-"Benci aku sesuka kalian, sampai kalian sadar kalau kalian salah benci sama aku! Aku bukan orang selemah itu."-
🐾🐾🐾
BYUR!
Baju Lova basah saat baru saja melangkah ke dalam kelasnya. Matanya terlihat dingin menatap orang yang berada di depannya. Dia melangkah maju dan merasa ingin mencekik Brian.
"MAKSUD LO APA GUYUR GUE!" teriaknya marah sambil menonjok Brian tapi tidak kena.
Brian terkekeh sinis, "Harusnya gue yang tanya, maksud lo apa ngadu ke guru?"
Lova terdiam dan menampilkan wajah tidak takut. Tangannya dia lipat di depan dadanya, "Kenapa? Lo sekarang takut'kan? Lagi siapa suruh nantang gue!" ujarnya yang membuat Brian semakin emosi.
"LO ITU!" tuding Brian.
Lova menatap tidak takut. Sempat sejenak dia melihat ke sekeliling yang menampilkan tatapan tidak suka ke arahnya. Dia mengabaikan Brian dan berjalan ke luar kelas. Dia melangkah menuju koperasi untuk membeli seragam.
Brian meninju tembok di sampingnya dan berteriak ke arah Lova, "CEWEK BAR-BAR!"
Lova mengabaikan semua orang di sekitarnya, berita jika dia yang menyebabkan pengecekan dadakan menyebar di seluruh penjuru sekolah. Dia melihat beberapa orang mencibir ke arahnya.
Dia memantapkan hati dan berusaha baik-baik saja. Dia adalah sosok perempuan kuat. Tidak peduli jika orang lain membencinya sekali pun perasaan tidak nyaman menjalar di hatinya.
"Gue salah lagi, ya?" gumam Lova pada dirinya sendiri.
Lova melanjutkan perjalanannya ke koperasi dan berusaha mengabaikan semua yang terjadi hari ini.
Kaki Lova berhenti di depan koperasi, dia membeli seragam baru guna menganti seragamnya yang basah. Dia dengan cepat menuju kamar mandi dan berganti pakaian sebelum kembali ke kelasnya.
Bel masuk sudah berbunyi, Lova kembali ke kelas dan langsung mendapatkan tatapan tidak suka dari banyak orang. Helaan napas kasar menghembus dari hidungnya. Dia berjalan menuju kursinya dan ingin duduk, sebelum... Brak! Kursi Lova ditendang oleh Brian.
Lova melotot, "Apa-apaan sih lo!" hardiknya yang membuat Brian tersenyum sinis.
"Gue ogah duduk deket lo! Jago kate! Liat muka lo aja gue males," ucap Brian.
"Kalo gitu lo aja sana yang pindah!" usir Lova sambil mengembalikan kursinya ke tempat semula.
"Kenapa gue? Aturan cewek kek elo itu yang pindah! Sekalian enggak usah sekolah di sini juga!" cibir Brian yang membuat Lova jengkel tapi dia diam.
"Selamat siang anak-anak!" sapa Bu Jeni yang telah memasuki ruang kelas.
Lova duduk di kursinya dan memperhatikan ke arah dua guru yang masuk. Dia tahu jika kedua guru itu ingin melakukan pengecekan dadakan.
"Hari ini kita ada pengecekan dadakan dan semua sudut akan dicek!" ucap Bu Jeni kemudian mulai mengeledah semua tempat di kelas itu.
Bu Jeni tidak menemukan apa-apa di tas mereka hingga dia juga mengecek di meja guru dan menemukan sebuah rokok elektronik.
"Ini punya siapa?" tanya Bu Jeni sambil menunjukan rokok elektrik di tangannya.
Beberapa siswa saling melirik kemudian menjawab serentak, "PAK TARNO, BU!"
Pak Tarno yang baru saja ingin memasuki kelas X IPA 1 itu terkejut hingga hampir terpeleset, "Ngajar di kelas ini aja belom kok nuduh saya! Sembarangan kalian, ya!" gerutu Pak Tarno sambil mengelengkan kepala.
Bu Jeni menatap ke arah anak kelas X IPA 1 itu serius, "Jujur, ini milik siapa?" tanya Bu Jeni ulang.
"Brian, Bu!" adu Lova yang mendapatkan sorot tidak suka dari semua teman sekelasnya.
