Suara dering ponsel yang terdengar membuat kedua anak manusia yang masih saling berpelukan di atas ranjang itu menggeliat pelan. Naya hanya bergumam pelan, sementara Deaz sudah membuka kedua matanya terlebih dahulu.
Sadar bahwa suara itu berasal dari ponselnya, Deaz segera beranjak turun dan memungut celana panjang miliknya yang tergeletak dibawah ranjang. Mengambil ponsel di dalam saku celana dan menemukan kontak nama Tomi Sutedja dilayar ponsel genggam itu sedang memanggilnya.
Deaz segera mengangkat panggilan tersebut seraya berdiri.
"Kemana kau membawa cucuku, anak muda?"
Deaz melihat kearah Naya yang menggeliat, merubah posisi menjadi tengkurap dan kembali tidur mendengkur. Selimut yang menutupi tubuh telanjang itu melorot turun hingga ke pinggul, membuat Deaz segera berpaling, memutar tubuhnya hingga membelakangi ranjang.
Bukan apa, Deaz hanya takut khilaf lagi.
"Kakek tidak perlu khawatir. Naya ada bersamaku."
"Justru karena dia bersamamu, aku harus khawatir. Aku memintamu untuk mencari dan mengajaknya pulang, bukan malah membawanya kabur seperti ini."
Deaz menggaruk kepalanya yang mendadak gatal.
"Semalam sudah terlalu larut malam. Aku tidak mau mengganggu tidur malammu, jadi aku membawa Naya bersamaku."
"Dimana kalian sekarang?"
"Kamar."
"Kamar mana?"
"Kamar hotel."
Tidak ada lagi sahutan di seberang sana. Deaz mendadak jadi bingung. Semalam, dia berpikir tidak bagus membawa Naya pulang kerumahnya karena keadaan gadis itu yang mabuk. Kondisi kesehatan Tomi yang menurun akan semakin parah jika melihat cucu kesayangannya mabuk-mabukkan. Sementara membawanya pulang kerumahnya, jaraknya terlalu jauh ditambah semalam Naya sangat agresif terus menggodanya bahkan saat Deaz sedang menyetir sekalipun. Membawa Naya pulang ke rumah orangtuanya juga akan menjadi masalah besar Karena Ayah dan ibunya ada di rumah. Karena pertimbangan itulah, Deaz berinisiatif membawa Naya menginap di hotel ini pada akhirnya.
"Apa, gadis itu mabuk?" terdengar cemas suara di seberang sana.
"Tidak. Semalam aku menemukannya di restoran."
"Syukurlah."
Deaz meringis. Merasa bersalah karena telah berbohong. Tapi berbohong untuk kebaikan sepertinya tidak masalah.
"Deaz, dengar.... "
Hoeeekk!
"Shit!"
Deaz mengumpat sambil menutup ponselnya dengan telapak tangan. Lelaki itu menemukan Naya yang muntah tepat di kaki ranjang, berjongkok dengan tubuh telanjang.
"Itu suara ..,"
Tut. (Sambungan diputus secara sepihak).
Tanpa berpamitan pada Tomi, Deaz segera melempar ponselnya keatas ranjang dan berlari kearah Naya berada. Tanpa peringatan Deaz mengangkat tubuh telanjang itu dan segera membawanya masuk kedalam kamar mandi. Naya yang masih berada diantara ambang batas sadarnya, langsung memuntahkan isi perutnya di wastafel. Sementara Deaz kini, sedang menahan rambut gadis itu dengan kedua tangannya agar tidak mengganggu.
Deaz mengernyit sebal melihat gadis itu tersiksa kini.
"Jika tidak kuat minum, kenapa harus minum hah?" Deaz mulai mengomel.
Tubuh Naya terasa lemas. Kepalanya masih sedikit pusing. Ditambah lagi rasa nyeri di bagian bawah tubuhnya, membuat Naya oleng dan berakhir ambruk bertopang pada tubuh Deaz lagi.
"Pusing."
"Itu salahmu."
"Mual."
"Itu juga salahmu."
"Ituku sakit."
