✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
Pikiranku tercampur aduk gara-gara Delisa. Memangnya benar? Apa Mariam selama ini berbahaya? Semua kebaikannya selama ini hanya demi dirinya sendiri?
“Reem?” Mariam memanggilku dengan nama kedua. “Hei!”
Lamunanku membuyar. Aku waktu itu tidak mendengar ucapannya, kukira dia bertanya apakah aku mulai dekat dengan para majikanku. “Tidak.”
“Tidak apanya?” Mariam selesai melipat pakaian sementara aku yang membantunya justru ketinggalan.
Duh, malunya!
“Kalau diam terus, kapan selesainya?” Mariam terdengar kesal. “Cepat selesaikan bagianmu!”
Aku bergegas merapikan baju. Meski terkesan ala kadar, setidaknya Mariam dengan sabar mengajariku cara melipatnya dengan rapi. Memerlukan waktu lebih dari setengah jam bagiku untuk melipat. Terpaksa Mariam turun tangan.
“Malam ini, Count akan datang,” ujar Mariam. “Jaga sikap!”
“Baik.”
***Aku duduk di halaman belakang, lebih tepatnya dekat bunga ditanam. Untung si Kembar sedang belajar di kamar sehingga tidak menganggukku, untuk sementara.Malam ini, Count akan datang.
Aku jadi teringat dengan ucapan itu. Jujur saja, masa laluku hanya seputar desaku. Tidak pernah aku mendengar kabar tentang pemimpin kami, termasuk bangsawan seperti Count Wynter.
“Kamu yang bernama Reem?”
Begitu mendongak, seorang pria sedang memandangku. Ia rupanya memakai pakaian serba hitam, sama halnya dengan rambut yang disisir rapi itu. Semua serba hitam untuk lelaki ini, berbanding dengan kulitnya yang seputih salju, mungkin itulah makna di balik namanya, Wynter. Ia memegang sebuah tongkat guna menampung separuh badan. Tampaknya kaki kirinya tidak berfungsi lagi.
“Ya, Tuan,” balasku sambil berdiri untuk membungkuk.
Matanya yang hitam terus memantauku. “Dari mana asalmu?”
“Dari Shyr.” Aku memilih untuk tidak membahas desaku dulu.
“Bukan Shan?” Pertanyaan itu membuatku heran.
“Shan? Negeri apa?” tanyaku polos.
Ia tidak menjawab. “Aku Count Wynter, kebetulan butuh kamu untuk membantuku.”
Aku hendak menolak. “Kenapa ... Tidak suruh Ma–Hiwaga?” Aku nyaris kelepasan.
“Wanita itu sibuk dengan istriku,” ujarnya. “Mata tua ini tidak berfungsi baik. Aku hanya ingin meminjam matamu.”
***
Aku dibawa ke sebuah ruangan yang seluruhnya berisikan benda-benda asing. Beberapa buku dengan bahasa yang tidak kukenal, tengkorak, benda mengandung sihir, bahkan kembang asing pun ada di sana.
Majikanku mengambil sebuah catatan dengan bahasa Shyr lalu menyerahkannya kepadaku.
“Bacakan!” titahnya.
Aku pun membacanya.
“Dia pemburu sihir dan ingin menghancurkan sihir. Rambutnya bagai sutra, mata biru indah bagai samudera, kulitnya bagaikan cahaya rembulan. Ia memiliki banyak nama. Semua orang memanggilnya dengan nama berbeda. Yang pasti, dia mempunyai satu nama. Dialah ....”
Tulisannya begitu kabur sampai aku sendiri berjuang membacanya.
“Tuan, maaf, tulisan ini ditulis dalam bahasa Shyr, yang mudah dimengerti orang Aibarab. Apa Tuan tidak mengerti bahasa negeri sebelah?” tanyaku blak-blakan.
“Sudah kubilang, mataku kurang berfungsi.” Ia menjawab datar, namun aku tidak melihatnya tersinggung karena ucapanku.
