Share

Bab 6. Pesta Kelulusan

"Om, aku tidak mau ikut. Aku sakit," ucap Lolita dengan selimut menyelubungi semua badannya, hanya wajahnya yang dia biarkan terbuka dengan menatap Edgar memohon.

Edgar bergeleng keras. "Kau harus ikut, Lolita! Aku bahkan menunda jadwalku hanya untuk mengantarkanmu ke pesta kelulusanmu. Jangan membuat waktuku yang berharga menjadi sia-sia!"

"Om, aku benar-benar sakit," balas Lolita terus beralasan. Padahal dia tidak sedang sakit, dan hanya sempat bersin beberapa kali. Tapi, dia akan mencoba berbagai alasan agar dia bisa bebas dari acara kelulusannya yang memuakkan.

Edgar menjulurkan sebelah tangannya, menempelkan punggung tangannya di dahi Lolita. "Kau berbohong! Suhu tubuhmu normal. Aku tidak akan mendengar alasanmu lagi!"

Apa yang Edgar lakukan ini membuat pipi Lolita memerah. Bahkan saat Edgar sudah menghilang dari pandangan Lolita, gadis itu tetap tertegun di tempatnya.

"Kenapa jantungku berdetak cepat sih? Pasti ada yang salah dengan jantungku." Lolita menekan dadanya dengan kedua tangan. Tangan besar Edgar berhasil membuat perasaan Lolita menjadi tak keruan. Kalau boleh jujur, sejak pertama kali melihat Edgar, Lolita terpesona dibuatnya. Pria itu sungguh tampan dan matang. Mata biru gelapnya dan kulit gelapnya lumayan kontras, membuat Edgar semakin memikat alih-alih membosankan. Tubuh pria itu juga memukau. Menjulang dengan ketinggian 189 cm dilengkapi dengan otot-ototnya yang terbentuk sempurna.

Namun, fakta yang mengatakan jika usia mereka terpaut terlalu jauh, membuat Lolita tersadar. Dia harus mengendalikan perasaannya. Jangan sampai dia jatuh terlalu jauh ke dalam pesona Edgar.

Edgar berteriak dari luar kamar Lolita tiba-tiba, mengejutkan Lolita. Lalu, kepalanya menyembul menatap Lolita tajam. "Jangan beralasan lagi! Cepat bersiap-siap!"

Lolita terlonjak dari atas kasur dan segera menarik kedua tangannya yang tadi menempel di dadanya. "I—iya, Om."

Kepala Edgar sudah lenyap dari balik pintu setelah menerima jawaban dari Lolita.

"Aishh… apa aku harus ikut ke pesta kelulusan dan bertemu mereka lagi? Menyebalkan." Lolita bersungut-sungut sambil melangkahkan kaki ke kamar mandi. Kalau saja ayahnya yang menyuruhnya, mungkin Lolita bisa memohon pada ayahnya untuk tidak ikut. Tapi, sekarang yang dia hadapi adalah Edgar. Pria itu sulit sekali dibujuk. Hatinya sungguh keras dan tak tersentuh.

Lolita baru saja menyalakan shower saat suara Edgar kembali memperingatkannya.

"Jangan mengulur-ulur waktuku, Lolita!"

"Iya, Om," balas Lolita dengan suara tak kalah kerasnya.

Sepuluh menit kemudian, Lolita keluar dari kamar mandi dengan hanya berbalutkan handuk. Dia terkejut setengah mati saat melihat Edgar duduk di pinggir tempat tidurnya.

"Cepat berpakaian!"

"Lalu, Om tetap mau di sini?" Lolita merapatkan handuknya. Sial, handuk ini hanya bisa menutupi dadanya dan sebagian pahanya. Tatapan pria itu terarah ke kaki Lolita, lalu naik ke atas.

"Dasar Om mesum! Keluar dari kamarku!" teriak Lolita memunggungi Edgar cepat-cepat.

"Tidak! Aku akan tetap di sini, memastikan kau tidak beralasan dan tidak mengulur-ulur waktu lagi," balas Edgar menohok Lolita. Dia tidak peduli dengan Lolita. Mau dia telanjang bulat pun, itu tidak akan membuat Edgar terangsang. Tubuh gadis itu pasti tidak semolek para wanita sewaannya.

"Kau berpakaian saja. Kau tidak perlu takut aku akan menyerangmu karena kau bukan tipeku," sambung Edgar tertawa merendahkan. Membuat Lolita kesal bukan main.

"Om, pergi!" Lolita berbalik dan mendorong tubuh Edgar keluar dari kamarnya. Karena handuknya tidak terbelit sempurna, benda itu jatuh tanpa dosa ke lantai. Menampakkan tubuh telanjang Lolita di depan kedua mata Edgar yang kini membulat sempurna.

