komen yuk ^^ cus lanjut berikutnya ya
Pertanyaan yang diajukan Rayden membuat Amora tersentak. Sudah lama sekali Rayden tidak mempertanyakan tentang keberadaan ayahnya.Dulu Amora sempat membuat sebuah cerita bohong tentang sosok ayah untuk putranya tersebut. Ia beralasan bahwa lelaki itu sibuk bekerja di negara yang jauh.Kebohongan itu terpaksa ia lakukan demi memberikan ketenangan kepada buah hatinya. Amora berpikir untuk memberitahunya setelah Rayden semakin bertumbuh besar nanti.Akan tetapi, kebohongan tetaplah kebohongan. Amora harus tetap menciptakan alasan yang lain untuk membujuk putranya tersebut hingga akhirnya Rayden tidak pernah lagi menanyakan tentang keberadaan sang ayah.“Ke-Kenapa kamu bisa tiba-tiba berpikir seperti itu?” tanya Amora dengan panik.“Jika papa memang menyayangiku, bukankah seharusnya dia tetap datang menemuiku dan Mama meskipun dia sesibuk apa pun?” gumam Rayden dengan wajah tertunduk sedih.“Ray—"“Ray tahu kalau Mama berbohong,” sela Rayden yang membuat wajah Amora tercengang, “Ray sama
“Sekarang kamu semakin besar ya, Ray. Sudah bisa menjaga Mamamu. Paman bangga sama kamu.” Satu tepukan ringan diberikan Noel Ritter pada puncak kepala Rayden. Pria itu memuji putra Amora yang baru saja mendapatkan penanganan medis darinya. Beberapa waktu lalu Noel telah mendengar dari Amora mengenai kondisi Rayden dan alasan yang membuat anak tersebut melakukan kekerasan fisik hingga terluka. Sebagai seorang dokter yang menangani kesehatannya sejak kecil, Noel merasa cara yang dilakukan Rayden dinilai terlalu gegabah. Tindakan kekerasan yang dilakukan bocah laki-laki itu tidak dapat dibenarkan karena tidak mempedulikan kondisi tubuhnya sendiri. Akan tetapi, alasan yang mendasari kekerasan tersebut yang membuat Noel cukup bangga padanya. Noel telah melihat perkembangan Rayden sejak di dalam kandungan dan merasa pemikiran bocah laki-laki itu lebih dewasa jika dibandingkan dengan anak-anak sebayanya. Padahal usia Rayden baru enam tahun. Namun, putra Amora tersebut sudah mengerti untuk
"Saya tidak mungkin berani mengkhianati Anda, Tuan Muda."Wajah Regis Lorenzo terlihat menggelap saat mendengar ucapan pemuda yang sedang bersimpuh di hadapannya saat ini. Pemuda itu masih bersikukuh untuk tidak mengakui perbuatannya. Padahal Regis telah mendapatkan bukti akurat mengenai penggelapan dana yang dilakukan pemuda yang telah menjadi karyawan di anak perusahaan Royal Dragon miliknya.Satu bulan yang lalu ketika Regis melakukan inspeksi dadakan ke salah satu supermarket yang masih menjadi bagian dari perusahaan yang dikelolanya, ia menemukan kejanggalan dari pelaporan hasil penjualan produk yang selama ini diserahkan padanya.Regis pun langsung meminta tangan kanannya, Mark Carter untuk mencari seseorang untuk menjadi mata-mata dalam penyelidikan tersebut. Ia pun menemukan bahwa terjadi manipulasi data dalam laporan tersebut dan pelakunya adalah bawahan yang telah bekerja cukup lama dengannya, Dennis Baker.“Apa penghasilanmu selama menjadi manajer utama di supermarket tida
“Paman benar-benar keren sekali!”Pujian yang dilontarkan oleh anak laki-laki asing itu membuat Regis terperangah selama tiga detik. Sontak, Regis menoleh ke sekitarnya dan tidak menemukan siapa pun selain dirinya dan anak laki-laki tersebut.“Kamu sedang berbicara denganku?” tanya Regis dengan nada datar yang tidak meyakinkan.Sebuah pertanyaan yang cukup konyol yang pernah diajukan Regis kepada seseorang. Pasalnya, ia tidak menyangka akan ada seseorang yang memujinya secara tiba-tiba tanpa alasan.Anak laki-laki yang tidak lain adalah Rayden Lysander tersebut langsung mengangguk antusias, lalu berkata kembali, “Paman adalah orang terkeren yang pernah kutemui.”Secara spontan, sudut bibir Regis terangkat tipis. Sangat tipis hingga sulit dianggap sebagai senyuman, tetapi hal yang dilakukannya ini tidak seperti diri Regis Lorenzo yang biasanya.“Apa tadi kamu sedang mengintipku?” selidik Regis memastikan.“Saya tidak mengintip. Hanya kebetulan melihat saja.”Regis kembali tersenyum men
