"Tidak," batinnya. "Aku tidak mau jadi monster yang bahkan memangsa keluargaku sendiri."
Marco melepaskan gagang knop pintu. Dia mengabaikan panggilan dari Cassandra dan berbalik menuju kamar mandi. Dipenuhinya bak mandi dengan air dingin dan tanpa berpikir panjang, ia pun berendam di dalamnya.***Pagi itu Cassandra telah siap untuk berangkat kuliah. Ia membuka pintu kamarnya. Sesaat ia mematung ketika kembali teringat pada kejadian semalam.Ia teringat tentang bagaimana Marco memeluknya dan betapa panas suhu badan pamannya itu. Gadis itu menghela napas sambil menggelengkan kepalanya."Dia bukan Om Marco yang dulu. Sudahlah, dia tidak punya waktu melayani bocah seperti aku," batinnya. Dengan sedikit kesal, Cassandra menghentakkan sepatunya dan berlari turun dari lantai satu rumah tinggalnya."Pagi Non Sandra," sapa Bik Sum. "Sarapan dulu, Non. Bibik khusus bikin omelet sama daging teriyaki kesukaan Non."Tanpa sebuah jawaban, Sandra menarik kursi dan duduk di depan meja makan. Tempat itu selalu sunyi seperti setiap harinya. Tidak ada seorangpun yang akan menemaninya sarapan seperti biasanya."Pagi Den Marco."Sapaan Bik Sum sontak membuat Cassandra merasa seperti tersengat listrik. Ia terkejut mendengar nama itu disebutkan oleh sang asisten rumah tangga. Cepat-cepat gadis itu menoleh, mencari sosok yang disapa oleh Bik Sum."Pagi Bik," sapa Marco. Lelaki itu menarik kursi dan ikut duduk di depan meja makan, tepat di hadapan Cassandra.Seperti dua orang yang tak saling mengenal, keduanya membisu. Hanya sesekali mereka saling melirik sambil menebak-nebak apa yang dipikirkannya."Cepat habiskan sarapanmu kalau tidak mau terlambat," ucap Marco mengawali percakapan di antara mereka.Cassandra mengangkat wajahnya. Ia yang semula menunduk, menatap sendok dan garpunya dengan berbagai pertanyaan dalam benaknya, akhirnya memberanikan diri untuk menatap langsung wajah Marco."Memangnya kenapa?" tanya Cassandra."Aku buru-buru mau ke kantor papa kamu. Kalau kamu lama, sebaiknya kamu berangkat naik angkot," sahut Marco dingin.Cassandra nyaris tersedak mendengar kalimat itu. Ia bahkan tidak bisa mengingat kapan terakhir kali ayahnya mengantarnya ke sekolah. Selama ini hanya Pak Rizal, supir keluarganya yang selalu mengantarkan kemanapun dia inginkan."Kalau buru-buru, Om pake mobil papa aja.""Non, anu …. Pak Rizal lagi pulang kampung. Istrinya sakit parah," terang Bik Sum. "Jadi ….""Ya udah, kita berangkat sekarang," sahut Sandra. Diletakkannya sendok dan garpunya ke atas meja."Tapi Non, Non Sandra belum makan sarapannya.""Udah nggak selera Bik." Cassandra meraih ranselnya dan segera berlalu dari ruang makan keluarganya.Marco mengangkat satu tangannya, memberikan perintah agar Bik Sum yang berniat mengejar Sandra, berhenti memaksa Cassandra menyelesaikan sarapannya. Ia tahu dengan pasti bahwa gadis itu sedang mengungkapkan kemarahannya padanya."Sudah, biarkan saja. Dia sudah dewasa, nanti kalau lapar juga dia akan makan, Bik," ucapnya menenangkan hati Bik Sum."Bibik cuma kasihan sama Non Sandra. Selama ini dia selalu kesepian. Bibik berharap semoga dengan kehadiran Den Marco, dia nggak kesepian lagi seperti dulu."Marco tersenyum kecut. Seandainya saja Bik Sum tahu bahwa justru dia ingin sekali menghindari keponakannya itu. Seandainya saja Bik Sum tahu perasaannya terhadap Cassandra, tentu dia tidak akan mengharapkan kehadirannya lagi.Sepanjang perjalan ke sekolah, Cassandra hanya diam. Ia hanya menatap jalanan tanpa mempedulikan Marco yang berada di sisinya. Sesekali ia menghela napas dengan berat."Kamu beneran nggak mau bicara sama Om?" tanya Marco membuka percakapan di antara