Cukup lama kami hanyut dalam lamunan. Mencoba menyelami pikiran masing-masing dari tatapan yang saling mengunci.
Kaget. Sudah pasti. Lelaki yang mulanya hanya kumanfaatkan sebagai ATM berjalan sekaligus batu loncatan balas dendam ternyata adalah saksi kunci kejadian sembilan belas tahun silam.Om Lian lebih dulu mengalihkan pandangan. Kata-kata terakhir yang dilontarkan sepertinya bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban, melainkan sebuah pernyataan atau bahkan tuntutan?Matanya bahkan berkilat tajam saat mengatakan tentang kebenciannya pada sosok Adrian Mahesa.Oke, sebenarnya sekarang aku bingung harus merasa senang atau tertekan? Karena selain mempunyai sekutu orang dalam aku juga bisa mendapatkan banyak fakta tentang masa lalu mereka dari sumber terpercaya.Kalau dipikir-pikir penawaran Om Lian boleh juga."Sekarang jujur, selama ini kamu melihat Mas Adrian seperti apa? Jangan salah paham, saya hanya ingin memastikan hubungan kalian benar-benar tak melibatkan per--""Bagiku dia tak lebih dari lelaki brengsek yang memanfaatkan wanita hanya demi kepuasan dan kekuasaan!" potongku cepat tanpa pikir panjang.Om Lian mengerjapkan mata seolah tak percaya dengan apa yang baru saja kuucapkan."Astaga, apa kamu memang selalu seterusterang ini, Lea?" Dia memijit pelipisnya."Ya, seperti yang Om tahu inilah aku. Setitik pun aku tak akan menyisakan celah perasaan saat memutuskan untuk membalas dendam. Siapa pun dia, dan bagaimana hubungan darah yang terikat di antara kami, tetap akan kuhancurkan."Jujur, semua itu tak sepenuhnya benar. Karena pada kenyataannya aku tetap tak bisa mengendalikan perasaan saat berhadapan dengan Om Lian. Padahal dia juga salah satu orang yang kumanfaatkan demi balas dendam, bukan?Om Lian menggeleng pelan, seulas senyum getir tersungging di bibir tipisnya yang kemerahan. Biar, kutebak. Mungkin saja sekarang dia sedang terheran-heran karena berhadapan dengan seorang wanita muda dengan ambisi yang begitu besar."Jadi, sedikit pun kamu tak pernah menganggapnya sebagai ayahmu?" Kuhela napas panjang saat Om Lian kembali mengajukan pertanyaan yang begitu menyebalkan."Seorang lelaki bisa disebut 'ayah' kalau dia merawat sang istri dan si jabang bayi dari mulai mengandung sampai melahirkan. Kemudian mendampingi buah hatinya hingga tumbuh dewasa." Aku terdiam sesaat, sebelum melanjutkan. "Egois sekali kalau lelaki bajingan yang hanya tahu menanamkan benih, lalu pergi, ingin disebut ayah juga." Naik turun dadaku berusaha meredam luapan emosi yang merebak.Sejak lahir aku tak pernah mengenal sosok seorang ayah yang para anak-anak lain katakan sebagai pahlawan, atau cinta pertamanya sebelum menghadapi kerasnya dunia. Bagiku semua itu hanya omong kosong belaka."Seharusnya Om Lian nggak perlu menanyakan sesuatu yang sudah Om tahu pasti jawabannya. Itu buang-buang waktu," cibirku sarkastis."Saya hanya memastikan kalau tidak ada keraguan di hatimu. Perasaan sekecil apa pun bila dibiarkan kelak akan menjadi bumerang. Saya lega kalau kamu menganggapnya demikian. Karena sosok Adrian memanglah seburuk itu. Hanya dengan bermodal kata-kata cinta memuakkan dan harta rampasan sekarang dia menjadi kepercayaan keluarga Fahlevi dibandingkan aku yang keturunan resmi. Bila harus dijabarkan tak terhitung berapa banyak dosa yang sudah dia lakukan khususnya pada kaum wanita!"Kini aku yang terdiam mendengar semua penuturan Om Lian tentang kakak iparnya. Sekarang aku tahu alasan kenapa lelaki ini memilih menjadi pengacara dibanding pebisnis seperti ayahnya.Keluarga Fahlevi adalah salah satu