Roy ingin menggoda gadis perawan di sebelahnya yang mungkin sering menelanjangi diri, namun tak pernah melihat pria telanjang di depannya.
Tangan kiri Roy merentang ke sandaran sofa. Tangan kanannya merenggut rambut Inke dan membawa mulut wanita itu agar masuk dan menelan kejantanannya lebih dalam. Dia mendengar suara Inke yang tercekik dan terbatuk kecil. Tangan Inke bergantian memberi pijatan mengelilingi kejantanannya. Roy menggeram. Layanan ini pasti akan membuatnya lama mencapai puncak.
“Kamu, nggak mau bergabung?” tanya Roy, melirik Sahara dengan mata sendunya. Tak mungkin dia salah menafsirkan tatapan Sahara. Gadis penari itu baru saja menelan ludah dan menggigit bibir bawahnya.
“S-saya? Apa boleh menunggu di luar?” tanya Sahara. Nada suaranya sudah tak terlalu percaya diri seperti saat menolak lembaran cek.
“No ...,” bisik Roy. “Kamu harus melihat saya mencapai kepuasan. Karena itu kepuasan untuk saya.” Perkataan Roy seperti gumaman tak jelas.
Roy melirik cengkeraman tangan Sahara di lengannya. Memandang wajah cantik gadis penari itu berlama-lama, membuat perutnya mual. “Kenapa? Mulai penasaran?” tanya Roy. “Waktu bermain-main saya hari ini, sudah habis. Lain waktu, saya datang lagi.”—Roy mengusap pipi Sahara—“Kamu juga pasti sibuk mengurusi wanita di rumah sakit itu,” sambung Roy. “Om—” “Jangan panggil aku, Om!” teriak Roy, menarik napas dalam-dalam dan menggigit bibir bawahnya. Lalu, matanya beralih pada pintu toilet. Inke keluar dengan raut wajah sangat lelah. Wanita itu baru saja memuaskan dirinya sendiri di dalam sana, pikir Roy. Roy membuka pintu ruang karaoke dan bergegas keluar. Sahara menjajari langkahnya di lorong. “Maaf, saya panggil apa? Tuan Roy? Dari mana Anda tau soal Bu Mis? Kenapa bisa tau? Ada apa?” Sahara mencengkeram lengan Roy. “Kamu keliatannya sudah terbiasa berpe
Roy berdiri di padang rumput yang sangat luas. Dia bisa merasakan tiupan angin sejuk menerpa pipinya. Dari kejauhan, seorang wanita berlari sambil tertawa-tawa. Melambaikan sebuah selendang panjang berwarna putih ke arahnya. “Roy! Ayo, ikut aku. Kamu sudah janji akan selalu ada di dekatku. Ayo, Roy, aku sendirian di sini. Aku kangen kamu,” teriak wanita itu sambil berlari mengitari Roy. “Shel! Shelly! Ayo, pulang denganku. Aku sudah membelikan cincin yang cantik untuk kamu. Kamu bahkan belum melihatnya. Shelly ...! Tunggu!” Roy melihat Shelly terus berlari menjauhinya. Dia ingin mengejar wanita itu. Tapi kakinya terasa kaku, berat, tidak bisa melangkah. Setiap kali memimpikan wanita itu, Shelly, Roy tetap tidak bisa mengejarnya. Mimpi yang sama selalu diakhiri oleh hal yang sama. Roy membuka matanya dengan dahi berkeringat. Dia meraba-raba nakas mencari lampu untuk menerangkan kamarnya. Suhu
“Sejak kapan perempuan sekarang harus diberi bunga seperti ini?” Roy mengangkat sebuket besar bunga baby breath ke arah Novan. “Dan … aku minta cincin! Bukan cokelat berbentuk hati.” Roy melihat jijik ke arah paper bag yang baru diletakkan Novan di atas meja kecil bagian tengah mobil. “Pak, Anda minta saran terbaik. Sahara gadis 19 tahun yang keras kepala. Anda nggak bisa melemparkan cincin dan meminta gadis itu memakainya sendiri. Walau dia setengah Brasil, dia lahir dan tumbuh besar di Indonesia, Pak. Anda terlalu lama tinggal di luar negeri—" “Sudah! Diam. Kalau dia mencampakkan bunga dan cokelat ini. Semuanya akan kupungut dan kujejalkan ke mulutmu,” ancam Roy. Novan diam tak menjawab. Perkataan Roy bukan sekedar ancaman. Tapi, dia sudah cukup sebal dengan kekeraskepalaan atasannya yang kadang sangat sulit ditolerir. Hari pertama bertemu dengan Sahara, dia telah mengingatkan untuk berlaku lebi