mereka.Cassandra diam, ia sama sekali tak ingin menjawab. Justru tangannya menekan tombol audio musik di mobilnya. Lalu kembali menatap ke luar jendela.Marco mengecilkan volume suara musik yang keluar dari audio mobil itu. "Sandra, kalau kamu diam, Om nggak akan tahu apa masalahmu," tegur Marco.Sandra menoleh, dengan bibir mengerucut, gadis itu kembali meraih tombol untuk mengeraskan musiknya. Tapi tangan Marco jauh lebih gesit. Lelaki itu berhasil menangkap dan menahan tangan Sandra.Sandra segera menarik tangannya.Marco merasa bahwa hal ini akan menjadi bom waktu baginya jika kesalahpahaman ini tidak segera diselesaikan. Ia melirik ke jam di dashboard mobil, masih ada waktu. Marco segera menepikan kendaraannya."Om seharusnya minta maaf! Kemarin Om pergi tanpa pamit, aku sudah maafkan tanpa Om minta. Lalu Om pulang marah-marah nggak jelas. Itupun sudah kumaafkan. Tapi kenapa Om begitu jahat," ucap Sandra, sepasang matanya mulai berkaca-kaca. "Aku cuma nggak ingin Om sakit! Om nggak bakal tahu gimana cemasnya aku semalaman! Aku nggak bisa tidur hanya gara-gara tak tahu bagaimana cara menolong Om!"Marco menelan kasar salivanya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Sandra akan begitu cemas. Tapi tidak mungkin pula mengatakan bahwa ia takut akan menyakitinya di bawah pengaruh obat itu.Ia juga tak mungkin menceritakan bahwa ia harus berendam semalaman di dalam bak berisi air dingin itu. Dan apa yang sudah dilakukannya semalam adalah satu-satunya cara yang tepat untuk menghindari hal yang tak diinginkan."Maaf! Om janji, hal itu nggak bakal terulang lagi," ucap Marco. Ia harus segera mengakhiri pertengkaran ini sebelum rumah tinggalnya saat ini berubah menjadi neraka."Tapi … bagaimana kalau hal seperti ini kembali terulang? Ah … mungkin sebaiknya aku mencari wanita di luar sana, bukan pulang seperti kemarin," batin Marco."Sungguh?" Cassandra menatapnya dengan penuh harap. "Om harus janji, Om akan biarkan Cassandra merawat Om saat Om sakit! Dan sebagai pasien, Om harus patuh."“Iya. Baik Bu dokter,” sahut Marco kemudian.Cassandra mengusap matanya. Kali ini seulas senyuman terlihat di sudut bibirnya. Ia telah memberikan sebuah jawaban atas permintaan maaf itu.“Nah … gitu kan jauh lebih cantik,” puji Marco. “Senyum kamu itu jauh lebih manis jika dibandingkan dengan gula apalagi pemanis buatan.”Mendengar kalimat pujian itu, hati Cassandra bagai terbang ke langit ketujuh. Dia kerap kali mendapatkan pujian cantik dari kawan seumurannya, tapi itu tak berarti baginya. Sama sekali berbeda dengan apa yang dirasakannya saat ini. Om Marco terlihat matang dan lebih menantang dibandingkan kawan sebayanya.“Aku belum bilang kalau aku bisa memaafkan Om.” Ucapan Cassandra membuat kening Marco berkerut. Ditambah lagi dengan gerakan jari telunjuk Cassandra yang seolah memintanya untuk bergerak mendekat padanya. Permainan apa lagi yang hendak dibuat oleh gadis ini“Sini, aku kasih tahu apa yang harus Om lakuin agar bisa mendapatkan maafku,” ucapnya.Seperti dihipnotis, Marco mendekatkan wajahnya, seakan menunggu kalimat berisi sejumlah permintaan terlontar dari bibirnya yang basah dan merona itu.Tapi Cassandra justru tidak mengatakan satu katapun. Gadis itu menatap sepasang manik hitam Marco dan mendekatkan wajahnya hingga hanya menyisakan jarak beberapa senti saja.