Saat Keina tidak sadarkan diri di hadapannya, Alden teramat shock. Ia tertegun menatap wajah pucat Keina yang terbaring di ranjang rumah sakit. Ada perasaan bersalah yang menelusup hatinya saat melihat Keina seperti ini. Kenapa Keina sampai pingsan? Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah dia sendiri yang menginginkan perceraian mereka, tapi kenapa Keina Nayara malah membuatnya cemas tepat sebelum perceraian mereka terjadi?
"Bisa saya bicara sebentar dengan keluarga?"Alden yang tengah menatap ke arah Keina seketika mengalihkan pandangannya ke arah dokter yang sudah memeriksa Keina."Saya ayahnya, bagaimana keadaan anak saya, Dok?""Apa tidak ada suaminya? Saya harus bicara dengan suaminya."Semua orang di sana terlihat menatap ke arah Alden. Alden mengerjapkan matanya dengan bingung. Suami? Kenapa dokter Keina tiba-tiba membahas mengenai suami?"Ah, maaf dokter, tapi kenapa Anda menanyakan perihal suami anak saya?" Tanya Handika, raut wajahnya menunjukkan rasa penasaran yang teramat seperti yang lain."Itu karena Bu Keina sedang hamil."Alden terhenyak mendengar ucapan itu. Hamil? Keina hamil? Tapi, bagaimana bisa?"Jadi bisa saya bicara dengan suaminya?""Ini anak saya, Alden. Dia suami Keina," ujar Reymand yang kemudian mendorong tubuhnya ke arah sang Dokter.Alden menghela nafasnya panjang, meski masih dalam keadaan bingung Alden menghampiri sang Dokter."Ya saya suaminya, jadi apa yang mau Anda bicarakan?""Ikut ke ruangan saya sebentar, Pak Alden."Alden mengikuti langkah dokter itu ke ruangannya."Silahkan duduk,"Alden menarik salah satu kursi lalu duduk di hadapan sang dokter."Usia kehamilan Bu Keina baru sekitar satu bulan, usia kehamilan ini sangat rentan dan perlu dijaga baik-baik, Pak Alden. Kondisi Bu Keina terlihat sangat lemah hari ini, saya harap Pak Alden bisa memperhatikan istri Anda baik-baik. Saya khawatir jika kondisi Bu Keina terus seperti ini akan mengancang ibu dan bayinya."Alden hanya terdiam, situasi ini masih membuat dirinya bingung. Ia tidak menyangka bahwa Keina akan hamil disaat hubungan mereka sedang di ujung tanduk."Anda mendengarkan saya, Pak Alden?"Alden mengangguk, ia sangat paham bahwa seorang Ibu hamil pasti membutuhkan perhatian yang lebih dari orang-orang di sekitarnya."Saya mengerti Dok, terimakasih atas bantuan Dokter.""Sama-sama Pak Alden,""Kalau begitu saya permisi."Alden membuka pintu ruangan dokter lalu menghela nafasnya panjang. Situasi ini benar-benar menyulitkan dirinya. Jika Keina hamil, lalu bagaimana nasib hubungannya dan juga Shiren yang akan ia lanjutkan ke hubungan yang lebih serius lagi?Ponselnya seketika bergetar menampilkan pesan dari Shiren yang menanyakan keadaan Keina. Alden memang sengaja memintanya pulang karena khawatir Shiren menjadi bahan amukan ibu dan ayahnya. Melihat pesan itu, kepala Alden terasa berputar. Apa yang harus ia katakan kepada Shiren setelah ini?****Keina mengerjapkan matanya dengan perlahan. Keningnya berkerut samar saat melihat keadaan di sekitarnya yang bernuansa putih. Bau alkohol dan obat-obatan seketika menyeruak ke dalam hidungnya. Tunggu... Apa ia berada di rumah sakit?"Sayang, kamu sudah sadar?"Keina mencoba bangkit saat mendengar ucapan Tania. Dibantu oleh Tania dan Handika, Keina duduk di hadapan keluarga yang tengah berkumpul. Keina menelan ludahnya dengan gugup. Sial, memalukan sekali, bagaimana bisa ia pingsan di saat sidang perceraian dirinya dan Alden sedang