"Itu baru salahku," kata Deaz lirih.
Lelaki itu bahkan baru tersadar jika keadaan tubuh mereka masih sama-sama polos. Deaz menelan ludah berkali-kali menatap tubuh mereka melalui cermin, jejak kemerahan sekujur kulit mulus Naya membuat Deaz segera berpaling, namun suatu kesalahan karena justru yang dia lihat adalah suguhan tubuh asli Naya itu sendiri."Deaz?"
Mati-matian Deaz menahan diri. Namun, Naya malah semakin menempelkan tubuh mereka, minta di gendong.
"Apakah aku sudah hamil?"
Pertanyaan itu lagi.
Deaz geram. Diangkatnya tubuh Naya dalam gendongannya. Lalu keduanya kembali bercumbu. Deaz kembali menambahkan tanda kemerahan lain di celah tubuh Naya yang masih bersih. Matanya telah berkabut, dipenuhi nafsu. Sementara Naya, tidak perlu ditanya lagi. Gadis itu, sepertinya masih sedikit mabuk."Sekali lagi?"
"Lagi?" Naya mengerutkan kening.
"Ya. Kali ini, akan aku pastikan kamu hamil."
Seringai Deaz semakin melebar ketika Naya mengangguk.
***
Deaz membuka pintu kamar hotel, namun tidak menemukan Naya diatas kasur.
"Aaaaaa!"
Teriakan itu, membuat Deaz terkejut. Setelah meletakkan ponselnya keatas meja, Deaz segera berlari kearah kamar mandi. Membuka pintunya yang kebetulan memang tidak dikunci.
"Ada apa?!"
Naya terlihat duduk diatas closet, dress yang dikenakannya tersingkap membuat Deaz buru-buru berpaling. Meski mereka sudah sama-sama melewati adegan erotis dengan tubuh telanjang bulat, tetap saja melihat lawan jenis buang air masih terasa sangat canggung.
"Aku mau pipis."
"Lalu?"
"Itu sakit. Perih."
Deaz gelagapan. Kedua bola mata Naya terlihat berkaca-kaca, menatap lekat kearah Deaz. Tidak tahu harus berbuat apa, Deaz memutuskan untuk pergi.
"DEAZ!"
"APALAGI?!"
"Gendong."
"Memangnya, sudah selesai pipisnya?"
Naya menggeleng. "Tidak jadi, tidak mood."
Setelah membenarkan pakaiannya sendiri, Naya segera berdiri. Menjulurkan kedua tangannya kearah Deaz.
"Mau makan disini, atau keluar?"
Deaz segera meletakkan tubuh Naya dengan hati-hati. Pikirnya, ini lucu. Semalam, siapa yang terlihat begitu agresif dan sekarang kembali lagi menjadi gadis sok polos.
"Disini."
"Oke. Apa yang kau suka?"
"Aku pemakan segala."
Deaz berjalan meraih ponsel untuk memesan makanan. Lalu satu tangannya meraih gelas berisi air lemon dan memberikannya kearah Naya. Gadis itu mengernyit menatap wajah Deaz tidak mengerti.
"Untuk menetralisir kadar alkohol dalam tubuhmu. Minumlah, ini kupesan dari petugas hotel."
Naya mengambilnya dan menyesapnya sedikit.
"Asam."
Sembari menempelkan ponsel ditelinga, Deaz memutar kedua bola matanya malas. "Namanya juga, air lemon----, "Halo...,
Deaz melangkah pergi sambil memesan makanan. Naya segera meletakkan kembali gelas air lemon keatas meja dan merebahkan tubuhnya sendiri. Memeluk selimut, Naya menatap kearah langit-langit kamar hotel. Pikirannya berkelana. Mengingat-ingat semua kejadian yang telah ia alami. Semalam ia mabuk. Tapi, sedikit banyak Naya masih teringat kejadian semalam.
Mendadak, Naya meraba perutnya sendiri. Apakah berhasil. Apakah dia sudah hamil. Naya ingin bertanya pada Deaz lagi, tapi... Naya bergidik ngeri. Tidak jadi. Yang ada, Deaz akan menyentuhnya kembali.
