Share

Rencana Licik Sang Ibu

Bab 4

"Astaghfirullahaladzim, ibu, kenapa ibu gak ada sedih-sedihnya di tinggal bapak?" tanya Hana yang tak mengerti dengan sikap Ibunya.

Selayaknya seorang istri pasti akan sedih ditinggal suami. Tapi, Ibunya tampak biasa saja.

"Memangnya ibu harus ngapain, kalau sudah meninggal dan sudah dikubur mau apa lagi semua orang di dunia ini juga nanti bakalan mati," jawab Mutia sinis.

"Eh bukan begitu Bu seenggaknya kalau orang-orang itu ditinggal oleh suaminya dia pasti akan bersedih," jawab Hana.

"Ngapain, kayak orang yang gak ada kerjaan saja, kalau sudah mati itu ya dikubur habis itu sudah kok repot sih," jawab Mutia sambil melipat tangan di dada dan memalingkan wajahnya. Sementara Hana hanya menggelengkan kepalanya.

"Terus Bapak -bapak ini mau apa lagi kenapa masih di sini?" tanya Mutia yang kali ditujukan kepada Bapak-bapak yang masih berkumpul di situ termasuk Pak Ustad, wajah wanita itu tampak sinis.

"Begini Ibu Mutia, jadi tadi itu saya tanya sama anak ibu, biasanya kan di kampung ini setelah orang meninggal itu diadakan tahlilan untuk kami tanya apakah diadakan tahlilan atau tidak, soalnya kalau iya kan kami juga harus mempersiapkan semuanya terlebih dahulu," jawab Pak ustadz.

"Nanti deh saya pikirkan lagi mendingan sekarang Bapak-bapak pulang kami capek habis berjalan jauh karena mau menemui agency, anak saya yang cantik ini lagi daftar jadi model, kalian tahu kan model?"

Bapak-bapak yang ada di situ hanya saling berpandangan mereka hanya mampu beristighfar di dalam hati, mereka heran kenapa ada istri seperti ini yang tidak sedih sama sekali kehilangan suaminya.

"Baiklah Bu Mutia, kalau begitu saya permisi dulu nanti kalau Ibu ingin mengadakan tahlilan tolong diinformasikan kepada saya dan kalau bisa jangan mepet ya Bu sebab saya harus menghubungi santri terlebih dahulu."

"Iya gampang itu, sana pergi!" seru Mutia sambil melibaskan tangannya membuat orang-orang yang ada di situ menggelengkan kepalanya beberapa kali.

"Aku nggak mau kalau nanti dia mengadakan tahlilan mendingan aku tidur di rumah sama istriku, sombong begitu," ucap salah satu warga yang sempat didengar oleh Mutia. Namun, wanita itu memilih tidak perduli.

Sepeninggal mereka

"Eh Hana sekarang kan Bapak kamu sudah meninggal jadi tidak ada lagi yang akan mencarikan nafkah buat kita. Jadi sekarang Ibu minta kamu keluar dari sekolah kamu terus kamu mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan kita."

"Nggak mau bu, Hana tetap mau sekolah lagi pula kalau yang seharusnya bekerja itu Kak Laura karena dia itu sudah lulus SMU," jawab Hana.

"Heh, kamu jangan kurang ajar ya, kalau kakak kamu sekarang belum kerja itu karena dia belum mendapatkan pekerjaan yang cocok karena kakak kamu ini ingin jadi model." Sinis Mutia.

"Sudahlah, kalian itu nggak usah bermimpi. Sudah berapa banyak uang yang kalian habiskan untuk cita-cita kakak yang gak jelas ini dan gara-gara ambisi kalian ini bapak jadi korban, bapak itu terpaksa kerja bangunan untuk melunasi hutang-hutang yang Ibu gunakan untuk membayar agency yang nggak jelas itu lalu karena tidak terbiasa bapak terjatuh dan meninggal. Harusnya Ibu dan kakak itu belajar dari sini dan tidak usah melanjutkan cita-cita yang konyol itu."

"Eh kamu nggak usah menasehati kami ya pokoknya mau tidak mau kamu harus keluar dari sekolah kalau nggak Ibu nggak akan mengeluarkan biaya sepeserpun untuk kamu." Tegas Mutia.

"Nggak papa kalau Ibu gak mau membiayai sekolah Hana, selama ini juga Hana yang mencari biaya sendiri kok dengan berjualan."

Mutia melepas lipatan tangannya.

'Waduh gawat ini tampaknya aku harus bicara pelan sama dia.'

Mutia mendekat ke arah Hana.

"Hana di kampung kita ini kalau orang sudah meninggal itu nggak meninggal begitu saja artinya masih ada adat yang perlu kita laksanakan seperti nanti pas waktu tujuh hari, seratus hari sampai seribu hari dan itu memerlukan uang kamu tahu kan Ibu ini nggak bekerja dan kakak kamu juga belum mendapatkan pekerjaan. Jadi jalan satu-satunya adalah kamu harus bekerja untuk mendapatkan biaya itu semua, demi bapak kamu," ucap Mutia membujuk.

"Hana akan bekerja dengan berjualan dan mengenai adat yang ibu sampaikan itu tidak perlu terlalu memaksakan diri, kalau memang tidak ada ya sudah seadanya saja kita undang orang untuk tahlilan habis itu sudah."

