“Aku tidak euhmp….” Reynard melumat bibir Eleanor begitu intens, menahan kepala belakang wanita cantik itu. “Percaya padaku, Lea. Aku serius denganmu…” Ucapnya lirih begitu melepaskan ciumannya. Reynard menyandarkan keningnya di pundak Eleanor. Suara napas mereka terdengar begitu berat akibat ciuman intens yang baru saja terjadi. “Don’t go please…” gumamnya lagi. Eleanor tersenyum mendengar ucapan Reynard, yah… dia hanya ingin mendengarnya langsung kesungguhan hati Reynard. Sebagaimana layaknya seorang wanita. Mereka hanya butuh sebuah pengakuan untuk menjadi pegangan mereka kedepannya. Begitu juga dengan Eleanor, apalagi dia sendiri tahu bagaimana pria yang ia cintai ini sejak dulu mencintai Emily, sahabatnya itu. Tapi seperti itulah cinta, penuh misteri yang kadang tidak membutuhkan logika. Wanita cantik itu memeluk dan mengusap kepala belakang Reynard dengan lembut “Terima kasih, Rey.” Ucapnya pelan. “Dan aku tidak pernah mengatakan kamu pria berengsek, jadi jangan berkata
Pria tampan itu menyisipkan anak rambut Eleanor ke belakang telinganya, Reynard terdiam beberapa saat dan berkata, “Eleanor, maukah kamu menjadi kekasihku?” Eleanor tersipu dan tersenyum lembut, “Tentu saja, Rey.” Reynard menekan kepala belakang Eleanor , membuat wajah mereka tak berjarak. Reynard kembali melumat bibir kekasihnya itu dengan lembut. Di sesapnya bibir bawah Eleanor, dan wanita cantik itu membalasnya dengan melumat bibir atas Reynard. Mereka berciuman dan saling melumat cukup lama. Suara decapan dan desahan kecil terdengar semakin menuntut, Reynar melepaskan lumatannya dan berkata. “Apa ada cara mencegahmu pergi, sayang?” Eleanor menaikkan tangannya dan membersihkan sudut bibir Reynard, “Hmm, sepertinya tidak bisa karena kalau Ayah sudah menyuruhku pergi, artinya aku harus pergi.” “Ok, ini juga akan menjadi ajang pembuktianku ke Uncle dan Ayah bahwa aku serius denganmu.” Ujar Reynard tegas. “Ududuhhh… Yang lagi serius nih…” Eleanor menggoda kekasih itu. “Sayanggg…
Jam dua siang, Emily terbangun dari tidurnya. Setelah keliling rumah tadi, ia dan Arion memilih istirahat sejenak, dan akhirnya mereka tertidur pulas.Dan saat ia membuka mata, ia tidak melihat Arion di sampingnya. “Yon?” panggilnya. Tapi taka da sahutan dari suaminya itu.Ia bangun dan menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, matanya mulai meneliti ruangan yang terasa asing baginya.Matanya menyipit, rasa takut mulai menyeruak ke dalam dirinya, “Sayang!!” Emily kembali memanggil Arion.“Yon?? Kamu dimana? Jawab aku!”Emily bersandar di headboard ranjang, dan terus memanggil nama suaminya itu. Dan saat ia hendak turun dari ranjang terdengar pintu terbuka, dan hal itu membuat Emily bernapas lega, “Kamu dari mana say—”Kedua bola mata Emily membelalak, nafas terasa berhenti melihat sosok yang baru saja masuk ke dalam kamar dan melangkah semakin dekat dengannya, “Ra… Raul! Ba… bagaimana bisa kamu disini!”“Hai Emily sayang, kamu sudah bangun?”“Pergi! Pergi! Di mana Arion? Di mana suam
Kurang lebih sudah satu jam Cecilia berada di dalam ruangan Ayahnya—Kenan. “Apa masih ada yang kamu perlukan, sayang?” tanya Kenan lembut kepada putrinya itu.Cecilia berdehem, “Apa Ayah yakin Lea pergi denganku? Lalu bagaimana si Rey?”Kenan menangangguk pelan, “Iya sayang, Ayah dan Ibumu ingin adik laki-lakimu itu bertanggung jawab dan kami ingin melihat keseriusannya.”“Apa Cecilia tahu untuk apa dia dikirim?”“Tidak, uncle Max mu hanya mengatakan jika Lea harus membuka salah satu cabang di sana, dan kamu yang akan mendampinginya. Jadi Ayah minta bantuanmu, hmm?” tanya Kenan dengan lembut.“Baiklah kalau itu keinginan Ayah.” Ucap Cecilia, dia melihat jam tangannya, “Pasti dia sudah pulang ‘kan? Tidak mungkin dia menunggu karena aku sudah terlalu lama di sini.” Batinnya.“Ada apa, Cil?” tanya Kenan yang melihat putrinya itu gelisah. Kenan yang merawat Cecilia sejak berusia dua tahun sangat mengenal putri kesayangannya itu.Ia menyayangi Cecilia layaknya anak kandungnya sendiri. Bahk