Naya menoleh kearah pintu saat Deaz masuk lagi. Kali ini, sambil mendorong troli berisi makanan. Naya mengernyit melihat itu.
"Pesanannya sudah sampai?"
"Hm. Makan sendiri atau perlu ku suapi?"
Naya bergerak turun. Melupakan rasa sakitnya dan bergegas duduk di kursi setelah mengambil satu porsi. Deaz meletakkan ponselnya, sebelum mengambil porsi untuknya sendiri.
"Aku lapar."
"Ya. Terlihat dari caramu makan."
Deaz mengamati cara makan Naya yang berantakan. Mendengus, lalu satu tangannya terulur untuk membersihkan ujung bibir Naya yang meninggalkan sisa makanan. Melihat itu, secara reflek, Naya menjilatnya membuat Deaz melotot. Jantungnya berdesir ketika ujung lidah Naya menyenggol telunjuknya.
Deaz segera menarik tangannya lagi.
"Kenapa kamu mabuk?"
Naya melirik kearah Deaz yang mengajaknya bicara. Merasa keduanya masih terlalu asing untuk mencurahkan isi hati, Naya tidak menanggapi pertanyaan itu dan lanjut makan.
"Dan, kenapa kamu menginginkan benihku?"
Naya tersedak dan segera mengambil air minum. Kedua matanya mendelik kearah Deaz.
"Aku bukan menginginkan benihmu. Tapi, aku butuh benih laki-laki."
"Oh." Deaz merespon singkat. Naya mendadak jadi kesal sendiri, dan tanpa sadar bercerita.
"Aku tidak mau dijodohkan."
Gerakan mengunyah Deaz mendadak jadi pelan, wajahnya menatap kearah Naya penasaran.
"Kenapa?"
"Aku tidak mau menikah."
"Calon suamimu jelek?"
"Tidak tahu. Kami belum pernah bertemu."
Deaz tersenyum tipis mendengar itu.
"Jadi, kamu ingin hamil anak orang lain agar tidak dijodohkan, begitu?"
Naya meletakkan alat makannya diatas piring. "Konon katanya, calon suamiku itu berasal dari keluarga baik-baik. Mereka pasti tidak mau punya menantu yang hamil diluar nikah."
Deaz mengangguk-angguk. Kemudian ikut meletakkan alat makannya, lebih tertarik dengan obrolan mereka kali ini.
"Tapi, bagaimana jika mereka tetap mau menerimamu?"
Naya tampak berpikir.
"Aku tinggal bilang, bahwa Ayah dari bayi ini yang akan menikahiku."Deaz menaikkan satu alisnya, menggoda. "Memangnya, aku mau bertanggung jawab?"
"Itu kan, hanya alasan. Memangnya, siapa juga yang mau menikah denganmu. Tujuanku, hanya agar perjodohan itu batal."
Deaz mengangguk lagi kemudian beranjak berdiri. Meraih ponselnya dan melangkah pergi ke arah kamar mandi. Naya tidak peduli, gadis itu lanjut makan karena perutnya masih terasa lapar.
Sementara di dalam kamar mandi, Deaz sedang melakukan pembicaraan dengan seseorang.
"Ma, Naya ada bersamaku."
"Naya? Siapa? Maksudmu, Abinaya Sutedja? Cucunya Om Tomi Sutedja! Calon istrimu itu?"
"Ya. Kami sudah tidur bersama."
"A-apa! Deaz! Apa yang kamu katakan?! Kamu berbohong kan ..."
Tut. (Sambungan diputus secara sepihak).
