"Om, aku tidak mau ikut. Aku sakit," ucap Lolita dengan selimut menyelubungi semua badannya, hanya wajahnya yang dia biarkan terbuka dengan menatap Edgar memohon.
Edgar bergeleng keras. "Kau harus ikut, Lolita! Aku bahkan menunda jadwalku hanya untuk mengantarkanmu ke pesta kelulusanmu. Jangan membuat waktuku yang berharga menjadi sia-sia!"
"Om, aku benar-benar sakit," balas Lolita terus beralasan. Padahal dia tidak sedang sakit, dan hanya sempat bersin beberapa kali. Tapi, dia akan mencoba berbagai alasan agar dia bisa bebas dari acara kelulusannya yang memuakkan.
Edgar menjulurkan sebelah tangannya, menempelkan punggung tangannya di dahi Lolita. "Kau berbohong! Suhu tubuhmu normal. Aku tidak akan mendengar alasanmu lagi!"
Apa yang Edgar lakukan ini membuat pipi Lolita memerah. Bahkan saat Edgar sudah menghilang dari pandangan Lolita, gadis itu tetap tertegun di tempatnya.
"Kenapa jantungku berdetak cepat sih? Pasti ada yang salah dengan jantungku." Lolita menekan dadanya dengan kedua tangan. Tangan besar Edgar berhasil membuat perasaan Lolita menjadi tak keruan. Kalau boleh jujur, sejak pertama kali melihat Edgar, Lolita terpesona dibuatnya. Pria itu sungguh tampan dan matang. Mata biru gelapnya dan kulit gelapnya lumayan kontras, membuat Edgar semakin memikat alih-alih membosankan. Tubuh pria itu juga memukau. Menjulang dengan ketinggian 189 cm dilengkapi dengan otot-ototnya yang terbentuk sempurna.
Namun, fakta yang mengatakan jika usia mereka terpaut terlalu jauh, membuat Lolita tersadar. Dia harus mengendalikan perasaannya. Jangan sampai dia jatuh terlalu jauh ke dalam pesona Edgar.
Edgar berteriak dari luar kamar Lolita tiba-tiba, mengejutkan Lolita. Lalu, kepalanya menyembul menatap Lolita tajam. "Jangan beralasan lagi! Cepat bersiap-siap!"
Lolita terlonjak dari atas kasur dan segera menarik kedua tangannya yang tadi menempel di dadanya. "I—iya, Om."
Kepala Edgar sudah lenyap dari balik pintu setelah menerima jawaban dari Lolita.
"Aishh… apa aku harus ikut ke pesta kelulusan dan bertemu mereka lagi? Menyebalkan." Lolita bersungut-sungut sambil melangkahkan kaki ke kamar mandi. Kalau saja ayahnya yang menyuruhnya, mungkin Lolita bisa memohon pada ayahnya untuk tidak ikut. Tapi, sekarang yang dia hadapi adalah Edgar. Pria itu sulit sekali dibujuk. Hatinya sungguh keras dan tak tersentuh.
Lolita baru saja menyalakan shower saat suara Edgar kembali memperingatkannya.
"Jangan mengulur-ulur waktuku, Lolita!"
"Iya, Om," balas Lolita dengan suara tak kalah kerasnya.
Sepuluh menit kemudian, Lolita keluar dari kamar mandi dengan hanya berbalutkan handuk. Dia terkejut setengah mati saat melihat Edgar duduk di pinggir tempat tidurnya.
"Cepat berpakaian!"
"Lalu, Om tetap mau di sini?" Lolita merapatkan handuknya. Sial, handuk ini hanya bisa menutupi dadanya dan sebagian pahanya. Tatapan pria itu terarah ke kaki Lolita, lalu naik ke atas.
"Dasar Om mesum! Keluar dari kamarku!" teriak Lolita memunggungi Edgar cepat-cepat.
"Tidak! Aku akan tetap di sini, memastikan kau tidak beralasan dan tidak mengulur-ulur waktu lagi," balas Edgar menohok Lolita. Dia tidak peduli dengan Lolita. Mau dia telanjang bulat pun, itu tidak akan membuat Edgar terangsang. Tubuh gadis itu pasti tidak semolek para wanita sewaannya.
"Kau berpakaian saja. Kau tidak perlu takut aku akan menyerangmu karena kau bukan tipeku," sambung Edgar tertawa merendahkan. Membuat Lolita kesal bukan main.
"Om, pergi!" Lolita berbalik dan mendorong tubuh Edgar keluar dari kamarnya. Karena handuknya tidak terbelit sempurna, benda itu jatuh tanpa dosa ke lantai. Menampakkan tubuh telanjang Lolita di depan kedua mata Edgar yang kini membulat sempurna.
"Om mesum!" Lolita menjerit sambil buru-buru mengambil handuknya untuk menutupi tubuhnya.