Sahara masih berdiri di depan ruang berdinding kaca. Menatap ke dalam ruang ICU dengan wajah mengeras. Hampir saja, pikirnya. Hampir saja dia tak bisa memberikan pengobatan layak pada pengasuhnya sejak usia lima tahun. Bu Mis. Wanita yang berteman dengan ibu kandung dan mengetahui soal ayahnya. Pengasuhnya selalu mengatakan, bahwa dia tidak boleh kembali ke kampung ibunya. Sebuah desa kecil di Jawa Barat. Dengan alasan yang bahkan dia sendiri tidak boleh tahu. Sahara merasa tidak bisa membiarkan Bu Mis pergi begitu saja. Sebelum dia bisa mengetahui soal sosok ayah yang katanya seorang imigran asing dan pergi begitu saja meninggalkan sang istri. Siapa ayahnya? Apakah pria itu tahu kalau dia tertinggal sebatang kara sebagai seorang anak keturunan asing yang sering terkucil karena berbeda? Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab. Masih hidup? Atau sudah berteman tanah seperti ibunya? Apa dia punya saudara? Sejak kecil
Sahara berdiri menatap punggung Roy yang menjauh. Lalu menoleh ke arah pintu ruang ICU karena merasa seseorang sedang memandanginya. Ternyata perawat yang melihat saat Roy mengecup lehernya tadi. Sahara mengangguk kecil pada perawat. Kemudian berjalan menuju kursi besi yang biasa ditempatinya jika perlu bermalam di tempat itu. Setelah memastikan perawat tak lagi memandangnya dan Roy telah menghilang di belokan, Sahara perlahan mengangkat buket bunga. Matanya menelusuri tiap bunga baby breath yang dia tahu pasti mahal. Apalagi jika diberikan sebanyak itu. “Wangi,” bisik Sahara, saat mendekatkan hidungnya di atas bunga. “Ehem!” Dia berdeham. Merasa konyol karena mengkhianati perkataannya barusan pada Roy. “Enggak terlalu wangi. Biasa aja,” gumam Sahara, memperbaiki perkataannya. “Lalu ... ini apa?” Sahara bergumam sendirian, menarik sebuah kartu dari rumpun bunga. ‘Polos, put
“Sudah sangat gagah,” ujar Novan berdiri dengan tangan menyatu di depan tubuhnya. Dia sedang memandang Roy menggulung kemeja putihnya sampai ke batas siku. Beberapa setelan terhampar di atas sofa sebelah kanan atasannya. “Kamu minta pihak keamanan rumah selidiki soal dua pemulung yang belakangan sering melintas di luar pagar,” pinta Roy. “Di luar pagar artinya jauh sekali dari pintu depan, Pak. Anda jangan khawatir,” sahut Novan. “Pemulung apa yang dini hari tidak tidur?” tanya Roy memutar tubuhnya. “Banyak, Pak. Orang kelaparan memang biasanya tidak bisa tidur,” jawab Novan. “Aku tidak kelaparan, Mr. Novan. Tapi, aku selalu tidak bisa tidur.” Roy selesai menggulung dua lengan kemejanya. “Karena hidup Anda penuh kekhawatiran dan banyak musuh. Anda bisa saja—” “Musuh itu akan selalu ada, sebaik apa pun kamu memperlakukan oran
Roy bisa mendengar suara Sahara bergetar saat menanyakan hal itu padanya. Putri bungsu keluarga Spencer itu memang cantik sekali. Memang cukup disayangkan Roy tak bisa menatap wajah gadis itu berlama-lama. Seandainya bisa, sejak awal dia pasti meniduri Sahara berkali-kali. Sahara diselamatkan oleh trauma yang dideritanya belasan tahun. Tangan Sahara menggenggam lemah kejantanannya. “Kamu harus memegangnya sedikit lebih erat. Itu tidak akan melukaimu, Rara ...,” bisik Roy, menarik napas dan menyandarkan kepalanya ke sofa. “Om, gimana kalau aku bersedia dinikahi, tapi aku belum siap untuk ... melakukannya?” tanya Sahara, menatap Roy yang memejamkan mata. Dia menunduk memandang bagian tubuh Roy yang sudah mengetat di dalam genggamannya. “Anggap aku membeli keperawananmu dengan cara yang paling terhormat,” ujar Roy. “Bermalam denganku saat kau siap. Aku akan membereskan soal pengobatan Bu Misrawa
Roy menyesap dan melumat puting Sahara dengan rakusnya. Lingkaran dengan titik kecil menggemaskan itu memang menggodanya sejak pertama kali dia melihat Sahara menari erotis di atas panggung. Tangan kiri Roy meraih satu tangan Sahara dan menggenggam jemarinya sejenak. Menautkan jemari mereka, kemudian perlahan mengangkat tangan gadis itu. Lumatan keras Roy memaksa tubuh Sahara menjadi condong ke belakang. Memaksa gadis itu untuk merebahkan tubuhnya ke sofa panjang tempat mereka duduk. “Om, jangan sekarang,” rintih Sahara dengan nada lemah. Roy mengangkat wajahnya dari atas dada gadis itu. “Kamu nikmati saja. Aku tidak akan meniduri kamu sebelum kamu menjadi istriku. Ini … hanya perkenalan,” bisik Roy. “Satukan kedua tanganmu di atas kepala. Aku mau memegangnya.” Suara Roy berupa perintah. Dengan tangan kirinya, Roy menggenggam dan menyatukan dua tangan gadis itu di atas kepalanya. “Cium aku,”