"Nay, hari ini Mas pulangnya telat lagi, ya. Ada meeting nanti sore," Mas Ilham meminta ijin. Tuh, kan, mulai lagi. Hampir saja kemarin aku tertipu dengan kebaikannya. Ternyata dibalik semua itu, memang dia ada maunya. "Lembur lagi ya, Mas?" aku pura-pura percaya. "Biasalah, Nay. Sekarang ini kan si Rafi itu jarang masuk kantor karena ibunya masih sakit. Jadi semua kerjaan Mas yang handel lah," ucapnya dengan percaya diri. "Ibunya Mas Rafi masuk rumah sakit lagi ya, Mas?" entah kenapa tiba-tiba aku jadi khawatir. "Ah, tidak. Hanya dirawat di rumah saja. Heran Mas lihat peraturan kantor. Kok bisa sering-sering libur hanya untuk masalah seperti itu. Kalau Mas jadi bos nya, sudah Mas pecat saja si Rafi itu," gumam Mas Ilham yang terlihat tidak senang. "Kok Mas gitu, sih. Kalau memang ibunya sakit mau bagaimana lagi? Bukannya Mas Rafi itu anak tunggal? Kalau bukan dia yang merawat ibunya siapa lagi?""Tapi kan, tidak dengan mengorbankan pekerjaan, Nay," Mas Ilham tampak kesal. "It
"Wah, kalau Nay serius, Mas lebih serius lagi ini. Tinggal ngajak Nay bertemu sama mama dan papa saja nanti.""Hish, Mas Rafi ini lho. Bercanda terus dari tadi," dia tertawa mendengarkan aku yang mulai sewot. "Iya, Nay. Maaf-maaf. Sebenarnya Mas itu bukannya tidak masuk kantor, hanya saja sedang bolak-balik mengurus proyek yang baru. Ilham mana tahu soal ini, sedangkan pekerjaannya sudah banyak yang terbengkalai di kantor.""Benarkah seperti itu, Mas?" tanyaku penasaran. "Sudahlah, Nay. Mas jemput kamu sekarang, ya?""Iya, Mas. Kalau begitu, kita bertemu di ruko saja ya? Biar Nay naik ojek saja. Kan Nay sudah bilang kalau... ""Iya, iya. Tidak enak dilihat tetangga kan?" sahutnya sebelum aku menyelesaikan ucapanku. "Iya, maaf ya, Mas. Mas Rafi jangan tersinggung, ya?""Iya, tidak apa-apa. Mas juga mengerti, kok.""Terima kasih, Mas. Nay siap-siap dulu,ya?""Ya sudah, terserah kamu saja." Aku mengakhiri panggilan. Tak lama, akupun sampai di ruko tersebut. Kebetulan para pekerja ju
Tekadku sudah bulat. Tidak akan ada pertimbangan lain lagi. Sebisa mungkin aku harus secepatnya menyelesaikan hubunganku dengannya. Tapi aku tidak habis pikir, bukankah uang Mas Ilham semua sudah ditransfer ke rekeningku? Lalu bagaimana Mas Ilham mampu merayakan ulang tahun anaknya Viona hanya dengan sisa uang lima ratus ribu? Ataukah sebelum memberiku uang, Mas Ilham sudah terlebih dahulu menyimpan uangnya dengan Viona? Kali ini pikiranku benar-benar berkecamuk. Sudah sejauh itukah hubungan mereka sekarang ini? Atau jangan-jangan, mereka berdua sudah menikah meski hanya secara siri? Sehingga Viona juga punya hak untuk menerima uang nafkah dari Mas Ilham? Haruskah aku kembali menyelidiki dan mengambil semuanya, ataukah menyerah dan langsung mundur begitu saja? Terus terang saja, aku sudah tidak sanggup lagi hidup dengannya. Bahkan melihat wajahnya saja aku sudah tidak sanggup. Terlalu sakit dengan sikapnya yang seolah-olah sudah mulai terang-terangan memulai pertengkaran. Saat in
"Kamu ini, ditanya kok malah balik bertanya. Memangnya kamu tidak takut durhaka sama suami?" kali ini nadanya seperti mengancam."Suami yang bagaimana dulu memperlakukan istrinya," aku juga menjawab kasar tidak mau kalah. "Naya!" Mas Ilham membentakku. Aku cukup terkejut mendengarnya. Namun sebisa mungkin bersikap tenang, agar dia tidak lagi sepele terhadapku. "Kenapa? Mas tersinggung? Atau Mas sama sekali tidak merasa bersalah karena telah bersikap kasar sama istri?""Berani sekali sekarang kamu melawan sama Mas, ya? Apa kamu lupa kalau kamu itu bukan siapa-siapa kalau tidak Mas nikahi? Kamu itu hanya pelayan warung nasi, Nay. Cuma orang kampung," ejeknya. Betapa perih hatiku mendengar kata-katanya barusan. Walaupun apa yang dia ucapkan itu benar adanya. Tapi, mestikah dia mengungkit-ngungkit masa laluku hanya untuk pertengkaran seperti ini? Setelah merantau ke kota, aku yang menumpang di kamar kostnya Ratna sibuk melamar pekerjaan kesana kemari. Namun hanya dengan berijazahkan
