"Ik mis je echt, Xera." Lengan kekar Xander melingkari pinggang ramping Xera—saudari satu ayah beda ibu.
"Ik mis jou ook, Kakak." Xera membalas pelukan kakaknya dengan kaki yang berjinjit. "Apa yang, Kakak, bawa?" Ia memandang dengan mata yang berbinar pada kotak berwarna merah muda yang Xander bawa, berharap kakak pertamanya yang sangat tampan ini, membawakan ia hadiah seperti biasanya."Dit is een cadeau voor jou, van Leon." Xander menyerahkan kotak itu pada Xera. Namun, adiknya memasang wajah cemberut yang cendrung menggemaskan di matanya. "Ada apa, hmm?" "Aku kira hadiah ini dari, Kakak, belakang ini kau jarang membawakan aku sesuatu." Xera mengeluh, tetapi ia tetap menerima hadiah yang diserahkan kepadanya."Maaf, Liev, belakang ini aku senang banyak pekerjaan, lain kali aku akan memberikan apa pun yang kamu inginkan." "Benarkah? Dank je, Broer." Xera menggelayut manja di tangan Xander. Bahkan, gadis berparas cantik nan ceria itu mengerlingkan matanya beberapa kali, membuat Xander tersenyum dan mencium pucuk kepalanya."Aku berjanji, sekarang katakan, di mana mamelie, hmm?" "Mama ada di serambi belakang. Ayo, biar aku antarkan." Xera membawa kakaknya ke tempat ibu mereka, tepatnya—ibu kandung Xera sendiri. Gadis itu tetap menggandeng kakaknya dengan manja.Xander berjalan dengan langkah yang tegap, sedangkan Xera berjalan dengan langkah yang anggun. Keduanya berjalan beriringan, melewati ruangan yang memiliki ukuran cukup luas, dengan beberapa buffett kayu jati yang berdiri kokoh—menyinpan berbagai piring dan cangkir keramik, serta sofa-sofa yang terbuat dari kulit atau beludru.Beberapa pelayan yang baru saja bekerja di rumah itu, mencuri pandang pada tuan mereka. Kali ini mereka beruntung karena bisa melihat langsung, karena biasanya, mereka mereka hanya melihat Xander dari lukisan yang terpajang di atas piano ruang utama.Dalam lukisan itu, Xander duduk di atas kuda yang bersurai hitam—lengkap dengan seragam militer dan tanda kepangkatannya, tidak ada senyuman. Namun, mampu menyihir untuk memandang lama-lama bagi siapa pun yang melihat lukisan tersebut.Xander dan Xera berbelok ke sisi kiri melewati lorong sepanjang sepuluh meter menuju serambi belakang. Lelaki itu mengedarkan pandangannya ke arah halaman, rumput hijau padat dan pohon asam di kiri-kanan yang tampak teduh, juga dipenuhi tanaman bugenvil yang sedang bermekaran. Tapi, ia tidak mendapati sosok wanita yang ia cari."Sedang mencari seseorang?"Suara yang ada di balik punggungnya terdengar sangat familiar di telinga Xander, ia tersenyum sangat tipis dan memutar tubuhnya untuk melihat langsung pada orang itu, saat mata mereka bersiborok, Xander langsung menghampiri dan memeluk dengan hangat."Maafkan aku karena baru bisa pulang, Mamelie.""Aku hampir lupa kalau aku memiliki anak lelaki." Nyai Aminah yang notabene ibu sambungnya, membingkai wajah Xander setelah lelaki itu melepaskan pelukannya."Ada yang ingin aku bicarakan pada, Mamelie." Xander kini menjadi serius, lalu ia beralih pada Xera. "Maaf, Liev, bisakah kau memberi waktu pada kami untuk berbicara empat mata saja?" "Ja, aku permisi ke kamarku." Xera menekuk kakinya sebagai simbol kesopanan orang Eropa yang diajarkan oleh ayahnya dulu. Setelah gadis itu tidak terlihat lagi, Xander dan nyai Aminah duduk di satu set kursi jadi yang ada di sana."Mengenai Senja, saat pertama kali, Mamelie, mengirimiku surat. Aku berusaha mencari segala sesuatu tentang gadis itu. Singkatnya, aku telah mengambil keputusan untuk mengirimkannya ke luar negeri. Dia tidak bisa tinggal di tanah ini lagi, itu adalah upaya terbaik untuk menyelamatkannya." Xander berkata dengan perlahan seraya memperhatikan wajah ibu sambungnya yang terkesiap."Apa maksudmu, Ian? Mengapa harus luar negeri?""Entah benar atau tidak, tuduhan yang dilayangkan kepada keluarga gadis itu adalah salah satu tindakan untuk mengganggu fungsi pemerintah. Pada surat yang saat ini ada di Raad Van justitie, ada sebuah daftar orang-orang