Setelah menunggu Aqilla berpamitan dengan ibunya, Dewo langsung melajukan mobilnya ke taman kota. Sesampainya di sana, dibiarkannya anak-anaknya bermain sepuasnya, sementara dia duduk mengamati sambil sesekali memeriksa ponselnya. Tak berapa lama kemudian, datanglah seorang pemuda berpostur tinggi kurus menghampirinya. Dewo lalu mengajaknya bergeser ke warung di dekat tempat itu. Sementara anak-anaknya masih sibuk dengan mainannya, Dewo mendengarkan dengan seksama lelaki di depannya berbicara panjang lebar. Simon adalah orang kepercayaan yang ditugaskan untuk membuntuti istrinya dua minggu belakangan, saat Dewo mulai menemukan tanda-tanda yang mencurigakan dalam diri Agnia. Di atas meja di depan mereka, tergeletak secarik kertas yang baru saja dikeluarkan Simon dari saku jaketnya."Dia teman sekelas istri Anda saat di SMP, Pak," ulang pria itu."Yang itu aku sudah tau. Kamu sudah mengatakannya waktu itu," sahut Dewo cepat."Tapi Anda belum tau kan kalau dia itu sebenarnya bukan p
Di ruang tamu, jantung Agnia pun sedang berdegup tak kalah cepat saat melihat dari jendela, suaminya yang tiba-tiba bergegas menghampiri mobil mewah yang terparkir di depan rumah mereka. Dia sudah tahu saat mobil mewah milik Narendra itu berhenti di sana beberapa saat lalu. Tentu dia masih sangat hafal dengan semua merk dan warna mobil yang pernah ditumpanginya, milik lelaki yang sempat membuat hari-harinya bahagia beberapa waktu yang lalu itu. Narendra memang tak hanya royal padanya selama ini, dia juga suka menunjukkan semua barang-barang mewahnya pada Agnia. Mungkin karena sedang begitu tergila-gila, wanita itu bahkan tak merasa terganggu sedikitpun dengan sifat suka pamer lelaki itu. "Ayo mandi, Sayang. Setelah itu ganti baju," ucapnya kemudian dengan buru-buru, menggandeng tangan Aqilla yang masih belum beranjak juga dari cerita-cerita serunya. Melihat Dewo berjalan cepat ke arah rumah dengan muka bersungut, Agnia tahu betapa besarnya kemarahan dalam diri suaminya saat itu.
[Apa kabar kamu?] Pesan di messenger itu menyambutnya saat benda pipih di depannya menyala dengan sempurna. Dengan penuh sesal, Agnia pun segera mengetikkan balasan ke akun itu.[Maaf Al, aku sepertinya melewatkan beberapa pekerjaanku. Aku agak sibuk di dunia nyata] tulis wanita itu diikuti emoticon menepuk dahi. [Aku tidak sedang menagih pekerjaanmu.] Alfa tertawa di akhir kalimatnya. [Apa kamu baik-baik saja?] tulisnya lagi saat tak ada respon dari wanita yang diajaknya berbalas chat.. [Aku baik. Jangan khawatir.] balas Agnia akhirnya.[Tapi kok aku merasa kamu lagi nggak baik ya.][Jangan sok tahu kamu, Al] Agnia mengirimkan stiker tawa lebar. [Apa kamu lagi butuh bantuan, Agnia Prameswari?]Alfa Wiradharma. Begitulah nama akrab lelaki itu di aplikasi pertemanan berwarna biru. Lelaki yang dikenalnya beberapa tahun lalu itu memang selalu sok tahu. Tapi anehnya, terkadang apa yang dia katakan sangat relate dengan yang sedang dirasakannya selama ini. Jari-jari Agnia sudah siap m
Pagi itu, seperti biasa keluarga kecil itu berkumpul untuk sarapan. Dan seperti biasa pula, Bimo hanya menikmati secangkir kopinya sambil menunggui dua putrinya selesai menghabiskan makanan mereka. Sebelah tangannya sibuk dengan ponsel dan sebelahnya lagi sebatang rokok."Nggak sarapan sekalian, Mas?" tanya Agnia ragu. Dulu pertanyaan seperti itu selalu dilontarkannya saat keempatnya sedang ada di meja makan. Meski Agnia tahu jawaban Bimo akan selalu menolak. Seingatnya, lelaki itu memang sudah jarang mau sarapan sejak beberapa tahun yang lalu. Jika tak salah ingat, mungkin saat dirinya sedang mengandung Naya. Entahlah, mungkin saat itu Dewo sudah mulai menjalin hubungan dengan wanita bernama Sri itu. Bukankah wanita itu punya warung makan yang dekat dengan kantornya?Dewo hanya melirik istrinya sekilas. Sepertinya dia kaget Agnia masih mau berbasa-basi lagi dengannya setelah apa yang terjadi di antara mereka. Sejenak lelaki itu seperti sedang berpikir. Lalu mulai menurunkan ponsel d
