Share

BAB 5 Jadi Obat Nyamuk

“Oh, jadi kalau kita mau minta sesuatu sama Allah itu harus jelas banget?” Farzana mengulangi kalimat yang diterangkan oleh Boim barusan.

Laki-laki yang sengaja memperlambat langkah demi kenyamanan Farzana itu mengangguk pelan. “Misal kamu mau minta sesuatu … jelasin ke Allah kondisi lengkapnya seperti apa, jam berapa, tanggal, bulan, dan tahun berapa. Itu semua harus kamu sebutin kalau kamu mau do’a kamu gak meleset ke mana-mana.”

“Tapi kan, Allah Maha Mengetahui.”

“Zana … Allah memang Maha Mengetahui, tapi gak gitu konsepnya.”

“Memangnya gimana?”

“Coba deh, kamu minta buah Apel sama Umi … orang yang mengandung, melahirkan, dan ngebesarin kamu. Kamu udah mikir, ‘Ah, ini pasti Umi tahu aku mau buah apa, jadi minta buah ajalah, gak usah disebutin apelnya biar gak ribet’, tapi pada kenyataanya gak gitu, kan? Kamu gak tahu kalau Umi punya ribuan buah, dan setelah memperhitungkan baik dan buruknya, Umi ngasih kamu buah Mangga. Kamu jadi gak terima, padahal itu bukan salah Umi kamu.”

Farzana tersenyum kecil. Cara Boim memberitahunya pada banyak hal terasa begitu lembut dan mudah untuk dimengerti.

“Gimana? Kamu udah paham, Zana?”

Gadis berkulit putih itu mengangguk cepat. “Syukron, Boim. Alhamdulillah aku udah paham.”

“Jadi, kamu masih gak mau bilang ke saya hal yang ganggu kamu akhir-akhir ini?”

Farzana hanya terkekeh. Mana mungkin dia mengatakan kalau dirinya terganggu karena sudah menganggap Boim sebagai laki-laki, bukan sahabat lagi. Ingin ditaruh di mana muka Farzana? Tidak, bahkan gadis ini memang tidak memiliki keberanian sebesar itu. Kemungkinan untuk Boim tolak seluas lautan.

Farzana yakin, jikalau jodohnya memanglah Boim, maka Tuhan akan memberikan jalan untuk dirinya melangkah ke jalur itu. Akan tetapi bagaimana kalau Boim bukan jodohnya? Farzana masih belum siap menerima fakta tersebut.

“Ya sudah kalau kamu masih ngerasa keberatan.” Boim menyerah, tetapi wajah laki-laki itu tampak sendu.

“Boim sebenarnya—”

“Assalamu’alaikum, Ustaz Boim!”

Suara yang lembut dan mendayu, sosok wanita kurus semampai yang selalu mengenakan cadar. Bahkan Farzana saja bisa takjub dengan penampakan yang tiba-tiba muncul di hadapannya sekarang. Fatimah bagai bidadari dari surga, tetapi Farzana tidak bisa menyukainya.

“Wa’alaikumus salam,” sahut Farzana dan Boim secara bersamaan.

“Ustaz Boim, habis dari mana? Ngajar anak-anak mengaji, ya?”

Jika sudah tahu, kenapa bertanya? Farzana menggerutu di dalam hatinya. Dada gadis itu mulai memanas seperti oven.

“Iya. Fatimah sendiri, habis dari mana?”

Tampak garis mata dan alis Fatimah menunjukkan bahwa ia sedang tersenyum. “Dari rumah aja, Ustaz.”

“Oh ….” Boim mengangguk.

Kini, Farzana heran kenapa Fatimah hanya mengucap salam untuk Boim, bertanya hanya pada Boim, dan tidak mengajak Farzana mengobrol sama sekali. Apa Fatimah mengangap dirinya seperti batu pajangan atau hiasan konyol di dinding?

“Ustaz mau ke mana sekarang?”

“Pulang, habis antar Zana ke rumah dulu.”

Sekilas, Fatimah melirik ke arah Farzana, tetapi perempuan itu tetap mengabaikannya. Mereka bertiga jadi berjalan bersama dan sialnya lagi, ada Nadia dan beberapa orang lain yang malah ikut bergabung bersama mereka. Sekarang, Farzana jadi berjalan di barisan paling belakang, seolah dirinya hanyalah serangga kecil yang tidak dianggap dan patut untuk disingkirkan.

“Ustaz, tidak mau bertanya saya mau ke mana?”