yang terlibat dalam mendanai para pemberontak, bukan hanya itu saja, cap keluarga Senja juga di temukan dalam daftar tersebut." Xander menjeda sejenak penjelasannya saat pelayan membawakan dua gelas minuman untuk ia dan ibunya.Setelah para pelayang pergi ia melanjutkan perkataannya."Parahnya, pemberontak yang mereka dukung, sudah melakukan attack onshlaught yang menyebabkan gudah senjata kami menjadi hancur, serta pencurian denah pertahanan. Untuk saat ini, gadis itu mungkin akan dikenakan pasal 105, doodstraf—hukuman mati, atau pun gevagenisstraf—penjara seumur hidup."Xander menjelaskan panjang lebar pada nyai Aminah, berharap ibunya bisa menerima dan mengerti.Nyai Aminah meneteskan cairan bening dari pelupuk matanya—menangisi nasib keluarga sahabatnya yang sudah sangat berjasa pada kehidupan ia dan kedua anaknya. Saat Xander berusia empat tahun, lelaki itu terjangkit malaria dan hampir merenggut nyawanya.Ayah Senja datang memberikan bantuan beruba obat-obatan yang dapat menyembuhkan Xander. Sedangkan adik Xander yang lain, yang saat ini sedang berada di Groningen—pernah mengalami kejadian yang tidak menyenangkan.Senja yang lebih muda tiga tahun dari adik Xander, tidak sengaja menjadi saksi dan melaporkan pada ayahnya, sehingga anak itu bisa diselamatkan. Nyai Aminah tahu ia tidak bisa berbuat banyak, ia tidak ingin membahayakan nyawa Xander jika menuntut anak sambungnya melakukan hal yang lebih lagi, ia hanya bisa pasrah."Mamelie, jangan khawatir, aku akan ikut dalam pelayaran, aku berjanji akan mengawasi gadis itu.""Dank je, Ian. Aku tidak tahu ini bisa dianggap sebagai melunasi hutang nyawa kita pada mereka atau tidak." Nyai Aminah meremas jari-jemari Xander dengan lembut."Kita sudah mengupayakan yang terbaik, Mam." Lelaki itu mencium telapak tangan ibunya, berharap bisa mengurangi kesedian wanita itu.Hari semakin gelap, matahari bergulir ke arah barat dengan sinarnya yang kemerah-merahan. Sekelompok burung walet terbang beriringan kembali ke sarang mereka. Sayup-sayup terdengar suara adzan berkumandang dari kejauhan, dan cahaya bulan perlahan naik menggantikan eksistensi siang. Ibunya tampan murung, tidak banyak berkata, lebih sibuk dengan pikirannya sendiri. ***Senja melepaskan kain sprei yang membungkus kasurnya dengan sangat rapi, gadis itu mengikat ujung sprei pada gorden yang berhasil ia tarik jatuh dengan sangat kuat. Selain itu, Senja mengganjal pintu dengan meja sudut dari kayu jati yang cukup berat, dan menambahkan beberapa perabotan lainnya. Sekali lagi, gadis itu menengok ke bawah jendela, memastikan para pelayan saat ini pasti tengah melakukan ibadah wajib.Malam itu ia berencana untuk melarikan diri. Ini adalah kesempatan terbaik, ia belum tahu orang yang telah membawanya ke tempat ini. Karena siapa pun orang itu, bagi Senja, ia merasa terus dalam bahaya. Senja baru saja mengikat untaian kain pada kaki ranjang yang akan ia digunakan untuk menopang berat badannya, saat terdengar suara gagang pintu yang diputar. "Buka pintunya!" Seseorang mengetuk berkali-kali seraya memberi perintah pada Senja."Nona, apa yang sedang Anda lakukan? Kenapa pintunya diganjal seperti ini?" Orang itu berusaha mendorong, barang yang berada pada tumpukan paling atas terjatuh, menimbulkan suara berisik yang mengundang lebih banyak orang. Senja semakin panik, ia mengikat pinggangnya dengan kain sprei dan mencoba memanjat ke daun jendela. Setelah berhasil, ia menggenggam kuat dan berniat turun perlahan. Gadis itu terkejut saat hentakan keras yang diiringi meja jati bergeser sehingga pintu terbuka, terlihat Leon memegangi bahunya seraya meringis, keduanya sama-sama terkejut."Apa yang kau lakukan?!" Leon setengah berteriak, tidak menyangka gadis gila ini akan berbuat nekat.Senja yang kehilangan keseimbangan, akhirnya terjatuh dengan posisi wajah menghadap tanah. "Aaaargghhh." Suara teriakan Senja terdengar seiring gadis itu hilang dari pandangan mata Leon.Leon memijit pelipisnya yang terasa pusing, kali