Edgar mengulas senyum sekilas, dan dengan santai pergi dari kamar Lolita. Namun, ketika sudah berada di luar Edgar menatap kejantanannya yang sudah berdiri. "Sial. Miliknya tadi besar juga."
Setelah kejadian itu Lolita dan Edgar memilih diam. Lolita merasa canggung dan malu, sedang Edgar sibuk dengan pikirannya sendiri. Sampai mobil yang membawa mereka sampai di sebuah gedung mewah, tempat pesta kelulusan sekolah Lolita akan diadakan.
Lolita melangkah keluar dari mobil dengan hati-hati. Dia memakai dress sederhana peninggalan ibunya, dan sepatu berhak tinggi hadiah dari ayahnya saat Lolita berulang tahun yang ke tujuh belas.
Lolita tidak memiliki barang mewah seperti milik teman-temannya. Lolita tidak pernah memintanya, bahkan ketika dia ingin. Karena Lolita tidak mau membebani ayahnya yang hanya bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan kecil. Bisa makan setiap hari, dan bisa lulus sekolah saja sudah membuat Lolita sangat bersyukur.
Baru saja Lolita memasuki gedung megah di depannya, kedatangan Lolita segera disambut oleh hinaan dari teman-temannya.
"Ahh… si pembawa sial datang juga ternyata."
"Wow… dia tidak punya malu."
"Lihat dress tua yang dia pakai. Sungguh ketinggalan zaman."
"Memalukan. Aku kalau jadi dia, aku pasti memilih bersembunyi saja di rumah ditemani babi-babi peliharaan neneknya."
"Hahahaha…"
Lolita berusaha menulikan telinganya. Dia memilih terus berjalan tanpa mempedulikan sekitarnya. Lolita sudah mengeluarkan uang untuk pesta ini seperti teman-temannya yang lain. Jadi, dia juga memiliki hak yang sama untuk menikmati pestanya.
Sialan memang, Lolita sejak awal sudah menolak untuk ikut acara yang hanya akan menguras energi dan kesabarannya. Ini semua karena Edgar. Edgarlah yang memaksanya untuk tetap datang.
Ngomong-ngomong ada di mana Om Edgar sekarang, batin Lolita celingukan mencari Edgar. Tapi, pria itu tak terlihat sama sekali. Ke mana Edgar pergi? Lolita membutuhkan Edgar di sampingnya. Dia tidak tahan lagi mendengar ucapan-ucapan yang semakin memanaskan telinganya, membuka kembali luka di hati Lolita yang belum sepenuhnya sembuh.
Seorang gadis berpakaian glamour mendekati Lolita. Dia tersenyum culas saat melihat Lolita mengambil makanan dari meja saji. "Dasar tak tahu malu," tukasnya menampik tangan Lolita sampai kue yang Lolita pegang jatuh di lantai.
Lolita mendengus samar, berusaha untuk tetap sabar. Dia berbalik menatap teman satu kelasnya. Gadis itu adalah primadona di sekolahnya, dan yang Lolita tahu gadis itu pernah menyukai mantan kekasihnya.
"Karena kau keluarga Sebastian jadi bangkrut. Dasar pembawa sial!"
"Apa? Keluarga Sebastian bangkrut?" gumam Lolita bertanya tak percaya. Yang dia ingat keluarga mantan kekasihnya itu sangat kaya, bahkan kekayaannya tidak akan pernah habis sampai tujuh turunan. Jadi, bagaimana bisa bangkrut secepat itu? Dan kenapa menyalahkan dirinya? Lolita tidak ada hubungannya sama sekali dengan itu semua.
"Iya bangkrut! Gara-gara kau, Sialan! Kau kan pembawa kesialan dimanapun kau berada!" jawab gadis di depan Lolita dengan lantang, lantas mendorong Lolita sampai terperosok ke meja, mengenai sup yang masih mengepulkan asap.
"Aww…." Lolita meringis menahan sakit di lengannya yang melepuh karena terkena sup panas.
"Selain kau tidak punya malu, ternyata kau juga pelacur seperti ibumu. Kau pergi ke sini dengan sugar daddymu kan? Menjijikkan!" Seorang gadis lain ikut bergabung untuk merendahkan Lolita, menyudutkannya.
"Jangan menghina ibuku! Dan aku tidak seperti yang kau katakan. Pria itu bukan sugar daddyku!" balas Lolita berteriak. Sudah habis kesabarannya sekarang.
Namun, sebelum Lolita melanjutkan ucapannya, seseorang menyela.
"Ya, aku memang sugar daddynya. Kenapa? Ada yang salah?"