Apa-apaan itu? Ingin rasanya Farzana berteriak sekarang. Akan tetapi, memangnya dia siapa? Istri Boim juga bukan, Farzana hanyalah seonggok teman. Ia tidak memiliki hak untuk merasa cemburu dan melarang Boim berinteraksi dengan wanita lain terkhususnya Fatimah.

“Haha.” Boim tertawa kecil. “Memangnya Fatimah mau ke mana?”

Fatimah tidak menjawab dan melirik ke arah Nadia, seolah memberikan isyarat. Jadilah Nadia yang malah menjawab pertanyaan Boim tadi.

“Kami tadi udah janji mau ngantar Fatimah, dia mau nginap di rumah tetangga dari pamannya, Ustaz. Saya lupa nama mereka, tapi Fatimah datang buat bantu anak kecil di sana ngerawat orang tuanya yang lagi sakit keras. Baik banget kan, Fatimah?” celetuk Nadia begitu lancar.

Boim tersenyum lembut dan mengangguk.

“Masya Allah, saya merasa takjub mendengarnya. Fatimah wanita yang baik dan juga sholehah. Pasti orang tuanya bangga punya anak seperti Fatimah.”

Semua orang di dalam rombongan itu langsung setuju dan mengelu-elukan kemurnian, kebaikan, dan kesholehan dari seorang Fatimah. Tentu saja semua orang kecuali Farzana. Gadis bertubuh mungil di sana merasa ada yang janggal, tetapi hatinya berusaha untuk tidak memikirkan sisi buruk dari orang lain.

Satu demi satu dari rombongan itu ternyata tidak mengantar Fatimah seperti apa yang Nadia katakan. Mereka malah bergantian pamit undur diri hingga akhirnya hanya menyisakan tiga orang, yaitu Boim dan Fatimah yang berjalan bersisian di depan, dan Farzana yang bagaikan obat nyamuk tetap berjalan di posisi belakang.

“Oh … jadi seperti itu, ya, Fatimah? Saya baru tahu.”

“Haha! Iya, Ustaz. Jadi malu karena ngucapinnya sendiri.”

“Aduh, tidak apa-apa. Jangan sungkan sama saya. Kamu udah banyak bantu saya juga.”

Lihat? Farzana bahkan benar-benar tidak dianggap. Boim sepertinya lupa kalau tugasnya adalah mengantar Farzana pulang ke rumah dengan selamat. Bukan malah menjadikan Farzana obat nyamuk dari kisah romantisnya dengan wanita alim bercadar itu.

“Aku udah sampai rumah, Assalamu’alaikum!” teriak Farzana sambil berlari memasuki pekarangan rumahnya dan langsung menutup pintu tanpa menoleh lagi ke belakang.

Di dalam hati kecilnya, Farzana berharap kalau Boim menyusul dan meminta maaf karena sudah mengabaikan dirinya hampir separuh jalan. Akan tetapi saat Farzana mengintip dari balik gorden jendela, kenyataan menimpanya dengan sangat pahit.

Boim memang sempat terlihat ingin melangkah ke rumahnya, tetapi Fatimah menahan Boim dan entah apa yang mereka bicarakan sehingga pada akhirnya Boim malah memutuskan untuk pergi begitu saja demi menemani Fatimah.

“Apa tadi aku lebih baik nyeret Boim masuk aja, ya?” kesal Farzana mulai menyesali sikap kanak-kanak yang ia lakukan tadi.

“Zana …,” panggil Umi yang berhasil membuat putrinya tersentak kaget. “Ngapain kamu lari-lari terus kaya orang dikejar setan gitu?” Sebenarnya Umi tahu apa yang terjadi karena memang sengaja memperhatikan dari awal.

“Bukan dikejar setan, Umi,” elak Farzana dengan wajah bersungut seperti sendok.

“Terus? Apa?”

“Tapi aku yang udah jadi setannya.”

Umi mau tidak mau langsung tertawa mendengar ocehan putri tercintanya yang satu ini. “Kamu ada-ada aja. Gimana kalau nanti kamu undang Boim buat makan di sini?”

“Hah? Buat apa?”

“Loh, kok ditanya buat apa? Sebagai tanda terima kasihlah, Ustadz Boim sudah repot-repot jagain kamu.”

“Jagain apanya? Zana bukan anak kecil.”

Umi terlihat meringis. “Pokoknya ajak aja Ustadz Boim nanti, oke?”

“Iya, Umi.”

Meski kesal, Farzana jadi sedikit menantikan hari esok. Namun, gadis itu tidak pernah tahu kalau hari yang ia tunggu-tunggu adalah hari di mana hubungannya dan Boim berakhir.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status