Aku harus mencari kerja. Tidak mungkin hanya mengandalkan dari bantuan jamaah setiap hari. Aku bukan pengemis, tubuh ini pun masih kuat untuk bekerja. Bukan juga orang cacat yang butuh dikasihani.Aku bergegas keluar dan berjalan kaki untuk menawarkan tenagaku ke rumah-rumah. Mungkin mereka membutuhkan tukang kebun atau sebagai buruh kasar."Bu, butuh tukang kebun?" tanyaku pada ibu penghuni rumah mewah yang sedang menjemur pakaian di samping rumahnya."Maaf, Pak. Untuk saat ini kami tidak memerlukan tukang kebun." jawab wanita berkerudung syari tersebut dengan tersenyum ramah.Satu persatu rumah aku datangi untuk menawari jasaku tetapi satupun belum ada yang membutuhkan tenaga ku, mungkin mereka takut karena maraknya perampokan, jadi mereka tidak berani asal terima lelaki asing untuk bekerja di rumahnya.Sudah satu jam aku berjalan tetapi hasilnya nihil. Entah kemana lagi aku harus mencari pekerjaan, kaki sudah sangat letih. Bagaimanapun aku harus mendapat uang untuk makanku sehari-
"Dek, kenapa lama sekali." tanya Raka membuat aku jadi salah tingkah. Penampilannya terlihat berkelas. Pakaian mahal melekat ditubuhnya, membuat aku jadi minder melihat mereka bertiga. Hidup kami saat ini bagaikan langit dan bumi. Atau bagaikan keset dan berlian."Mas Raka. Apa kabarnya." ujarku seraya mengulurkan tangan untuk bersalaman dan di sambut dengan tatapan dingin."Baik.""Maaf tadi saya ngobrol dengan Niken. Rindu, sudah lama tidak berjumpa dengannya. Bagaimanapun Niken kan anak kandung saya." ujarku tersenyum ramah."Hmmm." Raka tidak memberi respon apa-apa. Seakan aku ini nyamuk diluar kelambu yang sedang menganggu dan minta masuk kedalam kehidupannya. "Kalau sudah selesai nanti bilang saja, ya. Papa nunggu di cafe ocean." pamit Raka pada Niken dan Agnes. Sementara dia tidak menoleh sedikitpun ke arahku."Iya. Mas. Ini sudah mau siap, kok. Tinggal bayaran saja." ujar Agnes seraya merogoh dompet yang berada dalam tas mewahnya.Setelah membayar Agnes dan Niken akhirnya men
Malam ini, entah kenapa mata sangat susah untuk terlelap. Pikiranku menerawang jauh ke masa lalu. Semenjak bertemu dengan Niken di toko tadi siang, ada kerinduan menyusup ke relung hati yang paling dalam.Hanya kepada Nya tempat mengadu, betapa aku sangat merindukan buah hati, darah dagingku. Betapa diri ini sangat menyesali perbuatan di masa lalu yang telah menjauhkan di Niken dari hidupku.Hari ini seperti biasa, aku bangun di pagi yang cerah. Perlahan-lahan membuka mata, tapi hati ini terasa berat. Pikiran ini terus mengingat anak semata wayangku. Bapak mana yang tidak merindukan anak yang sudah lama tidak berjumpa? Siapa yang tidak merindukan putri yang penuh cahaya dan keceriaan.Saat salat, aku selalu berdoa untuknya, berharap bahwa apa pun yang dia lakukan diluar sana, dia akan merasa bahagia dan selalu berada dalam lindungan-Nya.Setiap langkah ku di hari ini dipenuhi dengan kenangan tentang Niken. Suara tawanya yang manis dan mata jelitanya yang cemerlang selalu mengisi hati
Rasanya duniaku hampir runtuh. Siang ini ada seseorang datang ke rumah, memberi kabar bahwa Sinta anak yang sangat aku sayangi, jatuh pingsan dipasar waktu berbelanja keperluan warung.Sekarang dia sudah di bawa ke rumah sakit, menurut informasi yang aku terima Sinta belum sadar dan terpaksa di rawat di ruang ICCU.Dan yang membuat aku hampir berhenti bernafas saat dokter mengatakan penyakit yang diderita Sinta. Penyakit menular seksual yang sangat mematikan itu.Aku malu, anak yang selama ini selalu aku banggakan ternyata selama di kota bekerja sebagai penjaja seks komersial. Putri semata wayang yang kubanggakan, kusayangi dia sepenuh hati, dia sangat ku manja bahkan semua yang dia inginkan pasti aku penuhi, tak peduli dari mana uang itu aku peroleh, yang penting anakku bahagia. Tak kusangka nasib dia seburuk ini."Bu, bagaimana kondisi Sinta?" tanya Rama. Anak yang tidak pernah aku harapkan kehadirannya dimuka bumi ini menanyakan kabar adiknya."Masih belum sadarkan diri," jawabku