Kulirik kembali kertas itu dan menyerahkannya. “Maaf, kalimat terakhir buram.”
“Baik,” ujar Count Wynter. “Terima kasih, setidaknya aku bisa lebih mudah menangkapnya.”
“Siapa?” tanyaku.
“Wanita yang telah menghancurkan negeriku.”
***
“Apa katanya?” tanya Mariam begitu aku masuk ke kamar kami. “Aku dengar kalian berduaan.”
“Dia ingin aku membacakan tulisan untuknya,” jawabku. “Mungkin matanya rabun.”
“Tulisan apa?” Mariam terdengar mulai tertarik.
Aku pun membacakan ala kadar sesuai ingatan. Tapi intinya sama, tentang wanita pemburu sihir yang memiliki banyak nama.
Mariam hanya merespons dengan dingin. “Itu saja?”
“Apa yang kauharapkan?” balasku.
“Kukira dia minta dibacakan perkamen berisikan rahasia negara, misalnya.” Mariam berpikir sejenak. “Ah, tidak mungkin.”
“Kalau perkamen rahasia, mana mungkin aku yang bacakan?” Meski tidak tahu soal politik, aku tahu pasti sebuah rahasia tidak akan terbongkar semudah itu. “Mungkin itu hanya puisi yang ditemukannya lalu minta dibacakan.”
“Kenapa dia minta kamu yang baca?” Pertanyaan yang bagus, Mariam. Aku saja tidak tahu.
Aku jawab dengan gamblang. “Beliau bilang matanya rabun.”
“Omong kosong! Dia mencoba mencari saksi palsu.” Mariam menghela napas lalu menunduk, terlihat berpikir sejenak. “Kalau begitu, jangan sampai Wynter tahu tentang nama asli kita.”
“Jadi, namaku bukan Kyara lagi?” tanyaku. “Reem selamanya?”
“Lebih baik memusingkan lawan dengan terus mengubah nama,” ujar Mariam. “Aku punya banyak nama cadangan.”
“Kalau begitu, aku ini siapa?” tanyaku.
“Reem.”
“Aku mau selalu dipanggil Kyara.”
“Terserah. Asal makhluk itu tidak tahu.”
Aku masih kurang paham kenapa dia mau mengganti nama. Bahkan setelah apa yang dilalui dan orang-orang yang kami temui, mereka juga punya kebiasaan sama, mengubah nama terus-menerus.
“Kyara,” Mariam berkata lagi. “Menjauhlah dari keluarga Wynter!”
Aku paham kenapa dia bilang begitu. Bukan hanya karena mereka penyihir, keluarga itu juga pasti disegani di negeri ini. Kalau terjadi apa-apa, kami yang jelata ini pasti dihancurkan sebelum diadili.
“Baik.”
***
“Ini sekolahnya!” Delina menggandengku ke sekolah baruku.
Bangunannya tampak sederhana, jumlah muridnya saja cukup sedikit. Mungkin karena biayanya yang melangit. Hanya para bangsawan yang bersekolah. Barangkali, aku satu-satunya rakyat jelata yang di sini.
“Kamu sekelas kami, ya,” ujar Delisa. “Aku melihatmu bakal betah di sana.”
Meski Delisa selalu memberitahu, aku tetap malas mendengar. Seharusnya masa depan itu misteri yang menyenangkan untuk dijelajah. Kalau diberi tahu sekarang, masa depan akan terasa membosankan. Meski, semua ucapannya betul-betul bakal terjadi. Bahkan hingga sekarang, ramalan Delisa masih banyak yang siap menghantuiku, apalagi perkara soal aku yang ternyata–
“Hei, jangan bengong!” Delina menarik tanganku. “Seorang bangsawan harus disiplin!”
“Aku bukan bangsawan,” balasku.
“Tapi kamu warga sekolah sini,” balasnya. “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Kalau kamu di Aibarab, bertingkahlah seperti orang Aibarab.”
