Share

Satu Hari Tiga Lelaki

Cukup lama kami hanyut dalam lamunan. Mencoba menyelami pikiran masing-masing dari tatapan yang saling mengunci.

Kaget. Sudah pasti. Lelaki yang mulanya hanya kumanfaatkan sebagai ATM berjalan sekaligus batu loncatan balas dendam ternyata adalah saksi kunci kejadian sembilan belas tahun silam.

Om Lian lebih dulu mengalihkan pandangan. Kata-kata terakhir yang dilontarkan sepertinya bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban, melainkan sebuah pernyataan atau bahkan tuntutan?

Matanya bahkan berkilat tajam saat mengatakan tentang kebenciannya pada sosok Adrian Mahesa.

Oke, sebenarnya sekarang aku bingung harus merasa senang atau tertekan? Karena selain mempunyai sekutu orang dalam aku juga bisa mendapatkan banyak fakta tentang masa lalu mereka dari sumber terpercaya.

Kalau dipikir-pikir penawaran Om Lian boleh juga.

"Sekarang jujur, selama ini kamu melihat Mas Adrian seperti apa? Jangan salah paham, saya hanya ingin memastikan hubungan kalian benar-benar tak melibatkan per--"

"Bagiku dia tak lebih dari lelaki brengsek yang memanfaatkan wanita hanya demi kepuasan dan kekuasaan!" potongku cepat tanpa pikir panjang.

Om Lian mengerjapkan mata seolah tak percaya dengan apa yang baru saja kuucapkan.

"Astaga, apa kamu memang selalu seterusterang ini, Lea?" Dia memijit pelipisnya.

"Ya, seperti yang Om tahu inilah aku. Setitik pun aku tak akan menyisakan celah perasaan saat memutuskan untuk membalas dendam. Siapa pun dia, dan bagaimana hubungan darah yang terikat di antara kami, tetap akan kuhancurkan."

Jujur, semua itu tak sepenuhnya benar. Karena pada kenyataannya aku tetap tak bisa mengendalikan perasaan saat berhadapan dengan Om Lian. Padahal dia juga salah satu orang yang kumanfaatkan demi balas dendam, bukan?

Om Lian menggeleng pelan, seulas senyum getir tersungging di bibir tipisnya yang kemerahan. Biar, kutebak. Mungkin saja sekarang dia sedang terheran-heran karena berhadapan dengan seorang wanita muda dengan ambisi yang begitu besar.

"Jadi, sedikit pun kamu tak pernah menganggapnya sebagai ayahmu?" Kuhela napas panjang saat Om Lian kembali mengajukan pertanyaan yang begitu menyebalkan.

"Seorang lelaki bisa disebut 'ayah' kalau dia merawat sang istri dan si jabang bayi dari mulai mengandung sampai melahirkan. Kemudian mendampingi buah hatinya hingga tumbuh dewasa." Aku terdiam sesaat, sebelum melanjutkan. "Egois sekali kalau lelaki bajingan yang hanya tahu menanamkan benih, lalu pergi, ingin disebut ayah juga." Naik turun dadaku berusaha meredam luapan emosi yang merebak.

Sejak lahir aku tak pernah mengenal sosok seorang ayah yang para anak-anak lain katakan sebagai pahlawan, atau cinta pertamanya sebelum menghadapi kerasnya dunia. Bagiku semua itu hanya omong kosong belaka.

"Seharusnya Om Lian nggak perlu menanyakan sesuatu yang sudah Om tahu pasti jawabannya. Itu buang-buang waktu," cibirku sarkastis.

"Saya hanya memastikan kalau tidak ada keraguan di hatimu. Perasaan sekecil apa pun bila dibiarkan kelak akan menjadi bumerang. Saya lega kalau kamu menganggapnya demikian. Karena sosok Adrian memanglah seburuk itu. Hanya dengan bermodal kata-kata cinta memuakkan dan harta rampasan sekarang dia menjadi kepercayaan keluarga Fahlevi dibandingkan aku yang keturunan resmi. Bila harus dijabarkan tak terhitung berapa banyak dosa yang sudah dia lakukan khususnya pada kaum wanita!"