"Sudah Re, jangan bicara apa-apa lagi. Pergilah! Kalau suamiku pulang, kita bisa mati." Agnia mendorong keras tubuh lelaki itu. Narendra yang tak siap dengan perlawanan Agnia sedikit terhuyung ke belakang. "Apa-apaan sih?" Kekagetan itu hampir membuatnya marah. Tapi saat sadar emosinya hanya akan membuat wanita di depannya itu takut dan semakin menolaknya, Narendra langsung melembutkan tatapannya. "Kamu kenapa kasar gitu sih, Sayang?" Tangannya berusaha meraih bahu Agnia, tapi wanita itu mundur untuk menghindarinya."Pergilah, Re! Pergi atau aku akan teriak minta tolong," ancamnya. Dan ternyata itu berhasil menghentikan langkahnya mendekat. Narendra dengan hasrat yang masih menggebu terlihat sangat kesal dengan penolakan itu. Sejenak lelaki itu hanya diam mengamati wanita di depannya yang sudah bersiap untuk melawan. "Kamu benar-benar mau kita pisah?" tanyanya lagi dengan tatap mata tajam yang menghujam."Iya!" Tanpa pikir panjang, Agnia langsung menyahut. "Oke! Aku pergi! Tapi in
"Apa-apaan kamu, Mas?! Mana anak-anak?" Agnia terkejut saat siang itu tiba-tiba Dewo datang dengan penuh amarah. Lelaki itu bahkan belum sempat mematikan mesin mobilnya saat turun dari roda empatnya dan berjalan cepat ke dalam rumah. Agnia yang sempat melihat itu dari kamar tamu terhenyak. Rasa penasaran segera menyerbu saat tak dilihatnya dua putrinya bersama dengan sang suami. Belum hilang rasa penasaran, Agnia dikejutkan kembali oleh tubuh kekar Bimo yang merangsek masuk dan langsung menyeretnya ke dalam kamar. Beberapa detik kemudian, lelaki itu membanting tubuhnya di atas kasur. "Masih mau bilang kalau kamu nggak berbuat mesum di rumahku, Jal*ng?!" Wajah lelaki itu sudah terlihat merah, membuat Agnia begitu takut. Namun kalimat itu rasanya sudah cukup untuk menjelaskan penyebab lelaki itu murka. Dewo ternyata sudah tahu kedatangan Narendra beberapa jam yang lalu ke rumah mereka. "Mak-sud kamu apa, Mas?" Agnia yang masih dalam kondisi kaget, bertanya dengan gugup."Jangan pur
Sungguh, Dewo pun sejujurnya kaget Agnia sampai seperti itu. Emosinya meledak begitu saja, tidak sempat ia kendalikan. Tindakannya itu benar-benar diluar kehendaknya, spontanitas, wujud kemarahan dan kecemburuannya yang besar terhadap sang istri. "Sial! Aku kebablasan! Padahal aku hanya bermaksud memberinya pelajaran. Kenapa malah jadi seperti ini?" Bayang-bayang ketakutan Dewo semakin membesar. Lama sekali Dokter tidak kunjung keluar dari ruangan. Lampu gawat darurat juga masih menyala. Dewo pun memutuskan untuk kembali duduk. Dia terlihat mulai lelah karena dari tadi terus mondar-mandir menunggu selesainya pemeriksaan. Tepat di saat Dewo hendak melesakkan tubuhnya ke kursi tunggu, lampu gawat darurat menunjukkan perubahan warna, pertanda kalau pemeriksaan Agnia sudah selesai. Bersamaan dengan itu pula, dokter baru saja keluar. Dengan langkah tergesa, Dewo pun menghampiri sang dokter. "Bagaimana keadaan istri saya, dok?" tanyanya dengan wajah cemas. Dokter itu nampak tersenyu
Beberapa saat setelah menelpon mertuanya, Dewo langsung pamit pergi. Inginnya dia segera membawa orangtua Agnia ke rumah sakit agar dia bisa segera beristirahat di rumah bersama dua putrinya. Sejujurnya hatinya masih sangat sakit jika melihat wajah istrinya. Walau hubungannya dengan Sri sudah terjadi jauh sebelum dia mengenal Agnia, tetap saja dia tak mau mengakui bahwa dirinya sendiri juga sudah mengkhianati wanita itu. Rasanya saat ini memandang wajah cantik yang selalu dipujanya itu membuatnya ingin muntah saja. Roda empatnya pun kini bergerak cepat meninggalkan rumah sakit. Semakin cepat pergi, semakin baik. Dia akan menjemput anak-anaknya, kemudian mertuanya. Setelah itu, dia akan mengajak dua anak itu pulang bersamanya. "Biar saja orangtuanya yang menjaganya," ucapnya dalam hati. Meski ada sedikit keraguan jika nanti Agnia tidak akan bisa menjaga omongannya di depan kedua orangtuanya, tapi Dewo tetap memilih untuk meninggalkannya. Toh, dia sudah mengancam wanita itu unt