"BRIAN! IKUT IBU KE RUANG BK SEKARANG!" suruh Bu Jeni yang diangguki oleh Brian.
Brian menatap Lova marah. "Awas lo!"
🐾🐾🐾
Rolan baru saja keluar dari kelasnya, dia menunggu Elin keluar sambil bersandar di dinding. Bel pulang sekolah sudah berbunyi 3 menit yang lalu. Dia hari ini sudah memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Elin.
Melihat Elin yang sudah keluar kelas itu, Rolan menyeretnya ke parkiran tanpa mengucapkan kalimat apa pun. Elin berkedip bingung dengan tingkah Rolan saat ini tapi dia tetap menurut saat diseret oleh pacarnya itu.
Rolan melepaskan genggaman tangannya dan mengeluarkan motor dari parkiran. Dia menghentikan motornya di depan Elin dan menatapnya datar. Dia mengisyaratkan untuk segera menaiki motor dengan dagunya.
Elin tersenyum lebar dan naik ke motor, dia memeluk Rolan dari belakang, "Kita mau kemana, Lan?" tanya Elin sambil berkedip manis.
"Pantai," balas Rolan dingin kemudian mengendarai motornya membelah jalan raya.
Elin yang tahu jika mereka akan ke pantai itu merasa bahagia. Mungkin Rolan ingin membuatnya senang dengan mengajaknya ke pantai. Sepanjang jalan Elin senyum-senyum sendiri membayangkan jika Rolan pasti akan menyajikan kejutan romantis?
Sepuluh menit berlalu dan akhirnya mereka sampai di pantai. Rolan menyuruh Elin turun dan mengajaknya ke pinggir pantai.
"Lin, gue mau ngomong sesuatu," ucap Rolan yang membuat Elin mengenggam tangannya erat.
"Elin udah maafin Rolan kok. Elin tahu kalau Rolan sebenernya enggak bermaksud nyakitin Elin'kan?" balas Elin sambil tersenyum tulus.
Rolan menatap senyum tulus dari Elin itu dengan tatapan datar, "Bukan. Gue mau kita putus!" ujar Rolan yang membuat hati Elin seperti ingin meledak.
Dia menatap Rolan tidak percaya, "Enggak! Elin enggak mau putus dari Rolan!" tegas Elin sambil mengelengkan kepalanya. Air matanya menetes dan menolak putus.
"Gue enggak ada rasa sama elo lagi, Lin! Jadi udah enggak ada yang perlu dipertahanin lagi!" tegas Rolan yang membuat Elin menangis histeris.
Melihat Elin yang menangis itu, Rolan hanya diam saja lalu meninggalkannya sendiri. Melihat dirinya ditinggalkan sendiri, Elin menjadi panik.
"ROLAN JANGAN PERGI! KALAU ROLAN PERGI ELIN BAKALAN NAIK BUS WAKTU PULANG!" Rolan terus berjalan tanpa menanggapi teriakan dari Elin.
"ROLAN TAHU'KAN KALAU ELIN TAKUT NAIK BUS? KALAU ROLAN PERGI ELIN BAKAL NEKAT!" teriak Elin semakin histeris saat melihat Rolan tidak peduli dengan dirinya.
Rolan semakin menjauh dan meninggalkannya sendirian. Tubuh Elin merosot dan duduk di atas pasir, suara ombak seolah beradu menyaingi suara tangis dari Elin.
"Gue enggak mau kehilangan Rolan, gue enggak mau," gumam Elin kacau.
"GUE MAU MATI!"
🐾🐾🐾
-Semesta berkata, "Aku memberimu ruang bukan untuk disia-siakan. Tuhan memberimu napas bukan untuk disepelekan. Segala yang diuji bukan bermaksud dihancurkan, tapi karena tahu jika kamu mampu."-
Bersambung...