Kini aku yang terdiam mendengar semua penuturan Om Lian tentang kakak iparnya. Sekarang aku tahu alasan kenapa lelaki ini memilih menjadi pengacara dibanding pebisnis seperti ayahnya.

Keluarga Fahlevi adalah salah satu konglomerat di Indonesia. Mereka memiliki Production House dan stasiun TV sendiri yang sudah melahirkan banyak artis dan model yang sering wara-wiri di TV bahkan layar lebar. Sahamnya juga tersebar di mana-mana. Bahkan mereka memiliki saham cukup besar di PT. AJ milik keluarga Adijaya yang baru-baru ini skandal-skandal kelamnya terkuak di ruang publik. Dengar-dengar salah satu model unggulan naungan PH Fahlevi Family yang merupakan bagian keluarga Adijaya juga terseret kasus tersebut. Ternyata kehidupan orang kaya itu tak seenak kelihatannya. Tapi, kenapa Om Adrian malah ingin terlibat dengan orang-orang kaya bahkan dengan cara-cara licik seperti ini? Entahlah. Terkadang ketika manusia sudah dibutakan dunia, dia bisa menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Ya, termasuk aku.

"Sudahlah, kita akhiri saja percakapan ini. Saya masih harus bertemu dengan klien satu jam lagi."

Om Lian sudah bersiap beranjak, tapi kembali ke posisinya lagi setelah mendengar pertanyaanku.

"Kenapa Om begitu berambisi menikahiku?"

Dia menghela napas, lalu menjentikkan jari di dahiku.

"Aw."

"Saya tak bisa membiarkanmu melakukan hal-hal bodoh sendiri, Lea. Tak ada maksud apa pun."

Entah kenapa saat Om Lian mengatakannya ada semacam perasaan aneh yang sulit dimengerti.

"Oh, oke." Kukedikan bahu tak acuh, padahal hati sedikit nyeri.

"Sebentar!"

Kuikuti arah pandang Om Lian. Dia menatap vape yang tergeletak di bawah rak TV. Benda bernikotin yang biasa kuhisap saat dilanda stres berkepanjangan.

"Sejak kapan kamu mengkonsumsi ini?!" sentaknya, lalu meraih benda itu. "Kamu sedang hamil, Lea. Jangan egois."

Aku memutar bola mata.

"Cih, janin ini bahkan bukan benihmu, Om. Kenapa begitu peduli."

"Siapa pun ayah dari benih yang tumbuh di rahimmu. Kelak aku juga yang akan menjadi walinya." Aku terdiam sesaat. "Kita ke dokter sekarang!" Tiba-tiba dia bangkit, lalu menarik pergelangan tanganku.

"Mau ngapain?" Aku menepis tangannya.

"Ya, periksa kandunganmulah!" Om Lian kembali menarik tanganku.

"Nggak mau! Dua hari lalu aku baru periksa, dan janinnya sehat-sehat aja," protesku.

"Jangan keras kepala, Lea. Aku tak akan tenang sebelum memastikannya sendiri." Tak lama setelah mengatakannya Om Lian lantas mengangkat tubuhku, dan membawanya menuju mobil.

"Turunin! Katanya sejam lagi mau ketemu klien."

"Itu masih bisa ditunda. Kesehatan janinmu lebih utama!"

Aku tertegun. Baru pertama kali rasanya diperlakukan istimewa. Ini tak buruk, tapi ada semacam perasaan tak pantas.

***

"Tak ada masalah berarti. Kondisi ibu dan janin sehat."

"Tuh, kan. Apa kubilang." Kulemparkan tatapan tajam pada Om Lian setelah mendengar keterangan dokter.

Masih dengan ekspresi yang sama datarnya, dia hanya mangut-mangut.

"Omong-omong Mas sama Mbaknya pasangan muda, ya? Pengantin baru?" terka dokter wanita yang bisa kutaksir berusia setengah abad itu.

"Pasangan muda?" Aku tersenyum mencibir. "Cuma saya yang muda, Dok. Dia udah Om-Om!"

Om Lian menatap tajam seolah tak setuju dengan asumsiku.

"Lah, itu kenyataannya, kan? Umur kita selisih tujuh belas tahun!" tambahku.