Hari berikutnya, berjalan seperti biasa. Naya masih kerap-kali menghabiskan waktu bersama Celine dan Agatha untuk shopping maupun liburan. Seperti hari ini misalnya, setelah membeli jam tangan keluaran terbaru merk kelas dunia, ketiga gadis itu kemudian nongkrong di Brilliane Cafe. Tempat biasa mereka nongkrong hanya untuk sekedar makan dan berbincang-bincang. Tempatnya yang minimalis namun di desain dengan begitu elegan membuat siapa saja pasti betah nongkrong di tempat itu. Naya bahkan sanggup bejam-jam berada di sana hanya untuk membaca novel. Tersedia ruangan kaca privasi yang bisa mereka jadikan tempat untuk membaca. Seperti yang tengah ketiga gadis itu sewa hari ini misalnya. "Btw, Nay. Kemarin malam, habis dari club, lo pergi kemana, dah? Gue nyariin lo tapi lo ternyata udah gak ada di meja bar?" Naya sontak langsung menghentikan acara membacanya, menggeser novel di tangan dan menatap ke arah Celine kali ini. Nay
"Dua garis merah?" Naya hamil. Cklek. (Suara pintu terbuka.) Naya keluar dari dalam kamar mandi, dengan bathrobe yang membalut tubuh polosnya. Rambutnya yang basah ia gosok menggunakan handuk kecil, berjalan kearah lemari dan mengeluarkan pakaian dalam dari sana. Naya segera mengenakan benda tersebut, lalu mengambil sepasang pakaian yang akan dikenakannya hari ini, tergeletak diatas ranjang kamarnya. Semua aktifitas itu, Deaz saksikan dari balik gorden jendela. Lelaki itu bersembunyi disana, menahan keinginan untuk menerkam ibu dari calon anaknya itu. Deaz tersenyum tanpa sadar. Teringat lagi pada alat tes kehamilan yang tergeletak diatas meja nakas kamar gadis itu. Naya meletakkannya secara sembarangan. Namun, berkat itu pula, Deaz tidak perlu repot-repot mengobrak-abrik isi kamar gadis itu untuk mencarinya. Deaz sudah mendapatkan jawaban, setelah sebulan l
Naya bercermin. Mengenakan dress motif floral, Naya malam ini tampil begitu manis. Tidak lupa dia menyembunyikan testpack di balik saku dressnya jika nanti Naya membutuhkan benda tersebut sebagai senjatanya malam ini. Meskipun dirinya ingin perjodohan ini berakhir, Naya tetap peduli pada penampilannya. Bagaimana pun juga, tampil cantik adalah hal yang wajib. Tok tok tok. "Non, tamunya sudah datang." "Iya, bik." Setelah memoles liptint di bibir sebagai sentuhan terakhir. Naya segera bangun, berjalan menuju ke arah pintu. Naya menarik napas dan menganggukkan kepalanya sendiri. Menyemangati diri sendiri. Jujur saja, Naya sedikit gugup. Setelah merasa yakin, gadis itu kemudain baru mau melangkah pasti menuruni tiap anak tangga satu per satu. Bisa dia lihat sepasang orang dewasa sudah duduk disofa, berbincang dengan kakeknya layaknya keluarga. Namun, Naya sedikit bingung karena tidak menemukan lelaki
Naya menangis. Terus menangis. Tidak mau berhenti. Sementara diluar ruang rawat, Rosa tampak menggigiti kuku jari tangannya sendiri, melihat Naya yang menangis tersedu diatas brankar rumah sakit. Tomi juga sama khawatirnya. Tidak pernah dia melihat cucu kesayangannya itu terus mengalirkan air mata seperti itu. Hatinya tercubit. Merasa ngilu. Sementara Deaz tampak mondar-mandir dengan bingung. Menggaruk rambutnya sendiri, kemudian melangkah kearah sang ibu. "Ma ..." "Diam kamu." Deaz tidak jadi bicara. Rosalinda, tampaknya masih sangat marah kepadanya. Percuma. Saat ini, dialah yang dituduh sebagai tersangka. Suara pintu yang terbuka bersamaan dengan seorang dokter dan perawat yang baru saja keluar dalam ruang rawat itu, membuat Deaz bersama ketiga orang lainnya segera mendekat. "Dokter? Gimana ..," "Cucu saya. Cucu saya kenapa ....