“Jadi?” tanya Felix yang melihat Cecilia masih berdiam diri.“Uhm, baiklah, aku ingin pergi ke sebuah toko minuman. Aku sempat melihatnya di insta, dan membuatku penasaran ingin mencoba begitu tiba di Berlin.”Felix tersenyum, “Katakan di mana?”Cecilia mengatakan nama Brand Coffe Shop tersebut dan arah jualannya, “Tapi sepertinya dis ana sangat ramai, aku tidak tahan kalau harus menunggu lama," ucap Cecilia dengan nada polos, “Apa gak usah, Fel.”“Hmm, aku sudah tahu yang kamu maksud, dan tidak perlu khawatir. Biar aku yang turun, kamu tunggu saja di mobil.” Ujar Felix dan melajukan kendaraannya.Setelah menempuh perjalanan yang cukup padat karena bersamaan dengan waktu jam sibuk, kurang lebih tiga puluh menit akhirnya mereka tiba di Coffee Shop yang Cecilia maksudkan. “Apa ini?” tanya Felix dan adiangguki oleh Cecilia.“Iya,”“Kamu mau yang mana? Kirim nama minumannya ke pesan chat biar gak salah.”Cecilia tersenyum canggung, “Ah itu, aku gak tahu Fel. Sorry.”“Ya sudah tunggu di s
Cecilia melangkah lebih dulu menghampiri pria yang ada di depan sana, Felix mengikuti langkah Cecilia.“Felix, kenalkan ini temanku, namanya Michael.”“Dan Michael, kenalkan teman adikku, Felix.”Michael mengulurkan tangannya kepada Felix, meskipun dada Felix saat ini rasanya ingin meledak mendengar cara Cecilia memperkenalkan dirinya, ia berusaha menahan diri. “Dari mana Cecilia mengenal pria dewasa seperti ini? Tidak mungkin pria ini teman kuliah Cecilia ‘kan?” pikiran Felix berkecamuk."Apa seperti ini selera Cecil?" Ia menerima uluran tangan pria yang bernama Michael itu.“Oh ini teman adik kamu,” seru Michael kepada Cecilia dengan santai usai berjabat tangan dengan Felix.“Hem,” jawab Cecilia singkat.“Ayo kita ke Restaurant Hello, aku sudah reservasi di atas.” Seru Michael yang ingin menarik tangan Cecilia namun dengan cepat Felix mengambil tangan Cecilia terlebih dahulu. Membuat Cecilia melihat ke arah Felix, “Sayangnya aku sudah memesan tempat lebih dulu.” Ucapnya tegas tid
“Amsterdam?” gumam ulang Felix mendengar ucapan Cecilia.“Iya, kami harus mengurus proyek baru milik Ayah.” Jawab Cecilia.“Apa ini yang membuat Reynard panik tadi siang?” batin Felix.Ia tidak dapat lagi mengatakan apa-apa untuk saat ini. Ia hanya mengangguk pelan, tanda ia mengerti.Felix ikut mendengarkan penjelasan Michael kepada Cecilia mengenai apa saja yang akan mereka lakukan begitu tiba di Amsterdam.Sedangkan Arion dan Emily saat ini tengah dalam perjalanan menuju mansion utama—Austin Harold. Arion berhasil membujuk Emily agar ikut terapi psikis untuknya, karena kejadian tadi bisa saja menjadi lebih buruk dan berbahaya bagi kesehatan janinnya.Arion sendiri ingin berbicara hal penting kepada Austin tentang keadaan keluarga Raul dan Tasha.“Semua akan baik-baik saja sayang, aku janji akan selalu mendampingimu saat terapi.” Ucap Arion lembut sembari mengecup punggung tangan istrinya itu.Emily mengangguk dan tersenyum, “Terimakasih sayang.”Ia tertunduk lemah, “Maaf sudah men
Selesai berbicara dan menghabiskan waktu bersama Bella dan Austin, Arion membawa istrinya dengan hati-hati menuju paviliun. Di perjalanan Arion yang merangkul istrinya, melihat istrinya itu terus mengulas senyum tipis, tangannya naik ke atas dan mengusap pipi Emily, “Ada apa sayang?” tanyanya lembut. Emily menoleh dan memeluk pinggang Arion dengan manja, “Aku tidak sangka Bosku yang yang selama ini aku datangi di paviliunnya menjadi suamiku.” Arion terkekeh dan memeluk balik istrinya itu, menangkup wajah cantik Emily dengan penuh cinta. “Maaf sudah membuatmu kesulitan saat itu, hmm.” Emily menggeleng pelan, “Hmmm,” Cup! Arion mengecup kening Emily, “Karena itu, aku akan menebusnya seumur hidupku dengan mencintaimu sayang.” Emily terkekeh pelan, “Aku juga hanya mencintaimu seumur hidupku!” “Yak… sayang!” Pekik Emily saat kedua kakinya sudah melayang keatas, Arion sudah menggendongnya ala bridal. Emily melingkarkan tangannya dan menciumi bibir suaminya, “Love you so much, Yon