"Umur bukan ukuran kenyamanan, Mbak. Selama saling cocok kenapa enggak? Saya sama suami juga beda lima belas tahun dan kita langgeng sampai punya anak-cucu," timpal Dokter bernama Ningsih itu.

Kuputar bola mata mendengar curhatannya.

Sementara Om Lian yang merasa dapat pembelaan, tersenyum penuh kemenangan.

"Kalau begitu kami permisi!" Sengaja kutekankan kalimat, lalu keluar lebih dulu meninggalkan keduanya.

Mentang-mentang habis cukuran dan pakai baju santai, lantas kita terlihat seumuran?

Dokter Ningsih tak tahu saja bagaimana setelan Om Lian kalau sudah mode busy. Aura Sugar Daddy-nya keluar aur-auran.

Astaga. Apa yang baru saja kupikirkan?

Sepertinya ini pengaruh hormon kehamilan.

"Kenapa pergi tiba-tiba, Lea? Kita, kan belum selesai," protes Om Lian setelah menyusulku ke parkiran.

"Emang mau apa lagi, sih, Om? Konsultasi masalah baiknya berhubungan saat tengah hamil muda?" cibirku yang berhasil membuat telinga Om Lian memerah.

"Ya Tuhan, Lea ... kapan kamu bisa menjaga kata-kata? Itu tak sopan." Kuputar bola mata mendengar ceramahnya.

"Ya, ya ... maaf. Kalau begitu kita pisah di sini saja. Aku yakin Om pasti masih banyak urusan. Biasalah. Pengacara Kondang. Tadi aja nggak terhitung berapa banyak Bu-Buibu hamil yang berebut minta foto. Terkenalnya udah ngalahin artis yang sering wara-wiri di TV."

"Lea!" Sorot mata Om Lian berubah serius. "Setelah satu tahun tak bertemu, saya datang bukan untuk mendengar cibiranmu."

Aku menghela napas.

"Ya, maaf. Aku pulang, bye!"

"Tunggu!" Om Lian menarik pergelangan tanganku.

"Apa lagi, sih?" Aku mengacak rambut frustrasi.

"Jaga kesehatan. Dua hari lagi saya dan Mbak Lidia akan datang menemui tantemu untuk melamar. Pastikan hari itu kamu ada di

sana!"

"Ya, ya ... eh, tunggu! Kenapa harus sama Nenek Lampir itu, sih, Om?" protesku.

"Papa sibuk. Dan ingat Lea! Seburuk apa pun dia di matamu, Mbak Lidia tetap kakak kandung saya."

Ya, itulah fakta mengerikannya. Nenek Lampir itu terikat darah denganmu.

***

Tiba di kosan aku melihat sebuah moge sudah terparkir di depan gerbang. Dilihat dari plat nomber dan stiker yang tertera di bemper depan, tanpa bertanya aku sudah tahu siapa pemiliknya.

Sial, dari mana dia tahu alamat kosanku?

Bagaimana bisa hanya dalam satu hari aku terlibat dengan tiga orang lelaki sekaligus?

Dengan lesu, kuseret langkah masuk ke dalam. Menuju kamar kosan yang terletak di lantai dasar. Terdiri dari dua kamar. Sebenarnya sebelumnya tiga, cuma yang satu dihubungkan dengan kamarku hingga jadilah kamar kosan terluas yang dihuni sekarang.

Pemuda dengan setelan kekinian dan potongan rambut Curtains bak Boyband Korea itu bangkit dari kursi dan langsung menghadang jalanku.

"Sumpah tega kamu, Lea! Dua hari ini aku kesetanan cari-cari kamu setelah nomber di-block tanpa kepastian. Setidaknya kasih alasan yang masuk akal, kek. Jangan main ngilang-ngilang aja kayak orang punya utang!"

"Vin, aku ...."

"Mau taro di mana muka aku kalau orang-orang tahu pacarku ternyata Sugar Baby Papa dan Om-ku yang akhirnya jadi bibiku. Ya Gusti ...," potong Kevin sembari mengacak rambut frustrasi.

Aku hanya bisa tersenyum getir menanggapinya.

Itu belum seberapa, Vin. Mungkin kamu akan lebih terkejut saat tahu pacarmu ternyata saudara tirimu.

.

.

.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status