berlangsung? Bisa-bisa Alden dan juga keluarganya menganggap bahwa ia terlihat sangat lemah karena hal ini."Kenapa semuanya ada di sini? Keina sudah tidak apa-apa, tidak usah cemas. Sepertinya Keina hanya kelelahan karena mengurus pekerjaan dan juga perceraian sekaligus."Keina mengerutkan alisnya dengan bingung melihat situasi di sana. Tidak ada menjawab perkataannya, semua orang di sana terlihat bungkam membuat Keina merasa aneh. Keina melirik ke arah Tania lalu bertanya, "Sidang perceraiannya akan diatur ulang oleh hakim bukan, Ma?""Kalian tidak akan bercerai!"Keina tersentak mendengar ucapan Reyman tiba-tiba, ia mendesah panjang, "Kenapa tidak? Keina dan Alden sudah memutuskan untuk bercerai. Keina hanya sedang tidak enak badan saat ini dan itu tidak akan mempengaruhi apapun. Tolong hargai keputusan kami.""Hakim mana pun tidak akan ada yang menyetujui perceraian kalian, Keina. Jadi, kalian tidak akan bisa bercerai."Mata Keina mengerjap dengan bingung, sungguh ia tidak mengerti."Apa maksudnya ini? Kenapa kalian bersikeras bahwa kami tidak bisa bercerai?""Orang tua kita benar, Keina. Kita tidak bisa bercerai saat ini."Keina semakin dibuat bingung mendengar ucapan Alden. Apa ini? Bukankah Alden juga menginginkan perceraian mereka?"Apa maksud–?"Kamu sedang hamil."Keina seketika terperangah mendengar ucapan Alden. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Hamil? Dia hamil?Keina mendengus seketika, apa ini? Apa ia sedang dikerjai oleh seluruh keluarganya?"Aku hamil? Jangan bercanda, Alden."Keina terkekeh kecil, ia menelisik raut wajah Alden saat ini berharap bahwa apa yang ia dengarkan telah salah. Namun, hingga beberapa menit berlalu, Alden masih mempertahankan wajah tertekan di hadapannya membuat senyuman yang Keina perlihatkan perlahan memudar. Apa ini? Jadi, ini betulan? Ia memang benar-benar hamil?Bagaimana bisa?"Aku benar-benar hamil?" Tanya Keina tidak percaya, secara refleks memeluk perutnya sendiri."Ya, kamu hamil. Kamu hamil anak Alden, Sayang."Kepala Keina terasa berputar mencerna situasi yang telah terjadi di antara mereka. Dari sekian banyak kebetulan menyebalkan di dunia ini, bagaimana bisa? Bagaimana bisa Keina mengandung putera Alden saat mereka tengah bercerai? Apa Tuhan tengah mempermainkan takdirnya hingga mengaturnya kembali bersama pria tidak punya hati itu?Meski Keina sudah bersikeras bahkan hampir memohon untuk ikut dengan orang tuanya saja, semua orang menentang keinginannya dengan keras. Tepat setelah ia dipulangkan dari rumah sakit, Keina tetap diserahkan kepada Alden dan memintanya kembali ke rumah tinggal mereka."Ingat Alden, jangan pernah menyakiti Keina dan jaga dia baik-baik. Keina sedang mengandung penerus perusahaan kita. Ingat, Papa akan selalu mengawasi kalian berdua,"Keina menghela nafasnya panjang mendengar banyak wejangan yang diperuntukkan oleh Alden dan juga dirinya dari orang tua mereka. Bahkan saat Keina hendak bangkit dan berjalan sendirian saat turun dari mobil setelah diantar oleh mertuanya, Reyman dan juga Audrey malah berteriak mengagetkan dirinya dan juga Alden."Apa yang kamu lakukan, Alden? Cepat papah istrimu ke dalam!"Keina terlihat melebarkan matanya saat Alden menarik tubuhnya lalu melingkarkan tangannya ke arah pinggang Keina sementara tangannya yang lain memeluk pundak Alden."Aku bisa jalan sendir
