“Ah, bodo amat deh. Mungkin dia lagi bosan atau PMS. Jadi kelakuannya susah ditebak. Atau lagi sensi? Makanya nggak mood sama aku,” ujar Rendra. Ada Farid yang duduk di sebelahnya. Mereka berdua duduk di atas rooftop sekolah sepulang sekolah.“Kamu nggak mau berusaha berbicara sama dia?”“Nggak berusaha gimana? Tiap hari aku samperin. Dia selalu menghindar terus.”“Datangi rumahnya, dong. Kalau perlu datangi sampai ke kamarnya. Bukannya kamu pernah ke sana?”“Jangan sembarangan kalau ngomong.”“Kenapa? Kamu sama Reti juga ....”“Itu beda. Reti cuma buat hiburan doang. Aku beneran cinta sama Ayra. Makanya aku nggak berani lakuin itu sama dia meskipun dulu dia pernah ....” Ucapan Rendra terjeda. Ia mengingat ketika Ayra bersikap gila sehabis putus dengannya waktu itu.“Pernah apa?” tanya Farid penasaran.Rendra menggeleng. “Nggak,” sahutnya membuat Farid bertambah penasaran.“Hai, Ren.” Itu Reti. Gadis tersebut berjalan mendekat. “Hai, Farid.” Reti juga menyapa Farid. Ia duduk di sebela
Sejak jemarinya mulai bergerak memijit lengan tangan Attar, mulut Ayra hanya terdiam sembari terus melaksanakan perintah lelaki tersebut. Ayra merencanakan sesuatu yang tidak pernah ia duga sebelumnya, apalagi Attar. Jika pria itu tahu, pasti akan terkejut dan mungkin melarangnya melakukan hal tersebut. Namun, tekad Ayra sudah bulat.“Kamu capek, Ay?” tanya Attar membuka matanya. Ia menatap Ayra yang duduk di sebelahnya sembari terus memijit bagian lengan tangannya yang terasa pegal.“Eum? Ng- Nggak Pak. Memangnya kenapa?” sahutnya sedikit terbata.“Dari tadi diam saja, kenapa?” Sebelah tangan Attar membenarkan anak-anak rambut milik Ayra. Ia melakukannya secara spontan dan tanpa disadari. Attar juga tidak tahu mengapa tangannya seolah bergerak sendiri. Merasa kalau dia sudah sangat dekat dengan Ayra.“Nggak apa-apa, Pak,” sahut gadis itu dengan gugup. “Saya balik ke kamar dulu. Ini sudah selesai ‘kan, Pak?” Ayra buru-buru turun dari ranjang agar terbebas dari tangan Attar yang membu
Ayra tidak menjawab pertanyaan Attar. Ia meneruskan kegiatan memasak. Menaburkan sedikit penyedap rasa. Kemudian mematikan kompor dan menempatkan hasil masakannya ke piring besar.Ayra mulai memindahkan makanan ke meja satu-persatu, sedangkan Attar yang masih duduk di tempat semula, tidak tertarik untuk membantu Ayra. Lelaki itu hanya mengamati kemana Ayra bergerak.“Ay, kamu mau ke mana?”“Besok Pak Attar akan tahu.” Ayra menjawab sembari terus memindahkan makanan yang lainnya. Sesudah itu, ia menyiapkan piring sertas gelas di meja makan.Semuanya telah siap. Ia akan membuat kesan baik di rumah tersebut. Lebih baik dari sebelumya. Sekarang Ayra mencuci tangan. Pandangan matanya hanya fokus pada atmosfer yang ia lewati.Sementara, Attar sama sekali seperti tidak Ayra hiraukan meskipun sangat sadar kalau ia tengah diperhatikan oleh pria itu.“Kamu nggak akan pergi ke tempat yang terlarang ‘kan, Ay?” tanya Attar mulai berjalan ke meja makan.“Tempat terlarang? Memangnya ada tempat terla
Setelah bersiap-siap, Ayra membawa beberapa uang dan satu tas sekolah berisi keperluan yang akan ia butuhkan nantinya. Gadis itu segera melangkah keluar dari rumah secara sembunyi-sembunyi. Beruntung saja, Attar dan Mbok Inah tidak mengetahui kepergian Ayra.Ayra mengeluarkan motor dengan perlahan. Ia berharap rencananya selangkah demi selangkah bisa berhasil sampai selesai nanti.Sekarang motor telah keluar dari gerbang, saatnya Ayra mengendarai motor tersebut menuju ke tempat yang amat ia rindukan.Sepanjang perjalanan, Ayra menangis seorang diri. Hidupnya menjadi jauh berbeda. Jauh dari kesenangan. Ia akan meninggalkan kehidupan lamanya dan berganti ke tempat yang jauh lebih lama.Setelah memakan waktu sekitar satu jam, Ayra akhirnya sampai di sebuah rumah yang sudah lama terbengkalai. Gadis itu menghentikan motor tepat di halaman rumah yang kini tampak begitu kotor dan tidak terurus.Ayra turun dari motor. Berdiri di halaman menghadap rumah lama yang kini tepat di depan matanya. “
