Gedung Perkantoran Royal Dragon.Regis melangkah dengan cepat memasuki ruang kerjanya. Ia menghempaskan tubuhnya di atas kursi kebesarannya. Seperti biasanya, wajahnya terlihat dingin tanpa ekspresi.Setelah membatalkan seluruh kencan butanya hari ini, Regis memilih untuk kembali ke kantor.Mark tidak mengikutinya kembali karena harus mencari beberapa informasi terkait yang dibutuhkan Regis.Regis menekan tombol interkomnya dan menekan satu nomor yang terhubung langsung ke extention milik sekretarisnya, Monica Grant.“Bawakan seluruh data donasi yang saya minta kemarin!” titah Regis kepada sekretarisnya tersebut.Tanpa menunggu jawaban dari seberang interkom tersebut, Regis langsung memutuskan sambungan interkom tersebut. Tidak berapa lama kemudian, suara ketukan terdengar dari balik pintu ruangan kerjanya itu.“Masuk!” seru Regis tanpa menoleh. Ia sedang memainkan gawai di tangannya.Monica Grant melangkah masuk dengan penuh kewaspadaan. Ia sangat jarang berhubungan langsung dengan a
“Apa kamu benar mau kembali ke rumahmu lagi, Amora?” Emma Adams menatap Amora yang sedang membereskan beberapa barang pribadinya ke dalam koper. Wanita paruh baya itu berusaha membujuk Amora agar tetap tinggal bersamanya. Satu minggu sudah berlalu sejak peristiwa ancaman yang dilakukan oleh para pelaku yang tidak dikenal. Sudah satu minggu pula Amora dan putranya tinggal di kediaman Emma Adams. Siang ini Amora memutuskan untuk kembali ke rumahnya sendiri. Ia tidak ingin terus merepotkan wanita paruh baya itu. Meskipun Emma tidak merasa direpotkan sedikit pun, tetapi Amora tetap tidak ingin hidup bergantungan dengan wanita paruh baya itu. Apalagi ia mendengar jika putra Emma akan datang menemui Emma akhir pekan nanti. Sebagai seseorang yang tidak memiliki hubungan darah dengan wanita paruh baya itu, Amora merasa tidak nyaman apabila nanti putra Emma bertanya tentang keberadaannya di rumah itu. Ia berpikir lebih baik jika ia memang meninggalkan rumah wanita paruh baya itu hari ini.
Suara bel yang berbunyi di seluruh penjuru Sekolah Internasional Marionette merupakan hal yang paling dinantikan oleh semua siswa sekolah tersebut. Beberapa deret mobil mewah telah berbaris rapi di depan pintu masuk gedung sekolah itu untuk menjemput pulangnya para siswa-siswi berstatus elit.Hari ini seluruh siswa tersebut pulang lebih awal karena baru saja menyelesaikan ujian pertengahan semester sehingga tidak mengherankan apabila lahan parkiran menjadi sangat padat dibandingkan hari-hari biasanya.Terlihat sosok Mark Carter yang sedang berdiri di depan pintu masuk tersebut. Manik matanya memandang dengan awas ke beberapa wajah siswa-siswi yang satu per satu mulai keluar dari dalam gedung sekolah tersebut.Pandangannya pun terhenti pada sosok seorang gadis remaja yang sedang tertawa dan bercanda ria dengan teman-teman di sekelilingnya.“Nona,” sapa Mark ketika tatapan mereka saling beradu.Senyuman di wajah Alicia Lorenzo langsung memudar. Langkahnya perlahan terhenti dan menatap t
Seulas senyuman penuh makna terukir di bibir Alicia. Netra birunya yang menawan tampak berbinar saat membaca pesan masuk di dalam gawainya.Pesan tersebut berasal dari Amora yang sudah dikirimkan sekitar lima belas menit yang lalu, tetapi Alicia baru saja membukanya. Ia pun membalas pesan tersebut dengan cepat.[Tunggu saja. Saya sudah di jalan.]Tentu saja Alicia berbohong. Ia baru saja melewati kafe tempat pertemuan mereka dan tidak meminta Mark ataupun kakaknya untuk mengantarkannya ke sana sebentar.Tidak berapa lama pesan Alicia mendapat balasan kembali.[Apa masih lama, Nona? Saya masih ada urusan lain.]Bibir Alicia berdecak sebal. Ia tampak berpikir keras sejenak, kemudian kembali mengetikkan balasan kepada wanita tersebut.[Tunggu saja. Awas saja kalau sampai saya ke sana dan kamu tidak ada di sana!]Seringai licik terbit di sudut bibir Alicia. Ia sangat puas dengan balasan yang dikirimkannya. Ia yakin wanita yang sedang menunggunya itu tidak akan pergi sebelum dia tiba di sa
