukur yang pastinya digunakan Julian.Ana mulai yakin ia berada di Paris, terlebih ketika menemukan Julian asyik dengan gaun hitam di hadapannya. Ana bergeming di tengah-tengah tangga turun menuju lantai dua. Ia melanjutkan langkahnya ketika Julian menyadari kehadirannya."Sudah bangun?" ucap Julian terdengar dingin.
Hampir malam ketika Ana tahu Julian kembali. Pria itu melemparkan kotak rokok dan pemantik api ke atas meja kerjanya. Ia kemudian menjatuhkan dirinya ke sofa hitam yang menghadap jendela kaca besar di lantai dua. Ana diam-diam memperhatikan orang itu dari anak tangga. Julian bisa saja melihat Ana jika ia berpaling, tapi Julian sepertinya fokus pada pikirannya sendiri. Dan untuk beberapa alasan, Ana tidak ingin mengganggunya meski ingin sekali bicara. Ada perasaan bersalah yang menyusup di benak Ana. Ia kira ia datang ke Paris untuk membuat Julian merasa dicintai. Memang terdengar bodoh dan tetap menjadi hal yang bodoh karena Ana hanya membawa beban untuk Julian. Sejak Ana di Paris, tak sekalipun Julian terlihat senang.Ana kembali ke kamar. Tempat yang entah sejak kapan terlihat gelap. Titik-titik cahaya yang terlihat dari balik jendela besar mulai bermunculan. Kota itu seperti dikalungi
Julian tetap bertahan di meja makan ketika Ana berdiri dan mengatakan dia sudah selesai dengan mangkuk yang berisi bubur di hadapannya. Ana naik ke lantai tiga."Makanlah!" kata Julian hanya pada Isabel yang duduk di sampingnya. Julian menjejalkan bubur tanpa rasa ke dalam mulutnya. Julian tidak ingin mengatakan bahwa ia sedang menyiksa dirinya sendiri sekarang. Hanya saja, matanya memerah sejak sendokan pertama, dan orang itu mulai tersiksa karena harus menahan diri lebih jauh lagi.Isabel tersnyum getir. Banyak hal yang ia tidak mengerti soal kata-kata Ana, dan sikap Julian saat ini. "Apa salahku?" tanyanya.Dentingan keras terdengar. Julian ternyata tidak melemparkan sendoknya ke dalam mangkuk, sendok dari tangannya jatuh ke sisi mangkuk dan akhirnya mengenai gelas kaca. "Tidak ada
"Bagaimana Ana?" tanya Isabel. Julian menoleh ke Isabel yang duduk di sampingnya sementara ia menyetir. Mereka pergi ke bandara dan akan terbang ke Milan. Tidak ada yang bisa ia katakan tentang perempuan itu. Julian bahkan tidak mengatakan apa-apa soal kepergiannya kali ini. "Kukira kau akan memilih membatalkan ini." "Hanya satu malam, 'kan? Besok siang kita sudah di sini lagi! Lagi pula, dia akan senang jika aku pergi! Dia nggak perlu dengerin aku yang cerewet nyuruh dia makan, terus minum obat. Kalau aku di posisi dia, aku juga males disuruh-suruh kayak gitu," jelas Julian setengah tertawa. "Kamu sedang menghindar, ya?" tanggap Isabel. "Hah?"
"Kau baik-baik saja?" Isabel menarik kursi di samping Julian. "Apa aku terlihat tidak baik?" "Ya!" tegas Isabel. Setidaknya sudah satu jam mereka berada di museum Louvre, Julian hanya bersandar di salah satu sudut ruangan dan memandang kosong ke satu arah. Isabel tak yakin kalau Julian sadar dengan apa yang ia lihat sekarang. Ini tidak seperti Julian biasanya, ia tak akan diam saja untuk gaun-gaun yang baru saja keluar dari koper dan mengabaikan para model begitu saja. Tentu saja model-model itu akan senang jika sang desainer sendiri yang memakaikan gaun-gaun itu pada mereka. Sentuhan berbeda yang membuat para model pasrah terhadap aturan yang dibuat Julian. "Ayolah Julian! Mereka menunggumu!" Isabel memaksa. Julian tak berpikir b
Julian naik ke lantai tiga, tempat di mana ia pikir bisa menemukan Ana. Julian disambut cahaya remang-remang di pukul sebelas malam itu dan ia menemukan seorang perempuan yang berada dalam balutan kain putih bersimpuh di atas sajadah. Kadang-kadang Julian memang melihat Ana dalam ritual itu, namun belakangan ini semakin sering ia melihat Ana meletakkan keningnya di atas lantai. Julian ingat masa-masa tinggal di panti asuhan, ia diasuh oleh para biarawati, tapi para biarawati itu tak pernah memaksanya untuk datang ke gereja. Dan di sekolah, saat teman-teman sekelasnya belajar tentang agama mayoritas, tak ada yang memintanya keluar dari kelas. Pelan-pelan ia mulai penasaran tentang keyakinan apa yang dipunyai Ana, tentang sesuatu yang ia sebut Tuhan. "Kakak sudah pulang?" tanya Ana segera setelah ia mengusap wajahnya dengan telapak tangannya.
..."Kukatakan aku akan menikah denganmu. Maka itu berarti aku ingin menikah. Bukan karena perjanjian bisnis, bukan karena rasa kasihan, bukan juga karena kau yang meminta. Jadi, bersikaplah sewajarnya orang menikah, bisik Julian. Julian mendekap Ana dari belakang. Ia melingkarkan tangan kirinya di pinggang Ana, sementara tangan kanannya melingkar di bahu perempuan yang telah mengenakan gaun pengantin. "Mintalah padaku, aku akan berusaha memenuhinya. Tapi, jangan pernah meminta perpisahan dariku," Julian kemudian menenggelamkan wajahnya di leher Ana. ...Terlalu banyak kejutan ketika Ana terbangun di pagi itu. Ia tertegun setiap kali Julian menunjukkan betapa besar cintanya. Julian meletakkan kotak besar di atas tempat tidur, di samping Ana.