Share

Part 15

Aku mencari keberadaan tasku, saking gugupnya aku sampai lupa meletakkan dinmana tasku. Dan ternyata tasku ada di meja depan, aku berdiri dan mengambil ponsel di dalam tas.

Berdeham sesaat untuk meredamkan kegugupan, "ehmm..ya halo Stev?"

Aku yang masih berdiri, terkesiap kaget, saat Jendra mencekal lenganku dan menarikku hingga terjerembab duduk dipangkuannya. Jendra memeluk pinggangku sehingga aku tidak bisa beranjak kemana-mana.

Berusaha fokus kembali pada panggilan Stevan, "iya habis ini kakak pulang, ini lagi siap-siap."

"Kakak perlu aku jemput gak?ini udah malem banget."

"Gak usah Stev, kakak pulang sendiri aja. Bye!"

Mematikan panggilan telepon Stevan, aku menundukkan kepala menatap kedua tangan Jendra yang melingkari pinggangku. Aku menoleh ke balik pundak dan kurasakan kepala Jendra bersandar di pundakku.

"Dra gue harus pulang udah jam 11 malem." Aku berusaha melepaskan tangan Jendra, bukannya terlepas, tangannya semakin erat melingkari pinggangku.

"Kayak gini sebentar aja, habis ini gue anterin lo pulang."

"Gak usah, gue pulang sendiri aja. Ini kan udah deket sama rumah gue."

"Udah malem, gak baik cewek pulang sendiri." Jendra menghembuskan nafas pelan, kurasakan dia mencium sekilas pundakku dan mulai melepaskan tangannya.

Aku refleks langsung berdiri dan segera mengemasi tasku yang tadi ada di meja. Berharap tadi Jendra tidak mendengarkan debaran jantungku yang kencang setelah ciuman itu.

"Seriusan gue pulang sendiri aja, gue udah biasa pulang malem sendirian, apalagi ini di kota Aare. Pasti besok jadwal lo padet, lebih baik lo istirahat aja." Ujarku lagi tidak ingin dia mengantarku pulang, bisa ramai kalau keluargaku tahu Jendra yang mengantarku pulang.

"Gue gak mungkin bisa istirahat kalau gak mastiin sendiri lo pulang ke rumah dengan selamat."

Tanpa menunggu responku lagi, Jendra menggandeng tanganku untuk keluar dari apartemennya. Aku pasrah saja, karena sudah malam dan aku malas berdebat lagi. Seperti saat kami datang tadi, mobil sudah siap di basement. Malam ini yang menjadi sopir salah satu pengawal dan juga Aldo yang masih bertugas sampai malam.

Di dalam mobil, Jendra masih menggenggam tanganku. Aku yang merasa malu dengan Aldo dan pengawalnya, berusaha melepaskan tangan kami. Aku tak ingin mereka berfikiran yang tidak-tidak tentang hubunganku dengan Jendra. Bukannya terlepas, Jendra malah mempereratnya dan melemparkan tatapan tajam sebagai bentuk protes. Lagi aku mengalah, tidak ingin memperpanjang masalah.

Selama perjalanan pulang, kami mengobrol ringan seperti biasa tanpa kecanggungan. Seolah lupa dengan ciuman kami tadi. Sebenarnya bukan lupa, aku hanya berusaha bersikap biasa saja agar suasana tidak canggung, entah perasaanku saja, atau memang Jendra bersikap seolah-olah ciuman kami tadi adalah hal yang 'lumrah' baginya.

Berhenti tepat di depan gerbang rumahku, aku pamit turun pada Jendra.

"Gue pulang dulu ya Dra, thank you untuk makan malamnya. Makasih mas Aldo dan Pak Burhan. Bye."

Keluar dari mobil, aku tidak langsung masuk, tetap di depan pagar menunggu sampai mobil berjalan. Memegang dada untuk menetralisir debaran jantung yang sejak tadi berdebar. Sikap Jendra benar-benar beda, kenapa dia tiba-tiba menciumku.

Aku tidak ingin salah sangka dengan sikap Jendra, mungkin tadi hanya terbawa suasana saja sampai Jendra menciumku. Menggelengkan kepala mengusir pikiran ngawur, aku berjalan masuk ke rumah.

Begitu masuk rumah, lampu ruangan sudah padam. Sepertinya keluargaku sudah tidur semua. Aku naik ke atas menuju kamarku, saat akan membuka pintu kamarku. Kamar yang ada diseberangku terbuka, nampak Stevan keluar dari kamarnya.

"Siapa tadi yang nganterin kakak?malam banget pulangnya." Stevan mulai mode posesifnya.

"Temen kakak, tadi diajak main sama dinner dulu mumpung lagi di kota Aare, Jarang-jarang kan kakak pulang lama."

"Hmm..besok berangkat bareng aku ga?"

"Gak kayaknya, kakak besok ke pameran dapat jatah jaga siang."

"Oke, kakak langsung tidur, udah malem ini."

"Oke, kamu juga tidur, jangan sleep call mulu sama pacar."

"Idih, jomblo sirik aja." Katanya mengejekku dan dengan cepat melarikan masuk ke dalam kamarnya untuk menghindari amukanku

"Dasar punya adek kurang aja ya sama kakaknya."

Aku hanya bisa pasrah masuk ke dalam kamar. Menaruh tas di atas meja, kamar yang sejak remaja aku tempati ini tidak terlalu besar. Hanya ada kasur ukuran queen size dengan meja nakas disampingnya, meja rias yang ada di ujung ruangan serta sofa kecil yang menghadap jendela kamar. Meskipun aku sudah bekerja di Ibukota Milton dan sesekali pulang ke kota Aare, kamarku tidak pernah berubah dan selalu bersih karena ada ART atau mama yang setiap hari membersihkannya.

Seperti biasa, setelah bepergian atau dari aktivitas luar rumah, aku akan selalu mandi. Mau itu pulangnya tengah malampun aku akan tetap mandi, karena segarnya setelah mandi akan membuat badan segar dan nyaman saat di bawa tidur. Apalagi tadi seharian dari pagi aku beraktifikas, pasti badanku lengket dengan keringat. Bergegas ke lemari untuk mengambil baju ganti dan segera meluncur ke kamar mandi. Tak sampai 10 menit, aku sudah selesai mandi dan merebahkan diri di atas kasur.

Sambil merebahkan diri di atas kasur, aku menyempatkan diri berselancar di jejaring media sosialku. Mengecek akun media sosial kantorku yang tadi siang sempat meng-upload beberapa kegiatan kami di pameran, dan tiba saat di foto slide ke-lima ada foto Jendra yang tadi sedang berkunjung di stand kami. Dan entah kenapa saat melihat foto itu, jantungku langsung bergetar teringat kejadian di apartemen kami.

Buru-buru aku menutup akun media sosialku, melempar ponselku ke kasur dan menutup wajahku bantal karena aku malu sendiri dengan diriku yang bisa-bisanya bertingkaj seperti remaja jatuh cinta saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status