konglomerat di Indonesia. Mereka memiliki Production House dan stasiun TV sendiri yang sudah melahirkan banyak artis dan model yang sering wara-wiri di TV bahkan layar lebar. Sahamnya juga tersebar di mana-mana. Bahkan mereka memiliki saham cukup besar di PT. AJ milik keluarga Adijaya yang baru-baru ini skandal-skandal kelamnya terkuak di ruang publik. Dengar-dengar salah satu model unggulan naungan PH Fahlevi Family yang merupakan bagian keluarga Adijaya juga terseret kasus tersebut. Ternyata kehidupan orang kaya itu tak seenak kelihatannya. Tapi, kenapa Om Adrian malah ingin terlibat dengan orang-orang kaya bahkan dengan cara-cara licik seperti ini? Entahlah. Terkadang ketika manusia sudah dibutakan dunia, dia bisa menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Ya, termasuk aku."Sudahlah, kita akhiri saja percakapan ini. Saya masih harus bertemu dengan klien satu jam lagi."Om Lian sudah bersiap beranjak, tapi kembali ke posisinya lagi setelah mendengar pertanyaanku."Kenapa Om begitu berambisi menikahiku?"Dia menghela napas, lalu menjentikkan jari di dahiku."Aw.""Saya tak bisa membiarkanmu melakukan hal-hal bodoh sendiri, Lea. Tak ada maksud apa pun."Entah kenapa saat Om Lian mengatakannya ada semacam perasaan aneh yang sulit dimengerti."Oh, oke." Kukedikan bahu tak acuh, padahal hati sedikit nyeri."Sebentar!"Kuikuti arah pandang Om Lian. Dia menatap vape yang tergeletak di bawah rak TV. Benda bernikotin yang biasa kuhisap saat dilanda stres berkepanjangan."Sejak kapan kamu mengkonsumsi ini?!" sentaknya, lalu meraih benda itu. "Kamu sedang hamil, Lea. Jangan egois."Aku memutar bola mata."Cih, janin ini bahkan bukan benihmu, Om. Kenapa begitu peduli.""Siapa pun ayah dari benih yang tumbuh di rahimmu. Kelak aku juga yang akan menjadi walinya." Aku terdiam sesaat. "Kita ke dokter sekarang!" Tiba-tiba dia bangkit, lalu menarik pergelangan tanganku."Mau ngapain?" Aku menepis tangannya."Ya, periksa kandunganmulah!" Om Lian kembali menarik tanganku."Nggak mau! Dua hari lalu aku baru periksa, dan janinnya sehat-sehat aja," protesku."Jangan keras kepala, Lea. Aku tak akan tenang sebelum memastikannya sendiri." Tak lama setelah mengatakannya Om Lian lantas mengangkat tubuhku, dan membawanya menuju mobil."Turunin! Katanya sejam lagi mau ketemu klien.""Itu masih bisa ditunda. Kesehatan janinmu lebih utama!"Aku tertegun. Baru pertama kali rasanya diperlakukan istimewa. Ini tak buruk, tapi ada semacam perasaan tak pantas.***"Tak ada masalah berarti. Kondisi ibu dan janin sehat.""Tuh, kan. Apa kubilang." Kulemparkan tatapan tajam pada Om Lian setelah mendengar keterangan dokter.Masih dengan ekspresi yang sama datarnya, dia hanya mangut-mangut."Omong-omong Mas sama Mbaknya pasangan muda, ya? Pengantin baru?" terka dokter wanita yang bisa kutaksir berusia setengah abad itu."Pasangan muda?" Aku tersenyum mencibir. "Cuma saya yang muda, Dok. Dia udah Om-Om!"Om Lian menatap tajam seolah tak setuju dengan asumsiku."Lah, itu kenyataannya, kan? Umur kita selisih tujuh belas tahun!" tambahku."Umur bukan ukuran kenyamanan, Mbak. Selama saling cocok kenapa enggak? Saya sama suami juga beda lima belas tahun dan kita langgeng sampai punya anak-cucu," timpal Dokter bernama Ningsih itu.Kuputar bola mata mendengar curhatannya.Sementara Om Lian yang merasa dapat pembelaan, tersenyum penuh kemenangan."Kalau begitu kami permisi!" Sengaja kutekankan kalimat, lalu keluar lebih dulu meninggalkan keduanya.Mentang-mentang habis cukuran dan pakai baju santai, lantas kita terlihat seumuran?Dokter Ningsih tak tahu saja