"Perlahan rasa itu muncul. Awalnya merasa sedikit hilang tapi semakin lama aku jadi ketergantungan. Ketergantunyan dengan kehadirannya."🐾🐾🐾Lova membuka pintu rumahnya, dia melihat ayahnya sedang duduk di kursi ruang tamu sambil meminum segelas kopi. Jason melirik sekilas ke arahnya dan kemudian mengabaikan Lova.Napas Lova terhembus pelan, tidak ada sapaan, tidak ada pula interaksi kepedulian. Dia melangkah menuju kamarnya dengan raut wajah dingin seperti biasa. Jujur, dia ingin diperhatikan. Dia juga ingin punya tempat berkeluh kesah, ingin menyampaikan jika dia itu sedang sedih, sedang senang, atau berbagai perasaan yang sedang dia rasakan."EH ADA BABU!" teriak Rania sambil membawa berbagai paper bag belanjaan.Lova berhenti sejenak dan menoleh ke arah Rania, "Maksud lo apa?!" tanya Lova yang tidak terima dipanggil babu.Rania terkekeh sinis, "Daripada marah, sini bantuin nyonya bawa belanjaan!" suruhnya yang membuat Lova mengepalkan
"Kita kacau, sama-sama kacau. Hanya saja penyebab kacau kita berbeda, walau pasti rasa sakitnya sama saja."🐾🐾🐾Elin datang ke rumah Bagas dengan penampilan kacau. Matanya bengkak dengan pakaian kotor terkena pasir pantai. Dia berdiri di depan pintu rumah Bagas."Gas, buka!" ujar Elin sambil mengetuk pintu rumah Bagas pelan.Bagas yang sedang menonton televisi itu mendengar suara sayup-sayup. Suara itu mirip dengan Elin, senyum terbit di bibir Bagas, "Kayaknya gue terlalu cinta sama Elin deh sampai suara dia sering kedengeran di telinga gue."Tok! Tok! Tok!"Gas, elo ada di rumah?" Suara Elin terdengar lirih sambil mengetuk pintu rumah Bagas sedikit keras.Bagas yang mengetahui Elin datang ke rumahnya itu melompat bangkit dari posisi rebahannya di kursi.Dia merapikan pakaiannya dan menyisir rambutnya. Bagas berjalan dengan gaya cool ke arah pintu. Dia membuka pintu dan terkejut saat Elin tiba-tiba memeluknya."Gas...
"Sepinya aku, sendirinya aku, tidak ada dari kalian yang tahu. Bahkan semesta terlihat berpaling layaknya aku hanya debu buangan."🐾🐾🐾"Lova harus jadi perempuan kuat."Air mata Lova menetes tanpa dia sadari. Helaan napasnya pelan, tangannya dengan erat memeluk guling di dekapannya. Dia tertidur sambil menangis."Aku ingin hilang, pergi dari hingar bingar bumi yang tajam seperti karang lautan, di mana bisa menenggelamkan perahu layar.""Mama," ucap Lova yang mengigau dalam tidurnya."Jaga diri, mama pergi.""MAMA JANGAN PERGI! HAH!" teriak Lova lalu bangun dari tidurnya.Dia menyenderkan punggung di bantal dan menelungkupkan tangan di wajahnya. Perasaan tidak nyaman mulai menjalar, dia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Takut, marah, kecewa, semua menjadi satu. Semakin dia berpikir, hanya pusing yang akan dia rasakan."Gue kuat!" tegas Lova berkali-kali pada dirinya. Bahkan, ribuan kali mungkin su
Rolan di seret hingga keluar dari bar. Gadis itu entah mengapa menjadi terlihat aneh di matanya. Kekehan sinis mulai keluar dari bibir Rolan untuk gadis yang menyeretnya itu."Ternyata sikap baik lo selama ini cuma akting ya, Bil!" sindir Rolan. Billa hanya tersenyum ketika mendengar ucapan Rolan."Heh, soal itu bukan urusan lo! Gue ke sini karena butuh bantuan lo!" balas Billato the point."Lo? Butuh bantuan? Kayaknya lo salah orang deh, lagian kita enggak pernah deket, jadi ya, ngapain juga gue bantuin elo," balas Rolan tidak tertarik membantu Billa."Gue berani dateng ke sini karena gue yakin elo bakal bantuin gue," ucap Billa yakin sembilan puluh lima persen jika Rolan akan membantunya."Sebegitu yakinnya elo? Hah, gue enggak punya waktu buat ngobrol sama lo lama-lama. Permintaan bantuan lo gue tolak!" putus Rolan kemudian berjalan meninggalkan Billa."LO BENERAN ENGGAK MAU TAHU PENYEBAB CERAINYA ORANG TUA LO KARENA SIAPA?