“Aku juga tidak tahu,” jawab Alicia. Netra elang Regis langsung menghunus kepada sang adik dengan tajam. “Kamu tidak tahu?” Gadis itu pun memutar bola matanya dengan malas. Ia langsung menyambar gawainya dari tangan sang kakak dan berkata, “Benar-benar menyebalkan! Apa aku sudah tidak ada privasi apa pun, huh?” Protes yang diajukan Alicia tidak digubris oleh Regis. “Aku sudah mau menginjak 18 tahun, Kak. Jangan terus menganggapku seperti anak kecil!” lanjut Alicia dengan wajah yang ditekuk masam. “Masih dua bulan lagi,” ucap Regis membalikkan ucapan sang adik tadi. Alicia mendengkus kesal. Tidak ada niatnya untuk menjelaskan tentang hal yang sedang dilakukannya kepada kakaknya itu. Sudut bibir gadis itu ditekuk masam. Ia hanya memandang layar gawainya untuk mengalihkan pandangannya dari kakaknya.Kedua alis Regis pun bertaut. “Kamu tidak sedang berpacaran dengan seorang perempuan kan, Alicia?” selidik Regis dengan ragu. Khawatir jika sang adik malah memiliki perilaku menyimpan
“Dia adalah Johanes Brown, suami saya.” Seorang wanita muda dengan penampilan yang cukup ‘wah’ dan terkesan terlalu terbuka karena belahan dadanya tampak menantang tersebut, tiba-tiba saja ikut menyela dalam pembicaraan dan menjelaskan sosok pria yang sedang berdiri di sampingnya saat ini. Wanita itu adalah Lisa Taylor, ibu dari Benjamin Brown yang sempat berseteru dengan Amora waktu itu. Ia memperkenalkan suaminya dengan bangga dan tersenyum dengan genitnya untuk menunjukkan ketertarikannya kepada Regis. Kening Johanes mengernyit. Wajahnya tampak sedikit ditekuk dengan tingkah aneh istrinya yang dinilai terlalu centil. “Tuan Brown adalah wakil saya, Tuan Muda Lorenzo,” terang Larry dengan senyuman yang masih sumringah di wajahnya. “Ayah saya adalah David Brown. Anda pasti mengenalnya karena ayah saya pernah bertemu dengan Anda di beberapa pertemuan,” sahut Johanes dengan penuh percaya diri. Namun, Regis tidak menanggapi. Ia hanya memberikan lirikan tajamnya kepada Larry. Membuat
Larry sangat terkejut dengan penuturan Regis mengenai siswa mereka yang hilang tanpa mereka ketahui. Ia kembali menatap asistennya dan bertanya dengan nada sedikit membentak, “Nona Smith, apa Anda tadi tidak melihatnya dengan jelas?”Eva terlonjak kaget. Ia meremas kedua tangannya dengan gugup. Wajahnya terlihat pias seperti kertas putih tak bernoda. “Tadi … tadi memang ada satu anak yang keluar. Katanya dia sedang tidak enak badan, jadi dia meminta izin untuk ke kamar kecil. Saya pikir dia tidak ingin menerima beasiswa itu karena orang tuanya juga tidak hadir di sini,” jawab Eva dengan waswas.Regis mengangkat satu alisnya. Ia memang tidak melihat sosok Amora di dalam ruangan itu. Padahal ia sangat berharap dapat bertemu kedua orang tersebut saat dalam perjalanan menuju ke sekolah tadi. Harapannya itu langsung sirna karena kelalaian para penanggung jawab sekolah tersebut.Regis merasa ada sesuatu hal yang tidak beres terjadi terhadap Amora dan Rayden. Ia merasa ada seseorang yang
Larry menatap anak laki-laki yang masih tersenyum cemerlang di hadapan Regis itu dengan nanar.“Siapa nama anak ini?”Larry bertanya kepada asistennya, Eva Smith mengenai anak laki-laki yang sudah berani memanggil Regis dengan sebutan “Paman Iron Man”. Ia benar-benar syok dan juga merasa malu karena memperlihatkan sesuatu hal yang tidak sepatutnya kepada tamu agungnya tersebut.“Namanya Rayden Lysander, siswa kelas satu,” jawab Eva dengan nada berbisik.“Ehem, Rayden Lysander,” panggil Larry kepada anak laki-laki itu.Perhatian Rayden pun beralih dari Regis kepada pria paruh baya tersebut. Kedua netranya mengerjap dengan bingung.“Apa yang sudah kamu katakan tadi? Apa kamu tidak diajarkan tata krama oleh orang tuamu bagaimana cara menyapa orang lain?” tanya Larry yang langsung menghakimi anak laki-laki itu.Seulas senyuman di wajah Rayden perlahan memudar. Kedua binar di bola matanya ikut meredup. Ia tidak menjawab pertanyaan tersebut karena khawatir jawabannya akan memicu desas-desus