"Eh nggak bisa seperti itu adat kita di kampung ini setiap tujuh hari itu harus menyembelih kambing, kalau nggak kita bisa diomongin sama orang satu kampung," bantah Mutia.

"Tapi kalau nggak ada mau bagaimana lagi bu, pokoknya Hana tidak mau keluar dari sekolah Hana karena pendidikan itu penting dan itu yang selalu dibilang oleh bapak, kalau Ibu tidak mau membiaya Hana gak apa-apa, bu. Hana akan mencari biaya sendiri dengan cara berjualan seperti biasa," tegas Hana yang kemudian melangkah pergi meninggalkan ibunya.

"Hih."

Mutia yang geram meremas udara di depannya.

"Bagaimana ini Laura kalau adikmu itu tetap ngotot nggak mau bekerja bagaimana kita mau mengembalikan hutang-hutang kita sementara hutang kita itu semakin menumpuk dan kamu juga belum mendapatkan pekerjaan jadi model," ucap Mutia dengan mengurut keningnya.

"Kalau begitu ibu lah yang kerja biar aku yang urus sendiri soal agency itu, aku bisa kok Bu melakukan sendiri tanpa didampingi Ibu," jawab Laura santai.

"Ibu ini udah tua siapa yang mau memperkerjakan ibu. Apa kamu nggak punya ide supaya adik kamu itu mau bekerja dan berhenti sekolah?"

Laura berpikir sedang lalu sesaat kemudian sebuah senyum merekah di bibirnya.

"Aku ada ide," ucap Laura sambil tersenyum licik pada ibunya.

*****

Malam harinya seperti yang sudah direncanakan tadi maka diadakan tahlilan di rumah Hana dengan sangat sederhana sekali, bahkan Hana hanya menyediakan air putih dan roti saja sementara untuk amplop mereka yang datang, Pak ustad menggalang dana dari beberapa orang yang mau bermurah hati membantu keluarga Hana dan Hana bersyukur karena acara berjalan dengan lancar malam itu .

Setelah semuanya selesai maka Hana pun masuk ke dalam kamarnya. Gadis itu segera merebahkan diri ke atas dipan usang dengan kasur yang sudah tipis bahkan sudah tak empuk lagi.

"Capek sekali aku pagi ini. Tapi, aku nggak boleh menyerah besok pagi aku harus bangun pagi-pagi untuk membuat gorengan lalu akan aku jual ke sekolah dengan begitu aku akan bisa membiayai sekolahku sendiri, aku juga akan buka laundry nanti," kata Hana seorang diri sambil memandang atap rumahnya hingga karena kecapean Gadis itu pun terlelap dalam mimpinya.

"Tolong, tolong."

Hana terbangun dari tidurnya saat mendengar teriakan orang meminta tolong, gadis itu mengerjapkan mata beberapa kali dan mempertajam pendengarannya.

"Aa, aduh, Pak sakit, sakit Pak, jangan!"

"Ibu," ujar Hana saat menyadari siapa orang yang berteriak itu yang tak lain adalah Mutia.

Dengan sigap Hana melempar selimut yang menutupi tubuhnya tadi malam dan dia segera turun dari tempat tidur lalu berjalan dengan tergesa menuju ke halaman rumahnya.

"Cepat kamu kembalikan hutang- hutang kamu atau kalau tidak kalian akan aku usir dengan paksa dan kamu, kamu akan kami gilir rame-rame bersama anak kamu yang cantik itu!" teriak lelaki berwajah preman sambil menjambak rambut Mutia, kedua mata wanita itu juga tampak lebam dan bengkak.

"Jangan pak, ku mohon," Mutia bersujud pada lelaki itu, "aaaa, aduh, sakit," teriaknya histeris saat lelaki itu justru menjembak rambutnya dengan kasar dan memukul pipinya berulang-ulang.

"Hentikan! Hentikan tolong jangan siksa ibu saya." Hana berlari lalu bersujud memohon kepada orang itu.

"Kamu lagi, mau apa kamu, Bos nggak mau sama kamu, wajah kamu itu jelek dia nggak mau kalau tidur sama kamu," ucap sang pria berwajah sangar itu.

"Tolong, tolong jangan siksa ibu saya, saya janji akan melunasi hutang ibu saya dan setelah ini saya akan bekerja di kota lalu dengan gaji saya, saya akan mencicil hutang ibu saya tiap bulan."

"Alah, aku bosan dengan janji-janji kalian!" teriak lelaki itu.

"Gak, Pak saya janji."

Setelah mengamati wajah Hana sebentar orang yang memiliki wajah preman itu kemudian pergi meninggalkan rumah Hana begitu saja tanpa berkata apa-apa lagi.

"Ibu," kata Hana mendekat ke arah ibunya.

"Jangan sentuh ibu, gara-gara kamu yang keras kepala, ibu jadi susah begini," kata Mutia sambil meringis menahan sakit di pipinya yang lebam, bibirnya juga bengkak.

"Iya, Hana janji, bu. Hana akan keluar dan menelpon teman Hana di kota untuk nyari kerja."

Mutia tersenyum tipis.

'Yes, gak papa babak belur yang penting rencana aku sukses.'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status