Pembohong.Keina tahu ia sudah menjadi pembohong ulung yang berbakat saat ini. Ia baik-baik saja saat ini dan menerima hubungan Sean dan Shiren itu semua bohong. Mana mungkin ia baik-baik saja saat melihat kontak Shiren Athalia di layar ponsel Alden? Saat ini ia merasa sesak, sangat sesak hingga Keina memilih menghindar.Bukannya ia tidak merasakan sakit lagi, bukannya ia sudah tidak memiliki perasaan apapun di hatinya, namun untuk mengulangi kembali perasaan cintanya yang selalu tidak berbalas, Keina tidak bernyali. Lebih baik seperti ini, lebih baik ia merasa sakit hingga semakin membenci pria di hadapannya dan membuat perasaannya hilang seluruhnya."Ya Shiren?"Keina memejamkan matanya saat mendengar suara Alden yang menyambut panggilan Shiren. Ini hanya sementara, rasa sakit ini hanya akan dirasakan sementara olehnya dan akhirnya Keina pasti tidak akan memperdulikannya lagi. Keina tersenyum miris lalu beranjak berjalan menuju kamar. Ia tidak akan mendengarkan keseluruhan percakapa
"Arghh!!!"Beberapa barang berserakan di bawah lantai di hadapan Shiren Athalia. Shiren menarik nafasnya lalu menghembuskannya dengan kasar, setelah melampiaskan amarahnya, ia menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Sial, menyebalkan sekali! Padahal ia sudah merencanakannya sejauh ini, tapi lihat apa yang terjadi? Keina hamil katanya? Cih! Seorang pria tetap saja pria, padahal Alden bilang bahwa hanya dirinya yang ia cintai, tapi dia malah menyentuh perempuan sialan itu!Kata siapa ia merelakan Aldennya menikah dengan orang lain? Tidak, Shiren tidak pernah merelakannya. Ia menghilang dari hadapan Alden karena desakan orang tuanya yang memberikannya banyak uang, namun setelah uang itu habis, Shiren merasa hampa. Ia menginginkan Alden kembali, ia butuh sesuatu yang lebih dan ia pikir ia harus merebut Alden kembali dan menjadikan pria konglomerat itu menjadi miliknya lagi.Padahal Shiren sudah sejauh ini, padahal satu langkah lagi selesai Shiren bisa menjadi Nyonya Syarakar di kediaman mewa
Alden membuka jas bajunya lalu menekan leher Keina yang tengah muntah dengan hebat. Perasaannya menjadi semakin cemas saat melihat wajah Keina yang semakin pucat pasi."Kenapa kau masih ada di sini? Kau tidak pergi ke kantor?"Alden mendesah melihat Keina yang masih sempat-sempatnya bertanya tentang dirinya yang belum pergi ke kantor."Bagaimana bisa aku pergi jika melihatmu kacau seperti ini? Aku tidak akan pergi."Baru saja ia membalas perkataan gadis itu, Keina kembali muntah. Dengan cekatan Alden kembali membantu wanita itu. Alih-alih merasa jijik, Alden merasa sangat iba melihat kondisi Keina yang seperti mabuk parah.Apa ini yang dinamakan morning sickness? Alden baru melihatnya secara langsung seperti ini. Melihat Keina yang kepayahan karena rasa mual yang dideritanya membuat Alden merasa sangat tidak tega."Ayo ku bantu,"Keina terlihat menolak bantuannya secara halus, "Aku bisa berjalan sendiri, tidak apa-apa."Alden hanya terdiam melihat kekeraskepalaan Keina. Dengan langkah
Akhirnya ia pergi sendirian untuk memeriksakan kandungannya. Keina menghela nafasnya saat mendapati tatapan para ibu hamil yang mengantri bersamanya ditemani suami mereka. Ia menggigit bibirnya melihat suami mereka memperhatikan istrinya dengan baik. Keina memejamkan matanya mengusir pemikiran buruk itu. Jangan iri, Keina Nayara, jangan iri pada mereka yang pernikahannya baik-baik saja dan normal seperti pada umumnya.Keina memilih mengambil salah satu majalah di tempat ruang tunggu. Sebaiknya ia berpura-pura membaca majalah saja daripada memikirkan hal yang tidak perlu."Bu Keina Nayara?"Keina seketika bangkit saat mendengar namanya dipanggil oleh perawat, "Iya? Saya Keina.""Mari Bu, ikut saya."Keina mengangguk lalu mengikuti langkah perawat yang membawanya ke arah ruang dokter."Silahkan masuk Bu,"Keina tersenyum dengan ramah lalu membuka pintu. Sepertinya dokter yang akan ia temui berbeda dari dokter yang kemarin."Selamat pagi Dokter, saya Keina Nayara.""Astaga, ternyata ini