Ayra membersihkan sarang laba-laba di dinding bagian atas hingga ke bawah. Menghilangkan debu yang menempel di beberapa benda. Setelahnya, ia menyapu dan mengepel lantai.Ruang demi ruang Ayra bersihkan dengan secepat yang ia bisa. Hingga tiba saatnya rasa lelah benar-benar menguasai tubuhnya padahal masih ada ruang tamu yang belum dibersihkan. Akan Ayra tunda karena sekarang hari sudah menjelang sore. Semua ruangan telah bersih seperti semula, kecuali ruang tamu saja.Gadis itu menyeduh teh hangat dan dibawa ke dalam kamar. Ia duduk di bingkai jendela seperti kebiasaan dulu saat menunggu ayah ibunya pulang dari kantor. Melihat ke halaman, Ayra membayangkan kedua orang tuanya datang membawa makanan untuk makan malam mereka.Air mata Ayra menetes saat memori masa lalu berputar kembali di dalam otaknya seperti kaset usang yang masih berfungsi dengan baik. Napas Ayra tersenggal. Ia menyesap teh hangat yang kini menjadi teman sorenya.Setelah menyesap minuman hangat beberapa kali, Ayra me
“Mbok, tolong bikinin minuman jahe hangat buat Ayra,” pinta Attar kepada Mbok Inah yang masih stay di dapur.“Sekalian makan malamnya nggak, Tuan?”“Iya, sekalian, Mbok. Mungkin Ayra belum makan malam.”“Baik, Tuan.”Attar mengangguk satu kali lalu pergi dari dapur. Ia harus segera mengurus Ayra yang mungkin tengah kesulitan melakukan apa-apa sendiri.Sesampainya di dalam kamar gadis itu, Attar belum melihat keberadaan Ayra di sana. Pasti masih berada di kamar mandi. Attar penasaran apakah Ayra sudah selesai atau belum. Pasalnya, Ayra sudah memakan waktu lumayan lama di dalam sana.Attar mengetuk pintu kamar mandi sambil memanggil Ayra. Tidak ada sahutan, tetapi pintu langsung terbuka dan menampakkan wajah Ayra yang begitu pucat. Membuat Attar sontak merasa cemas.“Ay, kamu pucat banget,” lontarnya meraba wajah Ayra menggunakan kedua telapak tangan. Mata Attar menatap Ayra khawatir.Sementara, Ayra yang diperlakukan seperti itu menjadi terbawa dengan perasaan. Hatinya tersentuh dan me
Ayra tengah menahan napas saat Attar mengoleskan minyak kayu putih ke leher hingga tengkuk. Membuatnya merasakan hangat dan nyaman, tetapi tangan itu sebaliknya. Membuat Ayra merasa ingin menghindar.Selang beberapa detik, Ayra mulai bernapas dengan normal dan hendak membuka mata. Akan tetapi, bibir Attar yang tiba-tiba mendarat di bibirnya sukses membuat jantungnya berdegup lebih cepat hingga ia memejamkan mata kembali dan sontak mencengkeram baju yang Attar kenakan.Ayra menerima ciuman pertamanya. Namun ia masih tidak bisa membalas. Hanya merasakan ternyata rasanya seperti itu. Lembut sekaligus mendebarkan.Attar tersadar dari perbuatannya yang diyakini jika ini salah. Ia segera melepaskan tautan ciuman mereka. Perlahan menjauh dan membuka matanya. Attar memberanikan diri untuk menatap Ayra yang kini sudah menatapnya terlebih dulu.“Ay, aku ....”“Pak Attar pergi,” ucap Ayra dengan cepat. Ia menutup kedua telinganya karena tak ingin mendengar lelaki itu meminta maaf atau mengatakan
“Mbok, Ayra kok belum turun? Ini sudah agak telat, loh,” lontar Attar saat hampir menyelesaikan sarapannya di dapur. Ia baru saja menengok jam tangan.“Non Ayra baru saja berangkat, Tuan. Saya kira dia sudah sarapan.” Mbok Inah menyahut dengan suara biasa. Ia sedang meletakkan gelas kotor di wasafel yang dibawa dari ruang tamu ke dapur.“Tumben dia nggak sarapan?” gumam Attar sedikit memiringkan kepalanya. “Apa dia canggung denganku gara-gara kejadian tadi malam? Atau jangan-jangan marah besar?” lanjutnya masih bergumam seorang diri. Sesekali Attar mengunyah makanan yang sempat terhenti karena kepikiran dengan gadis yang saat ini membuatnya merasa tidak enak.“Tuan kenapa?” tanya Mbok Inah mendengar gumamam Attar meskipun hanya sebagian kata saja.“Nggak apa-apa Mbok. Saya berangkat ke kantor dulu, ya?” Kemudian Attar segera keluar dari sana. Attar merasa bersalah atas perbuatannya yang tidak bisa dikontrol tadi malam. Akankah Ayra memaafkan dirinya?*** “Rendra? Apa-apaan?” Ayra me