Aku menoleh ke belakang, dan kulihat laki-laki berambut lurus lagi lebat itu, tengah berdiri menatapku.
"Kak Key serius?" tanya Sifa tiba-tiba.
"Hush. Jangan sembarangan!" bantah Ibunya.
Aku hanya bolak balik memandang mereka secara bergantian, lalu mengangkat bahu. Kuserahkan padamu, Fi.
.
Kahfi mengantarku keluar hingga menuju ke mobil. Meminta aku menunggu, karena dia akan berbicara pada Ibunya. Padahal apa susahnya tadi, ia hanya tinggal menyambung saja ucapanku. Atau ada ritual khusus, yang aku tidak boleh tahu?
Oh, ya ampun. Dia membuatku menjadi pusing saja. Kupikir membicarakan sesuatu itu adalah hal yang sangat mudah. Hanya mengatakan kami akan menikah, sudah. Dasar lamban.
Aku terpaksa pulang, setelah dia menjanjikan pasti datang malam ini. Yeah, ternyata dia masih takut dengan ancamanku. Tentu saja dia akan kehilangan muka di depan Papa, jika aku sampai benar-benar mengatakan bahwa aku sedang h
"Aku tak tahu lagi harus bicara apa, Key. Aku cemburu. Benar-benar cemburu melihat kau bersamanya," ucapnya dengan napas yang naik turun."Lepaskan aku, bodoh!" makiku, menggerakkan kedua tanganku yang kini terkunci di tembok. Tangannya terus menekan hingga aku tak bisa melepaskan diri."Kumohon. Belum terlambat untuk kita, Key. Aku tak mau lagi menjadi kakak tiri bagimu. Kau tahu sendiri bagaimana perasaanku.""Sialan kau bajingan. Beraninya bicara seperti itu setelah kau dan keluargamu menghancurkan keluargaku. Menghancurkan seluruh hidupku. Kau brengsek Erik. Kalian semua bajingan!" Aku berteriak histeris.Tanpa sadar aku mulai menangis. Mengeluarkan air mata, yang selama ini kutahan agar tak terlihat di hadapan mereka."Maafkan aku, Key. Bukan hanya kau saja. Aku dan Elena juga sama hancurnya seperti perasaanmu saat ini. Kita semua korban, Key."Kulihat matanya memerah, ada yang ikut menggenang di pelupuk matanya. Menat
Aku dan Kahfi baru saja turun dari taksi online. Dia langsung membawaku ke rumah yang selama ini dia tempati bersama Ibu dan adiknya. Aku menyukai rumah ini, juga para penghuninya."Tidak ke rumah mertuamu dulu, Fi?" Ibu mertua menyambut kedatangan kami."Key ingin langsung pulang ke sini," sahut suamiku. Aku memasang senyum termanis di depan Ibu dan juga adik iparku."Kamarnya belum dibereskan. Kami pikir masih akan lama di sana.""Kamar yang mana? Nanti aku rapikan.""Pakai kamar Ibu saja. Tempat tidurnya lebih besar.""Tidak mau!" sanggahku segera. "Aku mau tinggal di kamar Kahfi." Aku kembali melebarkan senyumku..Untuk sekian lama, aku tak pernah lagi memasuki ruangan ini. Tak banyak berubah. Warna cat dan juga perlengkapannya masih sama sejak terakhir aku memasukinya.Kahfi selalu mengunci pintu dan melarangku untuk masuk sejak dia masuk SMP. Saat itu aku masih kelas lima SD. Sama sek
Aku memperhatikan dia yang sedang memasang karpet berwarna coklat muda. Bulunya terlihat begitu tebal, dan sepertinya sangat halus. Disusunnya dua buah bantal, kemudian duduk bersantai di atasnya."Ke sini!" Dia menepuk sisi di sebelah kanannya. Aku membuang pandangan, masih tak terima dengan sikapnya tadi."Kau marah?""Menurutmu?""Berhenti merokok. Tak baik untuk kesehatanmu.""Are you crazy? Kenapa baru sekarang? Sudah bertahun-tahun kau membagi rokokmu padaku.""Sekarang berbeda. Aku melarangmu.""No, Kahfi. Aku tidak mau. Aku akan membelinya sendiri, dan aku tidak akan membaginya denganmu." Aku memutar bola mata, malas."Coba saja lakukan itu. Akan kupatahkan rahangmu itu.""What? Kau sedang mengancamku?" Aku langsung bangkit dan mendatanginya."Kau bicara apa tadi?""Kau sudah dengar dengan jelas. Aku tak mau mengulanginya." Dia menjatuhkan kepalanya ke bantal super besar itu.