Saat Keina masih di perjalanan, ponselnya seketika berdering. Keina mengambil ponselnya yang berada di tas tangannya, dengan cepat ia mengangkat panggilan itu saat mengetahui panggilan itu berasal dari Audrey, ibu mertuanya."Ya Ma?""Kamu dimana, Sayang?""Ah aku... Aku di rumah," kilah Keina enggan menjelaskan lebih lanjut. Ia tidak mau jika Audrey mengetahui bahwa ia pergi sendiri untuk memeriksakan kandungannya."Kamu yakin di rumah? Mama ada di rumah kalian dan kata asisten rumah tangga kalian kamu pergi ke dokter hari ini."Keina seketika tersentak, ia memijat kepalanya mendengar penuturan Audrey. Sial, kenapa Audrey harus datang sekarang di saat ia tidak ada di rumah?"Nanti Keina jelaskan Ma, sebentar lagi Keina sampai."Ia segera turun dari mobil yang dinaikinya setelah sampai lalu bergegas masuk ke dalam.Bi Ningsih, asisten rumah tangganya terlihat bergegas menghampirinya lalu membawakan barang bawaan yang ia bawa."Sejak kapan Mama datang?""Baru saja Non, maaf Non Ibu tad
Alden terlihat berpandangan dengan Keina mendengar hal ini. Ia tersenyum dengan canggung tidak menyangka jika Audrey berkata akan menginap di tempat mereka."Kenapa Mama tiba-tiba ingin menginap? Bagaimana dengan Papa?" Tanya Alden dengan gugup."Kenapa mengkhawatirkan ayahmu? Mama hanya menginap semalam disini,""Tapi Ma, Alden tidak enak dengan Papa."Audrey terlihat berdecak mendengar ucapan Alden, ia mengambil ponselnya lalu mulai mengetik kontak suaminya."Hallo Pa, Mama ingin menginap di tempat Alden dan Keina hari ini, apa tidak apa-apa? Hanya semalam, besok Mama akan langsung pulang. Tidak apa-apa kan Pa?""Tidak masalah Ma, kamu jaga anak-anak,"Klik. Audrey mematikan panggilan teleponnya lalu menatap Alden penuh kemenangan, "Bagaimana? Sekarang Mama boleh menginap?"Alden menghela nafasnya dengan kasar. Tamat sudah! Sekarang mereka tidak dapat mengelak lagi.Audrey terlihat menatap keduanya dengan tatapan menyelidik, "Sebenarnya kenapa kalian bersikeras tidak ingin Mama meng
Kenapa tiba-tiba mereka bisa berpelukan? Alden sama sekali tidak mengingatnya. Ia harus segera bangun atau Keina akan mengejeknya saat bangun tadi. Namun, sepertinya situasinya tidak memungkinkan. Alden berdecak saat melihat tangannya tidak dapat dipindahkan karena kepala Keina yang menindihnya. Perlahan, Alden mencoba memindahkannya kepala Keina, namun gerakan halusnya malah menimbulkan tragedi.Keina terlihat mengerjapkan matanya beberapa kali untuk kemudian matanya melebar sempurna melihat wajah Alden berada tepat di hadapannya."Aaaaa..."Alden segera membekap mulut Keina yang berteriak kuat, ia menempatkan jari telunjuk di sela-sela bibirnya, mengisyaratkan kepada Keina untuk diam. Kenapa Keina sampai berteriak seperti ini?"Keina, Alden? Ada apa? Kenapa ribut-ribut?" Terdengar Audrey mengetuk pintu sambil berteriak dengan cemas.Alden berdecak, sementara Keina segera tersenyum dengan canggung menyadari sikapnya yang berlebihan."Tidak apa-apa Ma, tadi Keina mimpi buruk," ujar Al