Share

Bab 5 : peraturan

Jessy diam membeku mendengar perkataan Terry yang membuatnya tak mengerti. Mainan? Apa maksud pria itu?

Gadis itu memiringkan kepalanya menatap Terry dengan tatapan polos sekaligus penasaran. Ia ingin bertanya kembali namun terlalu takut untuk mengeluarkan suaranya. Berkaca dari pengalaman, sang gadis tak mau mengalami lagi kesalahan untuk ketiga kalinya.

"Aku Terry Walter, orang yang berkuasa disini. Tugasmu adalah menuruti semua perkataanku dan jangan membantah perintahku jika tak ingin dihukum,"

Terry kembali mencengkeram dagu Jessy yang memar hingga sang gadis kembali merintih kesakitan. Pria itu tersenyum miring melihat Jessy menggigit bibirnya untuk meredam lenguhan sakit yang ia rasakan saat ini.

"T-tuan," panggil Jessy pelan berusaha untuk menetralkan suaranya agar tak terdengar seperti orang kesakitan. "Tolong lepaskan tangan anda. Aku mohon,"

Jessy berkata dengan nada penuh harap. Wajahnya terlihat memelas dengan mata yang tertutup. Tubuh sang gadis juga tampak gemetar jika dilihat dengan seksama.

"Kenapa aku harus melepaskannya? Apa ini terasa sakit?"

Jessy tak menjawab pertanyaan itu karena ia tahu jika Terry tengah memancing dirinya untuk bicara. Buktinya, saat tadi Jessy memohon untuk dilepaskan, pria itu malah menguatkan cengkraman pada dagunya. Tanpa sadar, air mata mengalir begitu deras dari mata hijaunya yang indah.

Terry tersenyum melihat gadis di depannya menangis. Ia mengelap air mata itu dengan perlahan. Gerakannya begitu lembut seolah jika Terry menyayangi gadis itu. Terry melepas tangannya di dagu Jessy dan menangkup wajah sang gadis dengan kedua telapak tangannya yang besar.

"Berhentilah menangis sebelum aku benar benar melemparmu ke kandang singa, boneka kecil," 

Air mata Jessy keluar makin deras mendengar ancaman itu. Hidung sang gadis memerah dengan napas tersengal karena menangis tanpa suara di hadapan sang ketua Mafia. Tenggorokan Jessy terasa kering dan sakit. 

Dengan sekuat tenaga, Jessy berhasil menghentikan tangisannya. Jessy mengusap air matanya dengan kasar. Ia menatap Terry yang masih diam memperhatikan dirinya.

Sejujurnya, Jessy merasa malu menangis dihadapan pria ini. Tapi rasa sakit yang ia rasakan tak bisa ditoleransi oleh tubuhnya. Jessy membenci pria itu. Walaupun tampan, Terry tak lebih dari seorang pria gila. Mungkin Jessy harus menyebut jika Terry adalah psikopat karena kelakuannya itu.

"Kau sudah puas menangis? Jika iya segera ikuti aku. Jangan membuatku mengatakan kalimat yang sama untuk ketiga kalinya, boneka kecil," 

Terry menggelengkan kepalanya dan segera masuk menuju ke dalam bangunan paling megah yang berada di kawasan itu, diikuti oleh Jessy yang berjalan dibelakangnya. 

Tak ada satupun diantara Terry dan Jessy yang memulai percakapan untuk memecah keheningan yang terjebak diantara keduanya. Terry masih setia diam seraya berjalan dengan memasukkan kedua tangannya di saku celana hitam yang ia gunakan. Berbeda dengan Jessy yang berjalan pelan dengan menundukkan kepala.

Pria itu memasukkan kata sandi ketika berada di depan pintu. Setelah selesai, ia pun berjalan masuk menuju salah satu sofa yang berada di sudut ruangan, diikuti oleh Jessy di belakangnya.

Ruangan itu begitu indah dengan kesan minimalis. Tak terlalu banyak perabotan yang berada di ruangan yang dimasuki oleh Jessy. Ada satu set kursi berwarna hitam dengan meja bulat di tengah ruangan dengan karpet kecil berwarna coklat muda yang melapisi lantai disekitar kursi itu. Selain itu, terdapat dua buah lemari pajangan yang berisi barang barang antik disamping jendela.

Di dinding ruangan yang berwarna biru muda, terdapat satu buah jam dinding bulat yang cukup besar dengan beberapa foto Terry yang sedang berpose dengan latar suasana pantai. Sedikitnya, Jessy terkesima, karena ia bisa melihat secara langsung beberapa benda mahal yang sering ia lihat di etalase toko ketika tengah menjual bunga.