Mataku menatap sinis kepadanya."Kau bicara apa?" tanyanya datar. Tangannya meraih koper besar di atas lemari."Kau sudah mendengar pertanyaanku.""Kau menuduhku, hanya karena dia menatapku?""Oh, shit. Kau bahkan tahu dia sedang menatapmu. Kalian saling berpandangan di hadapanku, ha?""Hentikan omong kosongmu, Key. Kau terlihat seperti seseorang yang sedang cemburu.""Kau benar! Aku tak ingin kau akrab dengan keluarga itu, apalagi dia.""Jangan berlebihan. Aku bahkan tak pernah bicara padanya.""Semoga saja itu benar. Kau tak ingin aku membuat masalah baru lagi, kan?""Cepatlah! Kau bilang tak ingin berlama-lama di sini.""Oke! Ini sudah sangat cepat.""Kau yakin semua barang-barangmu muat di kamarku?""Kamar kita. Jangan serakah, Fi. Sekarang itu juga kamarku.""Terserah kau saja.".Aku bernyanyi riang dengan irama musik 'Senorita'. Mengikuti tiap bait lirik yang dibawak
Aku kembali ke rumah setelah selesai mengambil video. Dengan perut kekenyangan, karena harus menghabiskan semua makanan. Damn! Rasanya ingin memuntahkan semua yang ada. Membayangkannya saja membuatku ingin berhenti makan dalam waktu seminggu.Aku baru saja turun dari mobil, saat melihat Sifa baru saja melepas sepatunya di teras rumah. Masih dengan seragam sekolah yang dipakainya pagi tadi."Kau baru pulang?" Aku melirik arloji di pergelangan tangan. Hampir jam lima."Iya, tadi jenguk Ara di rumah sakit.""Ara?"."Seperti biasanya aku mengentakkan bokongku ke kursi bambunya. Pasiennya baru saja pergi. Kurasa dia kedatangan banyak pelanggan hari ini, melihat banyaknya sisa potongan rambut di tempat sampah.Dia mengambil posisi di sebelahku. Mengapit rokok di sela bibirnya, kemudian menyulutnya dengan api. Mataku berkedip-kedip memandangnya."Apa?" sinisnya."Aku mau.""Kau tida
Ada masalah apa?" tanyanya lagi."Cepatlah. Aku tunggu di mobil."Tak butuh waktu lama untuk ia membereskan kiosnya. Hanya menyusun beberapa barang, dan meletakkan kantong sampah di luar. Esok hari, akan ada yang memungutnya. Sebentar saja, dia langsung masuk ke bangku kemudi. Lalu diam, dan membiarkan aku sedikit menenangkan diri.Aku memejamkan mata sambil bersandar. Kupikir setelah menikah dan menghilang dari rumah itu, tak ada satu pun lagi masalah yang mengganggu. Namun kenyataannya, Mama membenci Kahfi dan keluarganya. Itu sangat menyakitkan. Aku benar-benar tak rela, suami pilihanku diperlakukan seperti itu."Erik menghubungimu?”"No.""Papa?""No.""Apa yang mengganggu pikiranmu?""Entahlah. Jalan saja. Aku benar-benar butuh minuman."Mobil kembali melaju membelah malam. Jalanan masih terlihat ramai. Banyak kendaraan berlalu lalang, meski tak sepadat saat siang. Kali ini dia
Kami kembali berjalan melewati jalan yang kulalui tadi. Cukup jauh, dan dia kini berbalik arah sambil membawaku sebagai bebannya."Kau pasti lelah, selalu saja melakukan ini kepadaku. Aku selalu saja merepotkanmu, kan?" Aku berbicara tepat di telinganya."Ini belum seberapa. Saat mabuk, perjalananmu bisa semakin jauh.""Dan kau masih kuat menggendongku seperti ini?""Kenapa? Kau ingin aku menghubungi Erik saja, dan menjemputmu pulang?""Cisis... hentikan itu.""Ada apa lagi? Kenapa kau menangis?"Aku kembali terisak. Kali ini dengan menyandarkan kepalaku ke punggungnya."Mama meneleponku tadi.""Lalu?""Aku membencinya. Aku menyesal bicara padanya." Aku terus merengek."Dia memarahimu karena kau menikahiku?""Kau sudah tahu?" Dia malah tertawa."Semua orang tahu Mamamu tidak menyukai keluargaku. Kenapa mempermasalahkannya?""Kau tidak marah?"
Apa yang kau katakan? Kita sudah pernah membahasnya," ucapnya dalam kegelapan."Jujurlah. Apa yang tidak kutahu. Apa yang sedang kau sembunyikan dariku?"Aku masih tetap dalam posisi semula. Tak berani bergerak, atau berbalik memandangnya, meski kamar dalam keadaan remang dan minim cahaya. Aku takut dia melihatku menangis kali ini. Entah kenapa."Sudah kubilang tak ada apa pun. Kenapa kau tiba-tiba bertanya?""Benarkah? Apa kau takut aku akan marah, jika mengetahui sesuatu di antara kalian?"Kurasa kini suaraku tampak berbeda. Oh, shit. Aku tak dapat lagi menahannya. Aku benci terlihat cengeng, hanya karena masalah ini.Dia bangkit dan menghidupkan lampu, lalu kembali mendekatiku."Astaga, Key. Kau menangis lagi. Apa yang terjadi?" Dia menarikku untuk bangkit dan duduk menghadapnya.Mataku kini telah sembab oleh air mata. Dan aku tak tahu kenapa. Ada rasa sakit yang berbeda. Yang belum pernah