Suasana pagi ini riuh, Lova berjalan menyusuri lorong sekolah. Banyak pasang mata yang meliriknya dengan sinis."Itu ya yang namanya Lova? Anak sok baik dan ngerasa pengen jadi pahlawan? Gila kali ya, gara-gara dialipbalmbaru gue disita pas pengecekan kemarin!" keluh seorang siswi yang duduk di depan kelas IPS sambil menatap Lova sinis.Langkah kaki Lova terlihat santai seolah tidak peduli dengan sindiran di sekitarnya. Wajahnya datar walau perasaannya sedikit tidak nyaman."Tuh liat, si tukang ngadu yang mukanya belagu!""Eh, lo tahu enggak? Dia itu dari awal masuk SMA tuh enggak disukain sama anak kelasnya," rumpi seorang siswi yang baru saja berangkat dan mendengar bahan ghibah pagi ini.
Bagas berjalan dengan buru-buru menuju tempat di mana Elin berada. Dia khawatir jika terjadi apa-apa dengan Elin. Pasalnya Elin adalah gadis rapuh yang tersentuh sedikit bisa hancur.Dia membuka ruangan perpustakaan yang sepi. Bagas berjalan perlahan menuju meja baca di paling pojok ruangan. Dunianya sedang menangis di depan sana. Hati Bagas menjadi ikut sedih."Lin," panggil Bagas pelan sambil mengusap puncak kepala Elin.Elin mendongak dan matanya merah. Dia benar-benar merasa hancur dan memeluk Bagas dengan erat, "Gas, gue bener-bener enggak tahu. Hati gue rasanya remuk dan sakit. Gue enggak kuat," tangis Elin pecah semakin keras. Dia tidak tahu mengapa kebahagiaannya pergi, keluarganya hancur, dan sangga dia hilang."Jangan sedih,
Billa berjalan ke kelasnya sambil tersenyum kecil, dia berharap jika Bagas akan mengingat dirinya ketika mendapat secarik kertas tadi. Bel masuk sekolah sudah berbunyi. Billa masuk ke dalam kelas dan duduk satu bangku dengan Elin. Dia dan Elin memang satu kelas di XI IPA 1 sedangkan Bagas ada di kelas XI IPA 2. "Hey, Lin," sapa Billa ramah. Elin tersenyum kecil dan menganggukan kepalanya. "Billa darimana?" tanya Elin pada Billa. "Dari kelas XI IPA 2," jawab Billa. "Tadi waktu lo balik, Bagas udah sampe ke kelasnya'kan?" tanya Elin lagi memastikan jika Bagas tidak terlambat masuk kelas. Billa terdiam sejenak lalu menjawab,"Iya, udah." "Syukurlah kalau udah, soalnya tadi Bagas nemenin Elin dulu," papar Elin menunjukan jika Bagas tadi bersamanya. Billa yang mendengar hal itu tersenyum kecil. "Lo deket banget sama Bagas ya?" Senyum merekah dibibir Billa sambil menatap lekat ke arah Elin. Mata Elin bersinar, “Deket ban
Bel istirahat berbunyi. Bagas menanyai teman sekelasnya apakah ada yang tahu siapa yang menaruh kertas kecil di lacinya, tapi tidak ada satu orang pun yang tahu. Vava melihat Bagas mencari seseorang yang menaruh secarik kertas di lacinya itu berpikir keras. Pasti orang yang menaruh kertas itu adalah fans baru Bagas. Dia harus memberitahukan berita ini ke Billa agar bisa mengantisipasi adanya saingan baru untuk Billa.‘Bil, ada orang yang naruh kertas kecil di laci Bagas. Awas lo punya saingan baru!’ Pesan itu dikirimkan oleh Vava ke nomor Billa.‘Apasih, Va. Jangan ngeledekin lagi deh.’ Vava yang membaca balasan dari Billa itu berdecak sebal. Temannya ini masih tidak mau mengakui jika dia mencintai Bagas.“Va, lo tahu ada yang ke meja gue terus naruh kertas kecil enggak?” tanya Bagas kepada Vava. Gelengan kepala Vava membuat Bagas mengangguk. “Okey kalau lo ga tahu. Thanks.” Bagas menyerah menanyai