“Dengan ini, aku memaafkan Om Marco,” ucapnya.Gadis itu semakin merapatkan wajahnya, menghapus jarak diantara mereka dengan sebuah ciuman.Ciuman itu mendarat di bibir Marco. Walau hanya beberapa detik saja, serangan mendadak itu mampu membuat jantung Marco berdetak dengan kencang. Pembuluh darahnya seakan terpompa dengan cepat menghantam katup-katup jantungnya. Sebuah perasaan yang selama ini belum pernah dirasakannya sepanjang hidupnya, dengan perempuan lain yang pernah disentuhnya. Cassandra benar-benar sudah berhasil mempermainkan hatinya. Marco terpaku. Sepasang matanya menatap Cassandra tak berkedip. Waktu seakan berhenti baginya. Wajah merona gadis di hadapannya terlihat begitu menggodanya. Cassandra merasa kikuk setelah berhasil dengan serangannya. Apalagi tatapan mata Marco, membuatnya semakin merasa malu. Wajahnya terasa memanas, seolah aliran darahnya menjadi sangat lancar. "Sandra, kamu nggak boleh melakukan hal seperti itu," ucap Marco setelah kesadarannya pulih. "Apalagi dengan sembarang pria. Kamu –" Sekali lagi Cassandra mendaratkan ciumannya, membungkam kalimat bernada tinggi yang hendak diluncurkan
Zissy menyeka bibir neneknya setelah suapan terakhir tuntas diberikannya. Perempuan berusia delapan puluhan itu masih mencecap makanan yang tersisa dengan giginya yang hanya beberapa saja. “Enak, Oma? Nanti malam mau dimasakin apa?” tanya Zissy dengan senyum lembutnya. “Terserah kamu. Oma makan apapun yang kamu masak. Semua masakan buatanmu enak,” sahut si nenek.“Ya sudah, sekarang Oma mau ngapain?” tanya Zissy. Ia bersiap untuk membantu memposisikan wanita tua itu.“Mau rebahan,” sahutnya, tak terlalu jelas karena jumlah giginya yang nyaris habis. “Kok rebahan, Oma? Apa nggak capek terus rebahan?" tanyanya pada wanita yang telah membesarkannya itu.Belum sempat sang nenek memberikan jawaban, ia dikejutkan oleh suara ketukan di pintu rumahnya. “Tidak biasanya ada tamu,” gumamnya. Ia bergegas meninggalkan perempuan tua itu untuk membuka pintu rumahnya. Namun betapa terkejutnya ia ketika melihat Marco, mantan kekasihnya berdiri tepat di depan pintu. Sejenak keduanya membisu dan sa
"Teman!" "Ah masa cuma teman? Beneran cuma teman?" tanya Cassandra. "Iya, dia teman lama Om.""Cie … teman apa teman?" Marco membelokkan kendaraannya dan berhenti di taman dekat gerbang perumahan. Setelah memarkir mobilnya, ia menatap Cassandra dengan wajah penuh pertanyaan."Jadi kamu bisa berpikir kalau Om dan Bu Zissy mempunyai hubungan lebih dari teman?" tanyanya. "Dan kalau memang hubungan kami lebih dari sekedar teman, salahnya dimana?""Iya sih, nggak ada yang salah," sahut Cassandra. "Tapi …."Cassandra menghentikan kalimatnya. Ia ragu untuk menyatakan perasaannya. Ia tidak suka jika Om Marco mempunyai hubungan dengan dosen yang se-menyebalkan Bu Zissy. "Tapi kenapa? Bu Zissy cantik, apa tidak cocok dengan Om kamu yang ganteng ini?" "Siapa bilang Om ganteng?""Bu Zissy," sahut Marco dengan cepat. Sepasang mata Cassand
Marco menelan kasar salivanya saat Cassandra dengan suara centilnya mulai melancarkan jurus rayuan mautnya. Ditambah lagi dengan bibir sexynya yang mencebik manja, membuat Marco menjadi semakin salah tingkah.“Ayolah Om, bantuin Sandra dong,” rayunya sembari mengayun-ayunkan tangan Marco dengan manja.Gerakan tangan yang menghentak-hentak itu membuat gumpalan lemak nan indah di dadanya ikut terguncang. Marco menghela napas, seolah ia dapat mengusir pikiran kotornya dengan oksigen yang mengalir dalam pembuluh darahnya.“Sandra,” panggilnya dengan lembut. “Om bahkan belum pakai baju. Jangan asal main tarik saja.”“Abisnya … Sandra bingung, udah malem gini, tapi masih nggak tau harus nulis apa.” “Ya udah, Om mau pakai baju dulu,” kesal Marco. Lelaki itu hendak melangkah meninggalkan keponakannya. Cassandra merentangkan tangannya, ia menghalangi langkah pamannya keluar dari kamarnya. Wajahnya merengut