"Duduklah dilantai, aku akan memberi tahu aturan selama kau tinggal di mansionku ketika kita sudah meninggalkan tempat ini," perintah Terry sambil duduk di salah satu sofa berwarna hitam yang tampak begitu mahal dan berkelas. Jessy yang sedang melihat barang di ruangan itu mengalihkan perhatiannya pada Terry. Tak memiliki pilihan lain, Jessy pun akhirnya menurut. Ia  duduk dilantai di depan Terry. 

Mata hijau gadis itu tak berani menatap pria di depannya. Ia menundukkan kepala seraya merapatkan kakinya dan menyimpan tangannya di paha, persis seperti seorang anak yang tengah dihukum oleh ibunya.

Terry berdehem pelan untuk mendapatkan perhatian Jessy. Pria itu menyilangkan kakinya dengan tangan yang diletakkan diatas lutut, lalu menatap Jessy dengan tatapan tajam.

"Sebelum aku memberitahu aturan yang harus kau patuhi, ada baiknya aku tahu dulu nama gadis yang berani membentak diriku," ujar Terry dengan nada angkuh diakhir kalimat. Jessy mendongak menatap Terry dengan tatapan malu, sebelum akhirnya memalingkan wajah kearah lain.

"Jadi, siapa namamu, boneka kecil? Dan berapa usiamu? Kau terlihat sangat muda dibanding para gadis yang tadi dibawa oleh anak buahku,"

Jessy menghela napas seraya berusaha menetralkan detak jantungnya yang begitu cepat seperti habis berlari. Rasa gugup dan takut menyelimuti gadis itu. Akan tetapi, Jessy berusaha menepisnya agar tak dipermalukan lebih jauh.

"Jessy Campbell, 22 tahun," jawab Jessy singkat.

Terry terdiam mendengar jawaban gadis yang berada di depannya ini. 22 tahun? Ia hampir saja tertawa mengingat wajah Jessy yang tampak jauh lebih muda dari usianya. Terry menyeringai mendengar jawaban itu. Ia akan berbicara dengan Jessy nanti .

"Baiklah, nona Campbell, aku—"

"Panggil saja Jessy, tuan," sela Jessy cepat.

Terry menatap tajam gadis di depannya. Ia tak suka dengan perempuan yang suka menyela perkataan orang lain. Jessy yang sadar jika kebiasaan buruknya kembali kambuh langsung menepuk mulutnya dengan pelan seraya memejamkan mata.

"Nona, tolong jangan jaga sifat anda di depan saya. Saya tak suka dengan gadis yang tak beretika," sindiran Terry berhasil menohok hati Jessy, membuat pipi sang gadis memerah karena malu ditegur seperti itu.

"Maaf,"

Terry mengabaikan permintaan maaf itu dan lebih memilih mengutarakan maksudnya. "Dalam situasi mu sekarang, kau tak akan aku jual ke pelelangan ataupun aku lempar untuk menjadi jalang di klub. Kau akan aku angkat menjadi wanitaku di mansion yang akan kita tempati nanti. Kau harus berterima kasih karena aku masih berbaik hati padamu sekalipun kau gadis yang kurang ajar, boneka kecil,"

Jessy sedikit terkejut dengan keputusan Terry. Ia tak menyangka jika dirinya tak akan dijadikan jalang ataupun dilelang. Hanya saja, ia mengerti maksud kalimat pertama pria itu. Gadis itu memiringkan kepala dengan mata mengerjap lucu.

"Maksudnya apa, tuan?"

"Maksudnya, kau hanya melayaniku saja, tidak melayani pria lainnya," ujar Terry seraya tersenyum miring.

Baik, Jessy semakin tak mengerti arah pembicaraan ini. Otaknya tak mampu memproses apa yang Terry sampaikan padanya. Maka dari itu, ia bertanya hal lain dengan harapan bisa memberi petunjuk tentang apa yang diinginkan oleh pria itu.

"Lalu, aturan apa yang tadi anda maksud?"

" Pertanyaanmu bagus sekali, boneka  kecil," Terry tersenyum kecil saat Terry menanyakan hal itu. Ia lebih suka memanggil Jessy dengan sebutan yang ia buat daripada memanggil gadis itu dengan nama aslinya.

"Itu adalah peraturan yang harus kau patuhi selama berada di sampingku. Aturan nomor satu, dilarang membantah ataupun mempertanyakan setiap keputusan yang aku buat. Nomor dua, dilarang keluar dari mansion ini tanpa pengawal ataupun orang yang mendampingi mu dan nomor terakhir, dilarang berkomunikasi berlebihan dengan pria lain selain diriku,"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status