Berat memang meninggalkan Alta, tapi mau bagaimana lagi. Aku sama sekali tidak punya hak untuk membawanya. Bahkan untuk menggugat hak asuhnya pun aku tidak mungkin bisa. Biarlah ku tegarkan hati ini, suatu hari jika Alta mengingatku, dia pasti akan datang kepadaku. Dan aku akan dengan senang hati menerima kehadirannya. Mas Ilham mengikuti sampai ke kamar sambil memperhatikan apa yang aku lakukan. Dengan senyum sinis dia terus memperhatikanku. "Kamu pikir, kalau kamu bertingkah seperti ini, Mas akan membujuk kamu? Jangan seperti anak kecil, Nay. Begitu kamu keluar dari rumah ini, kamu tidak akan Mas ijinkan kembali lagi. Apalagi untuk bertemu dengan Alta," Mas Ilham seperti sedang mengancamku. Aku tidak perduli lagi, aku terus memasukkan pakaianku hingga koperku penuh sesak. "Sebaiknya kamu pikirkan lagi, Nay. Kamu tidak akan bisa hidup tanpa Mas dan Alta," dia masih berusaha untuk membuatku berubah pikiran. "Kalau kamu minta maaf malam ini, Mas akan segera melupakan kesalahan ka
Malam ini aku menginap di rumah Ratna. Menumpahkan seluruh perasaan dan air mata yang kini membasahi wajah. Entah apa yang aku tangisi saat ini. Jatuhnya talak itu, perpisahan dengan Mas Ilham, ataukah terpaksa meninggalkan Alta seorang diri. Aku tidak tahu pasti. "Sabar Nay, sabar. Aku akan selalu ada untuk kamu. Jangan lagi merasa bersalah atau menyesal dengan semua yang terjadi. Yang kamu lakukan itu sudah benar. Mas Ilham nanti pasti akan menyesal dengan segala perbuatannya. Kamu jangan sedih lagi, ya?" Ratna tak henti-hentinya menenangkanku. "Terima kasih, Rat. Terima kasih. Karena kamu, aku bisa jadi sekuat ini," jawabku dengan isak tangis yang tak tertahankan. "Iya, Nay. Untung kemarin kita bergerak dengan cepat. Kalau tidak, mungkin saat ini hanya pakaian di koper ini yang kamu bawa dari rumah itu.""Iya, Rat. Untungnya Mas Ilham juga tidak menanyakan perihal uang yang dia transfer kemarin. Apa dia lupa, ya?""Baguslah kalau lupa, Nay. Setidaknya ada gunanya juga dia sedang
"Mas Ilham bilang apa, Mas?" akupun penasaran. "Dia bilang kamu meninggalkan dia dan Alta. Apa benar begitu? Atau Ilham yang sudah berani mengusir kamu?""Tidak, Mas. Nay sendiri yang memutuskan untuk pergi," aku tertunduk. "Apa Ilham bersikap kasar sama kamu, Nay?" suara Mas Rafi benar-benar terdengar cemas. Aku hanya terdiam, mataku kembali menghangat. Namun malu sekali rasanya untuk kembali menangis di hadapan Mas Rafi. "Ada apa, Nay? Bilang saja sama Mas. Apa dia bersikap atau berkata kasar seperti kemarin?" Mas Rafi kembali meminta jawaban. Aku tak dapat lagi membendung air mata ini. Aku pun kembali menangis. "Mas Ilham sudah menjatuhkan talak Untuk Nay, Mas," tangiskupun semakin pecah. Aku menutup wajah dengan kedua tanganku, sampai kurasakan kedua tangannya menarikku rapat menyentuh tubuhnya. Mas Rafi sedang memelukku? Kini dia benar-benar mendekapku dengan erat. Salahkah yang dia lakukan ini? Tapi kenapa rasanya begitu menenangkan? Aku seperti punya tempat untuk menumpah
"Kok begitu? Mana mungkin Nay menjauh dan melupakan semua kebaikan Mas Rafi.""Benar, ya? Janji?""Iya, Nay janji. Tapi... ""Tuh, kan. Ada tapinya.""Iya, kan Nay harus tahu diri juga. Kalau tiba-tiba Mas Rafi sudah punya calon istri, tentu Nay harus segera menjauh. Nay tidak mau menjadi wanita penggoda yang mendekati suami orang. Kalau begitu, apa bedanya Nay sama Viona?"Mas Rafi tersenyum, dia menatapku sebentar, kemudian kembali fokus ke kemudinya. "Kalau Mas sudah mulai tergoda bagaimana?"Eh? Ternyata Mas Rafi bisa bercanda juga. Aku pikir dulu dia orangnya pendiam. Tidak terlalu ramah dan jarang tersenyum. Dia juga tidak seperti Mas Ilham dan teman-teman lainnya yang suka menggoda wanita. Tapi sekarang aku baru tahu, ternyata Mas Rafi juga lelaki normal seperti mereka. Walaupun hanya sekedar untuk menghiburku saja. "Sepertinya minggu depan ruko kamu sudah rampung semua, Nay. Kapan kamu mau jemput orang tua kamu di kampung?""Begitu selesai, langsung Nay hubungi, Mas. Biar