Aku hanya mengiakan.
Aku terus mengiakan.
***
“Bagaimana sekolahmu?” tanya Mariam begitu aku pulang.
“Aku tidak paham,” bisikku. “Lebih baik aku hidup sepertimu.”
Mariam menatapku tajam. “Apa maksudmu? Apa karena aku menolongmu tadi? Tidak, ini perintah Khidir. Itu saja.”
“Kenapa aku?” tanyaku. “Banyak temanku yang sempat meminta tolong, tapi diabaikan.”
“Karena kamu prioritas kami,” balas Mariam datar. “Aku tidak mungkin menolong mereka yang mencoba menyentuhku!”
Dia pasti teringat dengan para pemuda yang merayunya, apalagi yang hendak menjadikan Mariam sebagai istri muda.
Tapi, kenapa ... Ibu ...
“Bagaimana dengan Ibu?” Pipi dan mataku terasa panas, apalagi jantungku berdebar ketika mengucapkan kalimat berikutnya. “Kamu malah melemparinya dengan batu! Kamu membunuhnya! Ibuku!”
“Terus apa?” Mariam balas, tidak kalah menusuknya. “Separuh badannya dimakan. Dia sendiri yang menyeretmu ke mulut makhluk terkutuk itu! Lalu maumu apa? Mau mati?”
Aku bungkam mendengar ucapannya. Benar-benar tidak disangka kalau dia bakal mengucapkannya.
“Tidak! Maksudku ... Maksudku ... Kamu bisa saja menyelamatkan Ibu,” balasku terbata-bata.
“Menyelamatkan?” beo Mariam. “Menyelamatkan katamu?! Kamu pikir dia bakal hidup tenang dengan separuh badan? Dia dengan beraninya menggali kuburannya sendiri! Coba kalau dia tidak keluar malam itu, sudah pasti kamu masih jadi anak lugu yang tidak tahu siapa kami sesungguhnya!”
Aku terdiam. Lugu katanya? Dia baru saja menghinaku?
“Kamu mau apa, Kyara?” Mariam bertanya. “Kamu mau diabaikan, begitu? Mau dimakan kadal? Begitu maumu?”
Aku tidak membalas.
“Dengar, ya.” Dengan sekali tarikan napas, Mariam melembutkan suaranya. “Kamu beruntung. Kamu hanya beruntung. Kenapa protes? Teman-temanmu pasti ingin senasib denganmu, juga ibumu.”
Aku menundukkan kepala. Tapi, Ibu tidak layak mati seperti itu!
“Semua orang bakal mati, Kyara.” Mariam berkata seakan hendak menasihati. “Aku telah ditinggalkan banyak orang, toh, biasa saja. Pesanku, jangan terlalu lengket dengan seseorang. Cepat atau lambat, mereka pasti bakal meninggalkanmu.”
“Kamu juga?” balasku.
“Aku juga.”
***
Aku teringat kejadian siang itu. Ketika hendak memasuki kastil yang disebut sekolah itu, sempat aku menoleh dan melihat sosok pria berambut putih.
Kalungku bercahaya.