ini sahabatnya—Xander, telah memberikan tugas yang sulit. Membawa tahanan ke rumahnya, dan sekarang gadis itu baru saja berulah dengan rencana ingin melarikan diri. Leon bersandar pada tembok berkapur putih bersih, memandangi Senja yang tidk sadarkan diri dan kini berbaring di atas kasur, rambut panjangnya terurai di bantal.Beruntung kain yang membebat tubuh ramping Senja terikat kuat, sehingga Leon berhasil menarik gadis itu kembali. Namun, kepala Senja cukup keras membentur dinding batu, sehingga gadis itu tidak sadarkan diri—untuk kedua kalinya. Leon berharap agar Senja tidak mengalami amnesia. Lelaki itu mengambil sebuah kotak cigarettes dari saku piyamanya, menghidupkan satu batang dan menghisapnya.Leon telah mengabarkan kejadian ini kepada Xander, dan sahabatnya itu berpesan untuk menyampaikan sesuatu pada Senja, agar gadis itu tidak melakukan hal-hal yang ceroboh dan tidak berguna. Leon menyipitkan matanya saat melihat gerakan
Ananta berdiri di tengah kebun teh yang terlihat bagai permadani hijau membentang tiada ujung, tetapi ia merasa sedang berdiri di tengah Padang gurun. Dari luar, tampilannya tampak rapi—memakai setelan jas dan sepatu kulit mengkilap. Namun dari dalam, hatinya hancur bak sebuah guci yang terpecah beberapa bagian. Fokusnya terganggu oleh rambut Senja yang berkibar tertiup angin musim kemarau, dan berkilau diterpa sinar matahari. Untuk beberapa waktu, mereka berdua hanya berdiri bergeming tanpa suara. Namun, isi kepala mereka dipenuhi dengan pertanyaan dan penjelasan yang tertahan di ujung lidah.Ananta mengusap tengkuknya yang sedikit berkeringat karena gugup. Setelah menormalkan tekanan perasaannya yang naik-turun, sekali lagi ia menatap ke dalam bola mata milik Senja. Tangan Ananta refleks menyelipkan rambut Senja ke belakang telinga karena sedikit menutupi waja. Gadis itu segera menunduk, kelopak matanya sedikit bergetar."Apa benar kalau ayahmu membatalkan pertunangan kita?" Suara
Eeden menelisik penampilan wanita yang ada di hadapannya. Dari kepala hingga kaki, tanpa melepaskan cengkraman dari rambut Senja, wanita berpempilan anggun itu sangat kontras dengan wanita lainnya, ia berjalan mendekat dan mencoba mengalihkan perhatian."Mijn naam is Sundari, Meneer. Ik ben een zanger dan saya diundang langsung oleh Kolonel Damyon Van Devivere," jelas Sundari."Benarkah hanya penyanyi? Atau kau juga seorang gundik papan atas milik kolonel Devivere?" Eeden berkata seraya menyeringai, melontarkan kalimat ejekan.Sundari masih memasang wajah tenang. Bukan sekali dua kali ia menerima penghinaan seperti itu, apa yang dikatakan Eeden tidak sepenuhnya benar. Tetapi, tidak sepenuhnya salah. Bukan tanpa alasan Sundari melakukan semua ini. Ada alasannya yang tidak bisa ia ungkapkan. Saat tadi ia melihat Senja yang melawan tanpa rasa takut para tentara, Sundari seperti melihat sosok adik perempuannya—Mentari, yang telah hilang sepuluh tahun silam. Sundari mendekatkan bibirnya
Tidak langsung menjawab, Xander memaksa Senja untuk mengikuti langkahnya. Sampai tiba di sebuah ruangan yang paling ujung, Xander membuka pintunya dan melemparkan Senja ke atas kasur."Kau ingin menjadi pahlawan? Harusnya kau urus saja dirimu sendiri, jangan campuri urusan orang lain!" bentak Xander."Seharusnya itu yang kau lakukan, Tuan. Aku tidak mengenalmu, tapi kau tiba-tiba menyeret dan mengatakan hal-hal yang tidak aku pahami!""Kalau bukan karena kepedulian nyai Asna, mungkin kau saat ini sudah mati atau menjadi tawanan mayor Rutger! Bahkan sudah dijual ke pria hidung belang!""Ba–bagaimana kau bisa tahu?""Karena aku yang merencanakan semua ini! aku yang membebaskanmu, dan aku yang mengirimmu kemari!"Senja mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan Xander, dan satu hal yang ia sadari, kalau ini bukan rencana nyai Asna, seperti apa yang dikatakan oleh Leon. Senja berdiri tegap di depan Xander, ia menatap Netra biru keabu-abuan Xander."Jadi ini semua bukan rencana nyai? Kau