Dengan gerakan perlahan dan senyum yang menggoda, gadis itu melepaskan satu demi satu manik kancing pakaian Marco. Marco berusaha berteriak dan mengusirnya pergi. Namun lidahnya kelu. Bukan saja lidahnya, tapi tubuhnya juga seakan lumpuh. Hanya sesuatu di pangkal pahanya yang terasa hidup dan semakin mengeras.“Om Marco cinta Sandra, kan? Jadi … Sandra mau kasih hadiah buat Om malam ini.”Jemari lentik gadis itu akhirnya berhasil membebaskan sesuatu yang mulai sesak di dalam celananya. Marco kembali melihat senyuman di bibir gadis itu. “Ah ….” erangnya saat merasakan sentuhan di bagian paling pribadi miliknya. Marco berusaha bergerak, angkat suara. Tapi ia tak bisa. Suara yang terdengar hanyalah erangan dan napasnya yang semakin memburu. Sandra mulai menimang bagian tubuh Marco yang mulai mengeras itu dengan lembut. Namun semakin lama pijatan itu berubah menjadi semakin agresif. Ma
“Tentu saja tidak,” sahut Marco dengan yakin. Lelaki itu menghentikan kendaraannya tepat di pinggir trotoar fakultas sastra. “Om sudah lelah berpetualang.”Mendengar jawaban itu, tiba-tiba saja seulas senyuman terbit di bibir Cassandra. Ia melambaikan tangannya pada Marco. “Om sini deh, aku mau ngomong sesuatu.” Marco mengerutkan keningnya sekali lagi. “Ngomong aja. Kita cuman berdua di sini.” “Ssst ….” Sandra meletakkan jari telunjuknya di atas bibirnya. “Sandra nggak mau kursi, kaca atau apapun di mobil ini mendengar ucapan Sandra.”“Memang kamu mau bilang apa?” tanya Marco sembari mencondongkan tubuhnya. Tepat saat itu gadis itu mengecup bibir Marco. “Terima kasih jawabannya. Sandra tau, Om nggak bakal mempermainkan Sandra.”Marco terpaku, bahkan saat kehangatan itu kembali menyentuh bibirnya. Tubuhnya seakan membeku, tak bisa menolak ciuman yang tiba-tiba mendarat begitu saja.
“Sandra, apa yang kamu lakukan?” Teriakan itu sontak membuat Cassandra mematung. Jemari tangannya berhenti melepaskan manik kancing kemeja yang dipakainya. “Kenapa Om? Bukannya Om Marco sudah biasa melihatku dengan tanktop di rumah,” protes Cassandra. “Tapi … apa kamu nggak malu kalau semua pekerja papa kamu ngeliatin kamu?” “Ish! Mana? Siapa? Ibu Niken maksud Om?” Cassandra tertawa kecil. “Cassandra Armeta! Sebagai adik papa kamu, Om ingatkan bahwa kamu sudah dewasa! Kamu bukan anak kecil lagi,” hardik Marco. “Bersikaplah bijak layaknya perempuan dewasa.” Marco merasa sangat kesal. Bagaimana bisa dirinya membiarkan pria lain menatap tubuh sexy Cassandra. Membayangkan tatapan penuh damba pria lain pada keponakannya itu saja, sudah cukup membangkitkan emosinya. Di lain pihak, Cassandra terkejut mendengar teguran dari pamannya. Baginya teguran itu cukup menjatuhkan harga dirinya. T
Marco menghela napas, mencoba mengusir emosi yang tiba-tiba muncul di dalam hatinya. “Bagus. Sekarang sebaiknya kamu pulang untuk menemui kekasihmu itu,” sahut Marco setelah berhasil mengatasi rasa emosinya. Lelaki itu meletakkan kedua tangannya ke atas pundak keponakannya dan memutarnya hingga menghadap ke pintu. Namun saat Marco membuka pintu, Cassandra justru memanfaatkan kelengahannya. Gadis itu berputar, berjinjit dan mendaratkan kecupan di bibir Marco. Jantung Marco berdetak dengan kencang saat bibir lembab nan lembut itu menyentuh bibirnya. Pikiran dan hatinya saling bertentangan. Otaknya memerintahkan untuk melepaskan Cassandra, namun hatinya tak dapat merelakan perasaan indah ini. Cassandra terlalu indah untuk dilepaskan. Bahkan jika ini adalah mimpi, ia tak ingin terbangun lagi. “Cassandra.” Gadis itu kembali melingkarkan kedua tangannya di pinggang Marco. Ia bahkan meletakkan kepalanya di dada bidang pamannya. “Aku sudah berada di depannya. Lalu untuk apa aku pergi,”