bagaimana setelan Om Lian kalau sudah mode busy. Aura Sugar Daddy-nya keluar aur-auran.Astaga. Apa yang baru saja kupikirkan?Sepertinya ini pengaruh hormon kehamilan."Kenapa pergi tiba-tiba, Lea? Kita, kan belum selesai," protes Om Lian setelah menyusulku ke parkiran."Emang mau apa lagi, sih, Om? Konsultasi masalah baiknya berhubungan saat tengah hamil muda?" cibirku yang berhasil membuat telinga Om Lian memerah."Ya Tuhan, Lea ... kapan kamu bisa menjaga kata-kata? Itu tak sopan." Kuputar bola mata mendengar ceramahnya."Ya, ya ... maaf. Kalau begitu kita pisah di sini saja. Aku yakin Om pasti masih banyak urusan. Biasalah. Pengacara Kondang. Tadi aja nggak terhitung berapa banyak Bu-Buibu hamil yang berebut minta foto. Terkenalnya udah ngalahin artis yang sering wara-wiri di TV.""Lea!" Sorot mata Om Lian berubah serius. "Setelah satu tahun tak bertemu, saya datang bukan untuk mendengar cibiranmu."Aku menghela napas."Ya, maaf. Aku pulang, bye!""Tunggu!" Om Lian menarik pergelangan tanganku."Apa lagi, sih?" Aku mengacak rambut frustrasi."Jaga kesehatan. Dua hari lagi saya dan Mbak Lidia akan datang menemui tantemu untuk melamar. Pastikan hari itu kamu ada disana!""Ya, ya ... eh, tunggu! Kenapa harus sama Nenek Lampir itu, sih, Om?" protesku."Papa sibuk. Dan ingat Lea! Seburuk apa pun dia di matamu, Mbak Lidia tetap kakak kandung saya."Ya, itulah fakta mengerikannya. Nenek Lampir itu terikat darah denganmu.***Tiba di kosan aku melihat sebuah moge sudah terparkir di depan gerbang. Dilihat dari plat nomber dan stiker yang tertera di bemper depan, tanpa bertanya aku sudah tahu siapa pemiliknya.Sial, dari mana dia tahu alamat kosanku?Bagaimana bisa hanya dalam satu hari aku terlibat dengan tiga orang lelaki sekaligus?Dengan lesu, kuseret langkah masuk ke dalam. Menuju kamar kosan yang terletak di lantai dasar. Terdiri dari dua kamar. Sebenarnya sebelumnya tiga, cuma yang satu dihubungkan dengan kamarku hingga jadilah kamar kosan terluas yang dihuni sekarang.Pemuda dengan setelan kekinian dan potongan rambut Curtains bak Boyband Korea itu bangkit dari kursi dan langsung menghadang jalanku."Sumpah tega kamu, Lea! Dua hari ini aku kesetanan cari-cari kamu setelah nomber di-block tanpa kepastian. Setidaknya kasih alasan yang masuk akal, kek. Jangan main ngilang-ngilang aja kayak orang punya utang!""Vin, aku ....""Mau taro di mana muka aku kalau orang-orang tahu pacarku ternyata Sugar Baby Papa dan Om-ku yang akhirnya jadi bibiku. Ya Gusti ...," potong Kevin sembari mengacak rambut frustrasi.Aku hanya bisa tersenyum getir menanggapinya.Itu belum seberapa, Vin. Mungkin kamu akan lebih terkejut saat tahu pacarmu ternyata saudara tirimu....Bersambung."Kukira hubungan kita spesial. Ternyata aku cuma selingan di antara para Sugar Daddy-mu yang berdompet tebal. Ternyata selama ini perjuanganku sia-sia. Wanita yang mati-matian kujaga justru memutuskan merusak dirinya. Kenapa? Kenapa di antara seluruh lelaki mapan di dunia harus mereka orangnya! Kenapa harus Papa dan Omku, Elea!"Merasa Kevin sudah puas meluapkan segala emosinya. Kutarik napas panjang, lalu mengangkat kepala setelah sekian lama. Menatap lurus lelaki jangkung yang satu setengah tahun ini menjadi teman dikala kesepian, informan saat dibutuhkan, sekaligus kekasih yang tak pernah mengekang. Jujur, sebenarnya aku merasa sangat bersalah karena memanfaatkan cinta tulusnya. Tetapi mau bagaimana lagi. Kevin yang lebih dulu membuka celah kepercayaan yang akhirnya bisa dengan mudah kumanfaatkan.Dia lengah karena berpikir aku wanita baik-baik yang berbeda dengan para wanita kebanyakan. Namun, kenyataannya justru aku bisa dibilang lebih buruk dari mereka."Vin!" Kuulurkan tangan