-Bersambung-
Edgar baru saja pergi ke kamar mandi untuk memuaskan dirinya sendiri. Melihat payudara Lolita yang berukuran besar dan begitu menggoda tadi, membuat celananya sesak. Ini sungguh menyiksanya jika ditahan lebih lama lagi, sehingga dia harus melampiaskan gairah birahinya yang terlanjur terangsang. Kini Edgar kembali kepada Lolita, memasuki ruang utama gedung megah yang dipadati para alumni dan wali mereka. Dia berjalan menghampiri Lolita yang terlihat sedang berbincang dengan teman-temannya. Mungkin mereka sedang mengobati rindu. Batin Edgar terus melangkah mendekat.Namun, kedua alis gelap Edgar menyatu ketika mendapati suasana di sekitarnya begitu tegang, dan dia mendengar jika salah satu teman Lolita mengatakan jika Lolita pergi dengan sugar daddynya. Dan sugar daddy yang gadis itu maksud adalah Edgar.Edgar maju selangkah demi selangkah dengan mengulas senyumnya. Dasar remaja zaman sekarang, gurauannya sungguh di luar akal. Bagaimana mungkin pria setampan dirinya jadi sugar daddy ga
Setelah mengantarkan Lolita ke apartemen, Edgar segera meluncur menuju club. Dia duduk di balik meja bar menunggu pesanannya datang dengan gelisah.Tak selang lama, seorang pelayan membawa pesanan Edgar dan menaruhnya ke meja di depan Edgar. "Ini pesanan Anda, Tuan," ucapnya tersenyum ramah, kemudian melenggang pergi.Edgar menatapi dua botol sampanye di hadapannya dengan pandangan menggelap. Dia meraih salah satu botol dan langsung menenggaknya sampai hampir habis. Edgar meletakkan botol kembali, menyeka mulutnya, dan mendengus lega.Bayangan Lolita masih saja tercetak di ingatannya. Dari mana gadis itu belajar menggoda, huh? Tadi sungguh nyaris. Jika Edgar gagal mengendalikan dirinya, mungkin saja dia sudah menggagahi Lolita di dalam mobil.Bibir yang manis dan lembut, lalu mata coklat gadis itu yang menatapnya sayu sungguh menggoda. Ingin rasanya Edgar melahapnya. Tapi, dia harus menahan hasratnya. Lolita adalah anak Roy, sahabat terbaiknya. Dia bisa menyentuh wanita manapun, tapi
Edgar menopang kepalanya yang berdenyut sakit karena terlalu banyak minum sampanye dan insomnia yang dia derita. Pagi tadi Edgar langsung pergi ke perusahaan tanpa pulang ke apartemennya lebih dulu. Sebagai gantinya, dia meminta Franklin untuk membelikan alat mandi serta setelan jas baru untuknya."Huh …." Edgar menghembuskan napas kasar dari hidungnya. Semalam Edgar tidur di mobilnya setelah sesi bercinta dengan Loren yang terasa biasa saja.Edgar sedikit heran. Di saat dia bercinta dengan Loren, entah kenapa dia tidak menemukan kepuasan yang dia inginkan. Tidak seperti biasanya. Ada sesuatu yang kurang, tapi Edgar tak tahu apa itu. Sejak tunangannya berselingkuh, Edgar memilih menghabiskan waktunya dengan banyak wanita sewaan. Dan salah satu wanita sewaan yang berhasil membuatnya tertarik adalah Loren. Dia wanita yang patuh, pintar dalam hal memuaskan, dan memiliki tubuh sintal yang menggairahkan.Namun, sekarang Edgar sudah merasa bosan dengan Loren. Dia perlu wanita lain untuk m
Lolita membekap mulutnya dengan kedua tangan, terkejut karena dia dipanggil dengan sangat sensual ketika Edgar sedang melakukan masturbasi.Kedua mata Lolita tak lepas dari kejantanan Edgar yang semakin membesar. Hingga Edgar mencapai puncak kenikmatannya. “Ahhh….” Edgar mendesah puas. Dia menyeka cairan kenikmatannya dengan tisu, kemudian melangkah ke kamar mandi yang ada di dalam ruangan untuk membersihkan diri, tanpa tahu Lolita tengah menyaksikan semua yang dia lakukan ini.Lolita menelan ludahnya dengan susah payah, seakan tenggorokannya kering, dan membutuhkan sesuatu untuk menyegarkannya. Dengan buru-buru Lolita berlari ke dapur, mengambil segelas air, dan meneguknya dengan cepat. Karena kurang hati-hati airnya mengguyur baju tidurnya yang berwarna putih. Cukup banyak sampai bra hitam yang lolita pakai tampak tercetak jelas. Tapi, Lolita tetap melanjutkan minumnya sambil membayangkan kejantanan Edgar tadi. Gairah menjalari Lolita, membuat kedalaman dan bagian bawahnya menegan