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Reem ...!” Jeritan si Kembar menyakiti telingaku. Aduh, mereka lagi! “Ayo! Ayo! Sekolah!” Delina menyeretku. “Ayo, bawa tas kami!” Delisa melempar dua buah tas ke arahku. Buk! Aku menyambutnya, meski nyaris jatuh. Seberapa kuat mereka ini? “Ayo, Pelayan!” seru Delina. “Namanya Reem!” balas Delisa. “Nanti tersinggung dia!” Aduh, dua-duanya sama saja! “Ayo, Reem! Kamu makhluk hidup, ‘kan? Bisa berjalan? Ayo!” Aku ikuti arah jalan mereka. Aku teringat dengan pria berambut putih kemarin. Siapa dia? Kenapa kalungku memancarkan cahaya biru? “Reem?” Delina tampak menyadari sesuatu. “Kamu bertemu dengannya?” Dia terdengar geram. “Siapa pria berambut putih itu?” tanyaku. “Kenapa kalungku jadi bercahaya? Padahal ini hanya batu biasa.” Si Kembar saling tatap. “
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Nisma apa?!” Countess terdengar kaget mendengar kabar terbaru dari si Kembar. Mariam yang baru selesai menyapu menatap kami. Namun, tidak berkomentar. “Kalian tadi membentak Idris?” Pertanyaan itu tidak dibalas si Kembar. Countess pun mendekat dan menatap tajam si Kembar. “Siapa yang menyuruh Nisma bermain-main di depan umum?” “Nisma yang mau,” sahut Delisa. “Kami tadi hanya beli manisan,” timpal Delina. “Lalu, Reem disuruh diam di tempat.” “Kemudian Paman Idris datang.” “Lalu, entah kenapa ...” Delisa menggantung kalimatnya. “Nisma datang.” Delina menyambung. “Terus merusak suasana.” “Akhirnya terjadi kekacauan tadi.” “Maaf, Umi.” Si Kembar berkata sambil memeluk paha sang Ibu dengan suara memelas. Lalu, terdengar suara pelan Delisa. “Sepertinya Nisma mau bunuh Paman Idris.”
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aku bertemu Ariya pagi itu. “Kamu anak baru?” sapanya. “Aku Ariya~ senang berjumpa denganmu💙” Rupanya, senjata makan tuan. Dia jelas lupa apa yang terjadi, bahkan barangkali melupakan Kota Saghra. “Aku Reem,” balasku. “Kamu ingat liontin yang kemarin Arsya kasih?” tanyanya. “Aku membutuhkannya, sekarang.” Aku hendak menolak. “Aku akan membelikanmu apa pun💙” ujarnya. “Bagaimana?” Apa pun? Ariya melanjutkan. “Bahkan, kalau mau, aku bisa mengajakmu ke tempat yang ajaib💙” Kalau yang itu, aku jelas tertarik. “Baiklah, Nona.” *** “Jadi, wanita berambut putih itu yang bernama Hiwaga?” Calvacanti membiarkanku duduk di ekornya yang melingkar. Ia menawar untuk mengobrol setrlah aku menyerahkan liontin milik Arsya. Aku mengangguk. “Berhati-hatilah,” pesannya. “Kamu jangan lengah.”
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aku terbangun pada tengah malam. Entah mengapa percakapan antara majikanku dengan Mariam terus saja mengganggu batin. Mariam masih terlelap di sisiku dan mendengkur pelan. Beruntung aku juga terbiasa mendengar dengkuran Ibu dulu. Anehnya, kebiasaan ini tidak menurun padaku. Barangkali dari mendiang Ayah yang tidak pernah kujumpai. Aku langkahkan kaki ke luar rumah sambil menikmati udara malam. Pikiranku seketika tertuju pada sore itu. Ah, perdebatan. *** Wynter dengan tatapan dingin terus menginterogasi Mariam yang juga dibalasnya dengan santai. Ia tidak lepas pandangan, apalagi setiap kali Mariam menjawab pertanyaannya seakan baru saja mendengar penjelasan rumit. Sementara lawan bicaranya tidak pernah menanggapi dengan serius, yang justru menyulut bara di hati sang majikan. “Aku melihatmu terakhir bersama adikku sebelum ledakan itu,” ujar Wynter. “Aku tahu kamu siapa.” “Pangeran