Dua bulan lalu ...."El, seminggu lalu Om liat orang yang sekilas mirip banget sama kamu. Postur tubuhnya sampai gaya rambut dan warna kulit!""Iyakah?" Aku hanya bisa mengusap tengkuk menanggapi ucapan Om Adrian. Saat ini kami tengah ada di salah satu kafe di daerah Yogya. Om Adrian sedang dalam perjalanan dinas keluar kota dan anehnya dia membawaku ikut serta untuk menemani 'kesepiannya'Sejenak kulirik wanita yang duduk di pojok kanan meja, dekat kaca. Berjarak sekitar tujuh sekat dari tempat kami. Wanita itu mengenakan dress yang sama denganku. Bedanya ditutupi jaket jins dan topi hitam."Iya, dia chek out dari hotel bareng sama kita waktu itu. Mungkin kalau lagi nggak sadar bisa aja Om liat dia itu kamu. Tapi tetap aja cantik kamu ke mana-mana."Aku tersenyum kikuk. Wanita yang Om Adrian maksud itu adalah Siska. Dia adalah temanku sejak SMA. Seseorang yang lebih dulu berkecimpung dalam dunia kelam sebagai 'mainan' para lelaki matang berdompet tebal. Siska juga yang pertama kali
"Mas Adrian bisa pulang sekarang! Tolong jangan usik lagi hidup Lea, sebelum saya laporkan semua kelakuan Mas di belakang Mbak Lidia." Suara Om Lian terdengar dalam dan mengintimidasi saat dia meminta kakak iparnya untuk pergi. Masih di posisi yang sama, aku memintal ujung kaus yang dikenakan. Antara bingung, kecewa, sedih, dan senang berkecamuk menjadi satu. Bingung dan kecewa karena semua berjalan tak sesuai rencana. Sedih, karena kesempatanku untuk menghancurkan Om Adrian semakin menipis, dan senang karena Om Lian datang tepat waktu.Bisa kulihat kedua tangan Om Adrian terkepal erat. Bugh!"Dasar jalang penipu. Cuih!"Dia sempat meninju pohon dan meludah ke arahku, sebelum berlalu. Beberapa saat kemudian mobil mewah berwarna hitam itu menghilang dari pandangan. Tubuhku roboh ke tanah sebelum sempat Om Lian meraihnya. Kutenggelamkan wajah dalam juntaian rambut panjang yang menyentuh tanah. Hancur sudah semuanya. Sia-sia kukorbankan hidup dan matiku untuk tujuan yang tak pasti
"Li-limousine."Aku tertegun saat Tante Sarah bergumam melihat mobil yang menjemput kami menuju kediaman keluarga Fahlevi-- sudah terparkir sekitar sepuluh meter dari gerbang kosan. Kosan yang kutinggali selama lebih dari dua tahun ini memang terletak di daerah pinggiran ibu kota, tapi tak jauh dari jalan raya. Biasanya waktu yang di tempuh menuju pusat kota bisa menghabiskan satu sampai satu setengah jam perjalanan tergantung kepadatan. Sebenarnya ini terlalu berlebihan, untuk ukuran jamuan lamaran. Namun, mengingat keluarga Fahlevi terkenal sebagai konglomerat yang hobi memamerkan kekayaan ... jadi, tak heran memang. Mereka seolah tengah menunjukkan secara halus perbedaan starata sosial yang jauh membentang di antara kami. Saat sopir membuka pintu dan mempersilakan kami masuk. Kemewahan yang disuguhkan mobil yang biasa digunakan sebagai kendaraan resmi kepresidenan atau pengusaha besar ini terlihat begitu kentara. Fasilitas yang diberikan di dalamnya pun bisa membuat siapa pun o