Naya mengerjap bangun. Tubuhnya terasa lelah. Menoleh kesamping, Deaz tidak ada di sebelahnya. Beranjak bangun, Naya segera membersihkan diri lalu keluar kamar dengan celana pendek dan kemeja kebesaran milik Deaz. Gadis itu belum membawa baju ketika diboyong kemari. Rumah yang katanya milik Deaz pribadi ini, tidak terlalu besar namun rapi. Naya sepertinya akan merasa betah tinggal di rumah suaminya itu. Namun rasa lapar di perutnya, membuat Naya melangkah mencari dapur. Aroma lezat masakan tercium, dan disanalah Naya menemukan Rosalinda, ibu mertuanya tengah memasak. Naya jadi malu sendiri, menyadari jika dia bangun kesiangan sementara ibu mertuanya malah memasak untuknya. "Mama?" "Sayang? Kamu udah bangun?" Naya segera menyalami punggung tangan kanan Rosa, dan melihat apa yang sedang ibu mertuanya itu olah. "Maaf, Naya kesiangan." Rosa tersenyum ma
Naya cemberut, menunggu Deaz di dalam mobil. Sambil melipat kedua tangannya, gadis itu baru mau menoleh ketika terdengar pintu mobil yang di buka, lalu di tutup kembali ketika Deaz sudah masuk dan menempati kursi di balik kemudi. Melihat wajah memberenggut gadis itu, Deaz sontak menyentil halus bibir Naya sambil tersenyum tengil. Naya memandang kesal Deaz yang kemudian memasang sabuk pelindungnya sebelum mobil ia jalankan. Deaz menatap fokus ke depan, namun tetap melirik ke arah Naya sesekali. "Kenapa tadi lama banget? Ngomongin apa kamu sama kakek?" "Kakek cuma bilang, dia nitipin kamu ke aku buat aku jagain. Gak boleh disakitin." "Kenapa lama?" "Ada sedikit petuah tentang laki-laki." "Maksudnya?" Deaz menyeringai, "tentang bagaimana seharusnya lelaki melakukan sex yang baik dan benar terhadap perempuan hamil." kata Deaz, sambil mengedipkan satu matanya ke arah Naya. Melihat itu, sontak saja Naya langsung m
Naya merenggangkan otot tubuhnya, menatap kearah luar jendela yang menampilkan sorot terang matahari. Sudah siang. Naya bangun kesiangan lagi. Sementara di sebelahnya, Deaz sudah pergi. Naya segera beranjak turun, melangkah melewati ruang olahraga namun tidak ada Deaz di tempat itu. Begitu melangkah kearah dapur, Naya menemukan seorang wanita paruh baya yang tengah menyapu lantai. "Nyonya sudah bangun?" "Nyonya?" Naya membeo. Yang benar saja, usianya baru 19 tahun. "Panggil saja Naya, atau Non." Wanita paruh baya itu mengangguk. "Baik, Non. Sebelumnya perkenalkan. Saya pembantu yang dikirim Nyonya besar untuk membantu Non Naya mengurus rumah ini. Nama saya Samini. Panggil saja mbok Sam." Naya mengangguk. Pandangannya berputar tampak mencari-cari Deaz yang keberadaan tidak ia temukan juga ditempat ini. "Tuan muda sudah pergi ke bengkel kalau Non Naya mencarinya."
"Kayaknya, aku salah berangkat kerja sekarang. Kita butuh honeymoon." Naya menunduk malu, melihat Deaz yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi dengan rambut basah. Naya sendiri hanya duduk dan memainkan ponsel suaminya, setelah dia mandi lebih dulu. Naya mengenakan celana panjang serta jaket milik Deaz karena memang tidak memiliki baju ganti usai mandi. "Bukan honeymoon tauk." Dari posisinya berdiri, Deaz menaikkan satu alis kearah Naya, "Terus apa?" "Baby Moon." Deaz mendengus geli dan segera melompat ke kursi, bergabung dengan Naya sambil merangkul tubuh gadis itu mendekat kearahnya. Di liriknya layar ponsel miliknya yang sedang dimainkan gadisnya itu lalu tersenyum geli. Naya tengah memainkan game anak-anak. "Dasar bocah." Naya memberikan lirikan tajam untuk Deaz, namun sedetik kemudian kembali bermain. Deaz kemudian menyentuh le