Xander menoleh pada suara yang menyapanya, kemudian ia mendapati seorang pria yang diperkirakan berusia lima puluhan, mengenangkan seragam Koninklijke Marine berwarna putih. Pada bagian lengan terdapat empat garis stripe, juga sebilah pedang tersemat di sisi pinggangnya. Xander menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan kepada sang nakhoda."Anda terlalu sungkan, Kapten. Xander ... Anda dapat memanggilku dengan nama itu," jawab Xander.Sang nakhoda terkekeh dan mengeluarkan sebatang cigarette dari kotaknya yang terbuat dari kaleng segi empat, mengambil satu batang—menghidupkannya, lalu menawarkan pada Xander. "Pindah tugas juga?""Saya akan di tempatkan di pabrik gula Marienburg selama beberapa bulan. setelah itu akan ke Netherland.""Keluargamu cukup terkenal Groningen, Xan. Apakah kau akan berkunjung ke sana?" tanya nahkoda."Tidak, Kapten. Saya akan ke Deen Haag untuk menjalankan beberapa formalitas." Xander mengambil satu batang dan ikut menyalakan cigarettenya."Aa, begitu rup
Seorang gadis yang lebih muda dari Dara datang dan menghampiri, ia mengulurkan tangan kanannya. "Namaku Diah, terima kasih karena telah membantuku, dan maaf karena sudah membuat, Mbak, susah. Aku berhutang budi pada, Mbak."Dara menatap gadis yang ada di sampingnya, mencoba mengingat. Saat ia mendapat ingatannya, ia tersenyum tipis dan menerima jabatan tangan gadis itu. "Senj–" Dara menghentikan kalimat yang akan dia ucapkan.Dara menghela nafas. "Dara, namaku Dara. Tidak usah sungkan, mungkin kemarin hari sialku." Saat menyebutkan nama lain yang bukan namanya, ada rasa sakit dan perasaan tidak nyaman dalam hatinya."Tidak ... tidak, kemarin itu, Mbak, telah menolongku dengan sangat berani.""Sudah kubilang, kemarin adalah hari sialku," jawab Dara malas. Ia terlalu lelah untuk mengingat dan membahas peristiwa kemarin."Ahh, ngomong-ngomong tentang nasib sial. Kita semua yang terkurung dan terombang-ambing selama enam puluh hari belakangan ini semuanya bernasib sial, Nona–" Seorang le
Saat Stien berusaha mencumbu Dara lagi, gadis itu membenturkan kepala mereka dengan kuat sehingga Stien bangun dari atas tubuh Dara. Melihat kesempatan itu, ia segera berlari ke arah pintu dan berhasil membukanya. Baru satu langkah keluar dari kamar. Kulit kepala Dara terasa perih karena dijambak dengan kuat, rupanya Stien berhasil meraih rambut Dara.Tubuh Dara di hempas dengan sangat kuat dan membentur dinding kapal. Rasa nyeri dan linu seketika menjalar seluruh tubuhnya. Stien yang belum puas, segera mencengkram rahang Dara dan hendak menamparnya. Baru saja tangannya di angkat, sebuah tangan dengan cepat menahan gerakannya. Ia menoleh untuk sekedar memastikan."Kau?""Begitu terkejut, Mayor?"Xander mencengkram dengan kuat tangan kanan Stien. Tadi, saat ia hendak kembali ke kamarnya setelah berjalan-jalan, ia mendengar suara gaduh seperti orang yang tengah bertengkar. Xander mencoba untuk acuh. Tapi saat melihat gadis yang ia kenal di ujung lorong, rasa penasaran pria itu tiba-tiba
"L'amour est enfant de bohêmeIl n'a jamais, jamais connu de loiSi tu ne m'aimes pas, je t'aimeSi je t'aime prends garde à toiPrends garde à toiSi tu ne m'aimes pasSi tu ne m'aimes pas, je t'aimePrends garde à toiMais si je t'aime, si je t'aimePrends garde à toi."Suara tepuk tangan terdengar saat Sundari selesai menyanyikan 'Habanera', sebuah aria penuh perasaan dari Opera kesayangan Kolonel Harland yaitu Carmen."Geweldige, Juffrouw, je stem is zo mooi met een ander accent." Kolonel Harland memuji Sundari karena suaranya yang begitu merdu."Anda terlalu memuji, Kolonel," balas Sundari seraya membungkukkan sedikit badannya."Kau memang pantas menerima undangan dari Kolonel Devivere, tidak percuma dia mengatur perjalanan ini. Kau sangat menghibur dengan suaramu yang merdu, Nona.""Terima kasih, Kolonel, saya sangat tersanjung atas perkataan Anda."Di tengah perbincangan antara Sundari dan kolonel Harland, suara ketukan pintu dari luar membuat mereka berdua spontan menatap ke a