"Bagaimana kabar gadis kecil itu, Tuan?" tanya Franklin membuka topik pembicaraan.Edgar yang sedang membolak-balikkan dokumen di depannya, menghentikan aktivitasnya sebentar untuk menjawab Franklin yang menanyakan kabar Lolita. "Dia bukan gadis kecil lagi, sama sekali tidak kecil, Franklin. Dan keadaannya baik," ucap Edgar menjaga agar suaranya tetap datar dan tak acuh.Franklin mengangguk paham. Dia kemudian berkata lagi. Namun, dia berubah serius saat mengatakannya. "Tuan, apa Anda tahu kabar tentang Nona Nola?""Tidak." Edgar bergeleng. Dia hendak membaca dokumen lagi, tapi ucapan Franklin selanjutnya mengurungkan niat Edgar."Nona Nola akan segera melakukan perjalanan pulang kembali ke New York, Tuan."Gerakan tangan Edgar berhenti seketika saat nama mantan tunangannya disebut. Setiap kali Edgar mendengar nama itu, hanya pengkhianatan wanita itu yang teringat.Suasana hati Edgar berubah buruk. Rahangnya mengetat, tubuhnya menegang penuh amarah. Dia meletakkan dokumen dari tangann
"Kekasih Tuan Edgar?" tanya Loren memicingkan mata tak percaya. Mana mungkin Tuan Edgar menyukai gadis polos yang berdiri di depannya ini.Kalau dari fisik, dia cantik. Hanya saja, pakaian yang dia pakai sungguh tidak membuat pria mana pun berselera. Pakaiannya terlalu membosankan, dan tidak memperlihatkan lekuk tubuh sama sekali. Loren terus menilai Lolita. Loren menatapnya dari kepala sampai ke ujung kaki."Kau berbohong ya? Mana mungkin Tuan Edgar suka dengan perempuan sepertimu! Kau pasti wanita sewaan Tuan Edgar yang baru ya?" Loren mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah Lolita."Bagaimana mungkin ada wanita sewaan yang tinggal di apartemennya, jika orang itu tidak istimewa?" balas Lolita tak mau kalah.Loren semakin kesal. Tujuannya pergi ke apartemen Edgar adalah mempertanyakan kabar pria itu, kenapa lama tidak pergi ke club, dan tidak pernah menghubunginya lagi.Edgar adalah salah satu sumber penghasilannya. Tapi, gadis yang terlihat lebih muda darinya ini telah me
Di sebuah club, wanita yang Edgar dan Lolita tengah bicarakan sedang menghabiskan dua botol bir sendirian.Loren menangis sambil terus mengomel. Sesekali dia membanting botol pelan ke meja bar. "Huh, menyebalkan. Dasar gadis licik. Dia merebut Tuan Edgar dariku." Loren mulai berbicara rancau. "Awas saja, aku akan membuatmu menyesal karena sudah berurusan denganku."Ketika Loren bangkit dari duduknya, hendak memesan bir lagi, dia tidak sengaja menabrak pundak seorang laki-laki."Maaf," ucap keduanya bersamaan secara spontan.Loren menyipitkan matanya melihat sosok jangkung itu. Wajahnya sangat tidak asing, karena pernah menyewa Loren beberapa kali. Dan Loren tahu kalau dia adalah anak dari keluarga kaya raya. Sebastian Brown."Kau Sebastian kan?" tanya Loren. Tapi, detik berikutnya dia merengut kecewa. "Kenapa kau memakai seragam driver pengantar makanan? Bukannya kau kaya?"Laki-laki bernama Sebastian itu membuang wajah. "Sial sekali aku bertemu denganmu di sini. Keluargaku bangkrut.
Rahang Edgar mengeras, giginya bergemeletuk menahan amarah. Dengan gerakan cepat, dia menarik laki-laki yang mencoba memperkosa Lolita. Lalu, membantingnya ke lantai.Edgar sudah kehilangan kendali. Dia memukul Sebastian membabi buta, tak memberikan kesempatan pada laki-laki itu untuk membalas pukulannya.Brakk!Tubuh Sebastian terpelanting ke dinding dengan cukup keras. Darah mulai mengalir dari hidung dan pelipisnya.Lolita menatap ngeri Edgar yang terus memberikan pukulan pada Sebastian, meski lawannya itu sudah kehilangan kesadaran. "Om, cukup," lirih Lolita dengan air mata yang sudah reda. Tapi, tubuhnya masih bergetar, menahan ketakutan. Dia menutupi tubuh polosnya dengan handuk ketika Edgar menoleh ke arahnya.Kedua mata Edgar berkilat. Dia terlihat sangat menakutkan. Namun, perlahan tatapan matanya meredup.Edgar mendekati Lolita yang duduk meringkuk di dekat dinding, lalu menangkup pundaknya pelan."Kau baik-baik saja? Siapa dia? Kenapa dia bisa masuk ke sini?"Lolita hanya b