“Papa?” Satu alis Regis terangkat ke atas. Ia menyeringai sinis. Hampir tak percaya jika kalimat seperti itu bisa dilontarkan oleh anak berusia enam tahun. Regis pun berusaha meredam kemarahannya dengan menghela napas pelan. Ia tidak menyangka seorang anak kecil yang dikiranya polos memiliki niat terselubung padanya. 'Apa sekarang mulai marak penipuan dengan menggunakan anak kecil sebagai alat kejahatan?' batin Regis menerka. Pria itu merasa telah menyia-nyiakan waktu berharganya untuk mendengarkan celotehan tak berguna dari anak tersebut, tetapi ada rasa ingin tahu yang sangat besar terhadap motif anak itu. Regis menduga orang tua tak bertanggung jawab dari anak itu yang telah mengajari hal tidak baik kepada anak laki-laki tersebut untuk mencari korban yang mudah ditipu. Sayangnya, anak itu sudah salah memilih target. "Di mana orang tuamu, Bocah? Saya ingin melihat orang tua seperti apa yang sudah mengajarimu menipu seperti ini?" cetus Regis. Ucapan pria itu tanpa sengaja telah
Kedua alis Amora bertaut. Ia menatap tajam pria bertubuh tegap yang tidak melepaskan pandangan darinya. ‘Apa maksudnya bertemu lagi? Siapa dia?’ batin Amora dengan rasa curiga yang sangat besar. Tadi ia memang sempat melihat putranya sedang berbicara dengan seorang pria dari kejauhan. Namun, ia tidak melihatnya dengan sangat jelas tadi dan setelah menghampiri putranya, ia melupakan keberadaan pria itu karena sibuk menasihati putranya. ‘Jangan-jangan … dia seorang penipu atau penculik?’ batin Amora dengan sepasang netra yang mengamati penampilan pria itu dengan penuh pertimbangan. ‘tapi, apa sekarang penipu juga memperhatikan penampilan mereka agar tidak dicurigai?’ Tanpa bertanya pun, Amora tahu jika setelan pakaian yang dikenakan pria itu merupakan pakaian buatan tangan yang memiliki harga yang cukup fantastis. Dua bulan gajinya saja belum tentu cukup untuk membelinya. Walaupun memiliki penampilan yang elit, tetapi di mata Amora, pria itu tetap saja mencurigakan. Apalagi pria itu
“Nek, aku pulang.”Rayden melangkah masuk ke dalam rumah dengan wajah lesu. Seorang wanita paruh baya yang sedang membersihkan rumah terlihat sangat terkejut dengan kepulangan Rayden. Padahal waktu pulang sekolah masih satu jam lagi.“Ray, kenapa kamu pulang seawal ini?” tanya wanita paruh baya yang tidak lain adalah Emma Adams.Dia adalah pengasuh Rayden sekaligus tetangga Amora yang tinggal dalam satu komplek dengan mereka.Biasanya Emma selalu menjemput dan mengantar Rayden. Kepulangan Rayden sekarang tentu saja mengagetkannya.“Ya ampun, Ray. Kenapa dengan wajahmu?”Emma bergegas menghampiri Rayden yang telah dianggapnya seperti cucunya sendiri. Ia langsung meletakkan gagang pel di tangannya, lalu menangkup wajah Rayden yang dipenuhi dengan luka.“Siapa yang sudah memukulmu, Ray?” selidik Emma dengan sangat cemas. Hatinya terasa pilu melihat luka pada wajah anak laki-laki itu.Pandangannya beralih kepada Amora yang baru saja masuk ke dalam rumah setelah memarkirkan motornya di hal
“Ray, Mama masuk ya.” Amora mengetuk pintu kamar putranya, kemudian ia memutar gagang pintu tersebut dan membukanya. Terlihat sosok Rayden yang sedang duduk meringkuk di atas tempat tidurnya. Wajahnya terbenam di antara kedua lututnya. Amora menghela napas pelan. Ia pun menghampiri putranya tersebut. Duduk di sisi ranjangnya, kemudian mengusap puncak kepalanya dengan lembut. “Ray, masih sakit lukanya?” Perlahan Rayden mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis. Akan tetapi, Amora tetap saja bisa melihat jika putranya itu hanya memaksakan diri untuk tersenyum saja. Ia tahu jika memar di wajah putranya itu masih terasa sakit. “Maafkan Mama yang sudah melibatkanmu dalam masa lalu yang telah Mama perbuat, Ray,” cicit Amora dengan suara yang terdengar pilu. Rayden menggeleng. “Ini tidak sakit kok, Ma. Ray hanya mengantuk saja,” dalihnya berbohong lagi. Amora mengulum senyumnya. Ia menangkup wajah putranya tersebut dan berkata, “Kamu boleh bersandar pada Mama dan menangis, Ray. Mama ak