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Kini jeritan membangunkan seisi kota. Hewan ternak tadi memnuhi jalan kini menjadi santapan Tentara Nisma. Ya, kurasa itu gelar yang cocok bagi kumpulan makhluk menjijikkan ini. Seekor sapi melenguh selagi disantap mentah-mentah. Mariam memacu kuda selagi jalan sedikit terbuka– Sebuah tangan menarikku. “Kyaaa!” Srek! Bruk! Aku terempas ke tanah. Bau tangan itu busuk berpadu dengan tanah yang menyelimuti tubuh mereka. “Kyara!” Kudengar Mariam menjerit, tak peduli jika kami sedang menyamar atau tidak. Tangan-tangan itu mencengkeram pakaianku. Tubuhku tidak mampu memberontak. Mereka bagai rantai yang membelenggu dan terus menyeret semakin dalam. “Mariam! Mariam!” Aku menjerit sebisanya. Mariam memacu kuda dengan kasar. Kudanya justru jatuh, bersamaan dengan Mariam yang melompat sebelum mendarat di tanah. Tak peduli
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Otosan! Otosan!” Kukerjapkan mata. Kulihat seorang gadis berambut turquoise diurai hingga pinggang, di ujungnya terdapat warna hitam. Kulitnya sawo matang, dan tubuh sedikit lebih tinggi dariku. Kulihat sosok Mariam di sisi gadis itu. Bukan. Ia seperti Mariam, tapi dalam wujud pria. Perbedaan mencolok hanya ada pada matanya, merah. Rambut agak panjang dibandingkan pria lain yang pernah kulihat, kulitnya juga putih. Ia sedang memegang sebuah bakul, tatapannya tertuju pada gadis itu. Gadis tadi kembali memanggil. “Otosan, minta!” Ia membalas dengan elusan di rambut. “Dari tadi makan terus. Pulangnya jangan makan lagi!” Senyum gadis itu memudar. “Sedikit saja.” “Ingat-ingat, Hayya.” Gadis yang dipanggil Hayya itu
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Kebun Takeshi jauh lebih menawan dibandingkan milik Count Wynter. Beragam tanaman menghiasinya, mulai dari bunga sampai pohon unik tumbuh dengan subur. Saking lebatnya sampai menutupi langit di atas kami. Dengan sinar matahari yang tertutup, membuatnya bagai hutan rimba dilengkapi suara para hewan yang saling menyahut. “Ada berapa hewan di sini?” tanyaku. “Tupai, burung, ikan hias, dan beragam hewan ternak, tapi itu peliharaan tetangga yang mampir sebentar,” balas Hayya. “Mereka dirawat dengan baik.” “Untuk dimakan?” Azya mengiakan. “Kecuali tupai. Mereka membantu menumbuhkan pohon kalau lupa tempat mengubur kacangnya. Ada juga kelelawar yang kadang menggugurkan biji buah ke tanah sehingga pohon baru akan tumbuh.” Hayya menambahkan. Aku mengamati kebun, atau lebih tepatnya hutan. Sungguh asri dan damai. Aku ingin berlama-lama di sini. Hutan di desaku tidak pernah selebat ini. Kebanyakan hanya sawah dan pertanian sederhana. Jadi ingat Ibu. Beliau rajin mer
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Petangnya, Takeshi memasak di dapur sementara aku hanya menonton. Ia tidak mau dibantu, tapi menolak ditinggal. Rupanya ia senang melihatku terkagum-kagum melihat masakannya yang menggoda.“Di Shan dulu, aku dilarang memasak,” ujar Takeshi. “Para pelayan yang memasak. Padahal aku lebih suka masakan buatanku sendiri.”“Dari mana kamu belajar?” tanyaku. “Ibumu?”“Dari Kepala Pelayan,” balas Takeshi. “Ibu tidak bisa memasak.”Ia selesai merebus makanan panjang berwarna kuning lalu meletakkannya di sebuah mangkuk berisi kuah. Ditaburinya sayur-mayur yang dipotong kecil dan sejumput garam. Belum pernah aku melihat makanan seperti itu sebelumnya.“Ini masakan favorit kami,” ujar Takeshi. “Kami menyebutnya mie. Kamu pasti pernah mendengarnya.”Aku menggeleng. “Aku hanya tahu kuah da