"Om mesum!" Lolita menjerit sambil buru-buru mengambil handuknya untuk menutupi tubuhnya.

Edgar mengulas senyum sekilas, dan dengan santai pergi dari kamar Lolita. Namun, ketika sudah berada di luar Edgar menatap kejantanannya yang sudah berdiri. "Sial. Miliknya tadi besar juga."

Setelah kejadian itu Lolita dan Edgar memilih diam. Lolita merasa canggung dan malu, sedang Edgar sibuk dengan pikirannya sendiri. Sampai mobil yang membawa mereka sampai di sebuah gedung mewah, tempat pesta kelulusan sekolah Lolita akan diadakan.

Lolita melangkah keluar dari mobil dengan hati-hati. Dia memakai dress sederhana peninggalan ibunya, dan sepatu berhak tinggi hadiah dari ayahnya saat Lolita berulang tahun yang ke tujuh belas.

Lolita tidak memiliki barang mewah seperti milik teman-temannya. Lolita tidak pernah memintanya, bahkan ketika dia ingin. Karena Lolita tidak mau membebani ayahnya yang hanya bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan kecil. Bisa makan setiap hari, dan bisa lulus sekolah saja sudah membuat Lolita sangat bersyukur.

Baru saja Lolita memasuki gedung megah di depannya, kedatangan Lolita segera disambut oleh hinaan dari teman-temannya.

"Ahh… si pembawa sial datang juga ternyata."

"Wow… dia tidak punya malu."

"Lihat dress tua yang dia pakai. Sungguh ketinggalan zaman."

"Memalukan. Aku kalau jadi dia, aku pasti memilih bersembunyi saja di rumah ditemani babi-babi peliharaan neneknya."

"Hahahaha…"

Lolita berusaha menulikan telinganya. Dia memilih terus berjalan tanpa mempedulikan sekitarnya. Lolita sudah mengeluarkan uang untuk pesta ini seperti teman-temannya yang lain. Jadi, dia juga memiliki hak yang sama untuk menikmati pestanya.

Sialan memang, Lolita sejak awal sudah menolak untuk ikut acara yang hanya akan menguras energi dan kesabarannya. Ini semua karena Edgar. Edgarlah yang memaksanya untuk tetap datang.

Ngomong-ngomong ada di mana Om Edgar sekarang, batin Lolita celingukan mencari Edgar. Tapi, pria itu tak terlihat sama sekali. Ke mana Edgar pergi? Lolita membutuhkan Edgar di sampingnya. Dia tidak tahan lagi mendengar ucapan-ucapan yang semakin memanaskan telinganya, membuka kembali luka di hati Lolita yang belum sepenuhnya sembuh.

Seorang gadis berpakaian glamour mendekati Lolita. Dia tersenyum culas saat melihat Lolita mengambil makanan dari meja saji. "Dasar tak tahu malu," tukasnya menampik tangan Lolita sampai kue yang Lolita pegang jatuh di lantai.

Lolita mendengus samar, berusaha untuk tetap sabar. Dia berbalik menatap teman satu kelasnya. Gadis itu adalah primadona di sekolahnya, dan yang Lolita tahu gadis itu pernah menyukai mantan kekasihnya.

"Karena kau keluarga Sebastian jadi bangkrut. Dasar pembawa sial!"

"Apa? Keluarga Sebastian bangkrut?" gumam Lolita bertanya tak percaya. Yang dia ingat keluarga mantan kekasihnya itu sangat kaya, bahkan kekayaannya tidak akan pernah habis sampai tujuh turunan. Jadi, bagaimana bisa bangkrut secepat itu? Dan kenapa menyalahkan dirinya? Lolita tidak ada hubungannya sama sekali dengan itu semua.

"Iya bangkrut! Gara-gara kau, Sialan! Kau kan pembawa kesialan dimanapun kau berada!" jawab gadis di depan Lolita dengan lantang, lantas mendorong Lolita sampai terperosok ke meja, mengenai sup yang masih mengepulkan asap.

"Aww…." Lolita meringis menahan sakit di lengannya yang melepuh karena terkena sup panas. 

"Selain kau tidak punya malu, ternyata kau juga pelacur seperti ibumu. Kau pergi ke sini dengan sugar daddymu kan? Menjijikkan!" Seorang gadis lain ikut bergabung untuk merendahkan Lolita, menyudutkannya.

"Jangan menghina ibuku! Dan aku tidak seperti yang kau katakan. Pria itu bukan sugar daddyku!" balas Lolita berteriak. Sudah habis kesabarannya sekarang.

Namun, sebelum Lolita melanjutkan ucapannya, seseorang menyela.

"Ya, aku memang sugar daddynya. Kenapa? Ada yang salah?"

-Bersambung-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status