Sudah bisa ditebak seberapa megahnya bangunan ini dari dalam. Barang-barang antik, lampu megah besar di ruang tengah, serta rak-rak yang menjulang.Kami sampai di ruangan paling besar dengan sofa hitam mengkilap berbentuk melingkar. Tiga orang tampak sudah mengisi tempat yang ada. Mereka bangkit setelah kami tiba.Tatapan sinis jelas kulihat dari Tante Lidia dan Om Adrian. Sementara tatapan tak terbaca kulihat dari Om Wira. Lelaki yang masih terlihat begitu gagah dan berwibawa di usia yang menginjak tujuh puluh tahun itu berjalan mendekat, lalu mengulurkan tangan. "Namamu Elea Kenanga, kan? Salam kenal, saya Prawira Fahlevi." Sejenak tatapannya turun menuju perutku yang terlihat masih datar. Refleks aku memegangnya, lalu tersenyum kikuk. "Salam kenal, Om. Terima kasih dengan sambutan hangatnya." Demi Tuhan aku tak bisa menebak apa yang ada di pikirannya sekarang. Tak ada ekspresi terkejut yang kuharapkan sejak awal. Seolah Om Wira sudah tahu semua ini akan terjadi. "Bisa-bisanya s
Seminggu lalu ...."Positif!" Setengah terpekik Siska membekap mulut menatapku dengan raut yang begitu terkejut. Gemetar tangannya menggenggam benda mungil dengan garis merah yang kentara. "Ini-- anak Om Wira, kan?" tanyanya kemudian. Aku mengangguk pelan. Tak lama setelah keluar dari kamar mandi Siska langsung memburuku untuk mengetahui penyebab dari mual, pusing, dan lemas yang kualami akhir-akhir ini. Ternyata hal yang sudah direncanakan sejak awal benar-benar terjadi. Namun, anehnya ada semacam keraguan yang membuatku tak yakin dengan apa yang sudah dilakukan. "Kamu, kan tahu sendiri aku cuma hubungan sama satu orang, Sis."Siska mengembuskan napas panjang. Hubunganku dengan dia memang sudah lebih dari saudara. Tak ada rahasia dia antara kami. Hanya dia satu-satunya orang yang paling kupercaya saat ini. Hidup kami bisa dibilang sama-sama keras. Dibanding aku yang hanya menanggung beban diri dan Mama. Dia harus menanggung beban lima orang sekaligus. Ibu, Nenek, dan ketiga adi
Kesadaranku kembali saat ingatan tentang percakapanku dan Siska yang terjadi seminggu lalu menghilang perlahan. Kukerjapkan mata guna menyesuaikan cahaya yang ada. Sudah bisa ditebak di mana aku terbaring sekarang. Dengan elang infus, oksigen, baju pasien, di dalam ruangan bernuansa putih. Entah sudah berapa jam, atau bahkan mungkin hari. Aku tak tahu pasti.Rumah sakit. Ternyata aku benar-benar berakhir di tempat ini. Kupikir rasa sakit luar biasa yang menyerang perut itu adalah mimpi buruk yang akan hilang setelah aku terbangun. Rupanya aku salah, yang hilang bukan hanya kesadaran, tapi juga sesuatu yang begitu berharga. Janinku! "Lea, kamu udah sadar!" Suara berat yang terdengar familiar, sontak membuatku menoleh ke samping. Tampak Om Lian dengan penampilan yang begitu kacau bangkit dari tempat duduknya. Sementara di sofa panjang warna hitam yang terletak di pojokan. Lelaki yang kuyakin sebagai Kevin meringkuk di sana. Kulirik jam yang terpajang di dinding. Rupanya sudah masuk
Ternyata benar apa kata orang. Manusia hanya bisa berencana, tetap Tuhan yang menentukan akhirnya. Tiga tahun kuhabiskan waktu untuk menyusun strategi demi mencapai sesuatu yang lebih besar dari uang dan kekuasaan. Siang dan malam memikirkan segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Namun, aku benar-benar tak menyangka rasanya akan semenyakitkan ini. Kehilangan janin yang tak berdosa. Dia bahkan tak diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang, apa lagi melihat dunia. Seseorang yang mulanya kupikir bisa diandalkan nyatanya takluk di hadapan kekuasaan Papanya. Dua hari lalu, kulihat sosok yang selama ini dikenal begitu gagah perkasa dan berwibawa itu tampak begitu tak berdaya. Dia berhasil mengikis kepercayaanku setelah menyisipkankan luka pertama. Aku kecewa. Om Lian, seseorang yang awalnya kupikir pahlawan nyatanya hanya pion Om Wira. Ternyata dia hanya pengecut yang bersembunyi dalam jubah Serigala. Aku lengah. Seperti yang dikatakan Siska sebelumnya. Tua Bangka bernama Pr