"Bu, jenazah Sinta mau dimandikan," ungkap Rama membuyarkan lamunanku."Jenazah? Apa maksud kamu, Rama? Jangan sok tau kamu. Sinta belum mati. Dia hanya tidur saja. Pengaruh obat bius." Ku tepis tangan Rama yang berusaha memeluk bahu ini. "Bu, ikhlasin Sinta. Jangan beratin jalannya," ucap Romi, mantan suami Sinta. Air matanya berlinang. Pasti dia itu berpura-pura sedih. Aku tahu itu. Tidak mungkin dia menangisi anakku yanag sudah menjadi mantan di dalam hidupnya. Apalagi sekarang dia sudah memiliki pengganti Sinta."Ugh ... ini semua gara-gara kamu. Keluar kau dari rumahku." Seketika kudorong tubuh Romi hingga dia hampir terjatuh mengenai tubuh anakku yang masih terbaring diruang tamu."Bu, maafkan saya, tapi saya masih mencintai Sinta. Tidak ada yang bisa menyamainya." tutur Romi membuat aku semakin jijik melihatnya. Tidak perlu lagi ucapan itu keluar dari mulut sampahnya.Jika dia tidak menceraikan Sinta dan menikah dengan wanita lain, tidak mungkin Sinta akan menjajakan diri kepa
"Rama, kawanin Ibu ke toko ponsel sebentar. Ibu mau membeli ponsel tercanggih." titah ibu membuat aku bertanya-tanya. "Untuk apa, Bu? Kan ponsel Ibu masih bagus?" "Ibu mau menelpon Sinta, Nak. Ibu sudah sangat rindu sama permata hati Ibu." Suara ibu serak seakan ada tangisan yamg sedang ditahankan."Ibu berhentilah meratapi kepergian Sinta. Kasian dia tersiksa di sana," ucapku dengan air mata sudah menganak sungai tidak dapat lagi aku tahankan. Cobaan hidup terberat dalam hidupku adalah ditinggal pergi ayah untuk selamanya dan sekarang menyusul adik semata wayangku, Sinta."Ibu tidak meratapi Sinta. Hanya ingin menelpon dia aja, menanyakan kabar dia. Apa ada yang salah?" tanya wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini dengan tatapan kosong."Ibu, Sinta sudah enggak ada lagi di dunia ini. Mana bisa di telpon sih, Bu. Kita sudah berbeda alam dengannya," ujarku seraya memijat lembut betis wanita yang sangat aku sayangi itu."Berbeda alam? Hahaha. Kita sudah berbeda alam, Nak. Jadi ba
Aku sangat kaget melihat mantan mertua berjalan sepanjang rel kereta api. Beliau menghitung batu kerikil yang berada di rel tersebut. Aku mengikuti wanita yang telah menjadikan aku menjanda dari belakang, karena ku pandang bu Lastri bagaikan orang yang sedang linglung. "Bu, mau kemana?" tanyaku saat melihat wanita berkerudung coklat susu itu menuju ke arah pemakaman."Mau menemani anak saya. Kasian dia sendirian di dalam situ." Tunjuknya ke area tempat pemakaman. "Apa? Ah enggak-enggak saja ibu? Ibu pulang aja ya? Biar saya telpon mas Rama untuk menjemput Ibu ya?" "Apa hak kamu menyuruh aku pulang?" Karena tidak bisa di ajak bicara baik-baik akhirnya aku menelpon mas Rama, anaknya yang jelas-jelas lebih tahu apa yang terjadi pada bu Lastri."Mas, mantan mertua saya nampaknya sedang depresi. Dia mau masuk ke area pemakaman," ucapku pada mas Raka melalui sambungan telpon."Jadi bagaimana?""Mas, bisa bantu saya? Saya mau menelpon mas Rama untuk menjemput ibunya. Saya yakin dia gak t
Setelah salat subuh, aku memasak nasi goreng untuk sarapan. Hari ini, aku buat agak banyak karena ingin memberi sedekah sedikit untuk pekerja karena ibu sudah di temukan.Setelah membagikan sarapan, ku rebahkan tubuh ini di gubuk kecil dekat kolam ikan. Angin bertiup lembut menghadirkan rasa kantuk pada mata ini. Hingga tak sadar, diri ini terlelap. Sebuah dering telpon membuat ku terjaga. Nama Niken tertera disana. Aku segera mengangkat dan mengucapkan salam."Papa, jadi jemput Niken hari ini?" tanya gadis kecilku."Jadi dong! Anak Papa dimana sekarang?" Kubalik bertanya."Udah di dekat rumah Papa, nih," jawabnya."Ya udah. Papa jemput dimana ni? Atau langsung ke rumah aja ya, Nak?" titahku."Jemput di mini market sejahtera ya, Pa! Niken tunggu disitu." "Baik, tunggu Papa ya?" Aku menutup telpon dan bergegas pergi.Niken sedang menunggu di bangku di teras mini market tersebut. Dia nampak seperti kebingungan. Mungkin takut tidak jadi ku jemput."Niken!" "Papa!" Niken berteriak kenca