Pagar rumahku sudah telihat di depan mata. Sengaja meninggalkan mereka tanpa pembantu. Hanya ada satpam penjaga pagar dan mata-mata untukku"Bu Intan," sapanya ramah. "Apa mereka di dalam?" "Iya, mereka semua ada." Kuselipkan uang merah dan memberikan kepadanya. "Buat anak-anakmu di rumah." "Alhamdulillah, terima kasih Bu."Lantai teras kotor dan daun-daun berguguran di halaman. Semoga perabot-perabotku di rumah masih utuh dan tak dijual mereka. Mungkin saja mereka nekad melakukannya. Mobilku masuk ke dalam halaman rumah milikku yang kini ditempati mereka. Membuka pintu perlahan. Mereka sedang duduk di ruang keluarga. Entah membahas apa. Sekilas mendengar percakapan sepertinya tentang uang. Suara sepatuku membuat mereka terdiam dan menoleh ke arahku secara bersamaan. Tak ada wajah terkejut yang mereka perlihatkan. "Wah, ternyata Nyonya besar baru pulang," sindir Lisa. Ia menatapku sinis. "Ke mana saja kamu? Suami sakit malah ngelayap," ucap tante Vivi. "Siapa?" Pura-pura tak
"Tunggu!" Suara yang aku kenal mencegahku dengan suara tinggi., suaranya bergetar. Langkahku terhenti. Tante Vivi menghampiriku. Aku menoleh ketika lengan ini ditarik kasar. Wanita yang terlihat bermartabat dan sombong tak bisa memperlakukan seseorang dengan halus., miris sekali kau Tante. "Apa Tante berubah pikiran?" Menahan rasa geram dengan tingkah seenaknya. Aku ini makhluk hidup masih merasakan sakit. "Kamu belum selesai bicara. Katakan apa maumu?" ucapnya pasrah. Suaranya melunak, ingin tertawa terbahak-bahak. "Oke, aku akan lanjutkan. Tapi, jangan menghardikku sebelum kalian mendengar semuanya. Tolong rem ucapan kalian atau aku tak ingin memberitahukan. Silahkan kalian pilih." Mereka semua mendelik. Aku hanya menatap miris." Baiklah, lanjutkan." Rico terlihat penasaran. Pemuda itu semakin mendekat berdiri tak jauh dari ibunya. "Mas Ilham sudah sembuh. Aku minta kalian tak mengungkit kejadian sewaktu menjadi gila. Pura-pura lupa atau pura-pura tak tahu. Anggap aja kejadian
Jalanan terlihat lengang. Menyalakan musik bernuansa hip hop. Mengikuti nada yang mengema di dalam mobil.Saking asiknya aku tak menyadari kalau lampu sudah berubah warna. Segera mengeram mendadak. Tubuhku terdorong ke depan.Aku menabrak mobil yang berhenti di depanku. Suara benturan terdengar nyaring. Jantungku hampir copot. Suhu tangan berubah dingin.Ya Tuhan. Apa yang aku lakukan. Depan mobilku hancur begitu juga yang berada di depannya. Bodoh sekali aku.Kacaku diketuk dari luar. Membuka kaca mobil perlahan. Seorang lelaki dengan jas hitam dan dasi navy menatap tajam. Sorot matanya menusuk. Raut wajahnya dingin seperti salju."Kau!"Aku mengenali lelaki itu yang sering aku panggil manusia salju. Wajahnya kaku seperti kanebo. Lelaki di depanku adalah sepupu Adel--Rehan."Hei, gadis pembuat onar. Keluar kamu!" teriaknya. Ia tak pernah menghormati wanita kecuali ibunya.Menarik napas dalam menghembuskannya.Membuka pintu mobil. Ia menerobos kepalanya masuk ke dalam.Wajah kami sang
Tak peduli dengan kondisi keadaan mobil. Berjalan menelusuri jalan. Tatapan orang dengan kondisi mobilku menatap miris. Aku masih punya mobil yang lain. Bagian depan dan lampu depan hancur. Untung saja masih bisa menyala. Segera memarkir mobil di basement satu.Menghubungi supirku untuk mengantar mobil yang lain. Kuberikan kunci mobil kepada penjaga agar ia tak menganggu pekerjaan yang sedang berlangsung.Semua orang menyapaku ramah. Ternyata, mereka masih mengenalku dengan baik."Selamat siang, Bu," sapa mereka serentak.Aku lihat mereka sedang santai. Mungkin karena tak ada mas Ilham, pemimpin mereka. Aku hanya tersenyum tanpa menjawab salam.Seorang wanita di depan ruangan mas Ilham mengecat kukunya berwarna biru."Ehm ....""Ibu Intan." Segera meletakkan cat kukunya di atas meja." Selamat siang, Bu!" sapanya."Siang." Melangkahkan kaki ke dalam ruangan suamiku.Seketaris mas Ilham, Vika membukakan pintu. Ruangan kerja dengan nuansa classic terlihat bersih. Aku berjalan menelusuri
"Di mana?" bentakku tak menghiraukan perasaannya. Wanita dihadapanku ini tak tahu malu. Ia pikir siapa dirinya. "Maaf, Bu. Sa-saya tak bisa mengatakannya," tolaknya tanpa mau menatap manik mataku. Ternyata Vika adalah kepercayaan suamiku. Kita lihat saja nanti. Siapa yang lebih berkuasa. "Kamu tak tahu siapa saya?" Aku bangkit dari dudukku." Semua peruasahan ini milik papa saya. Katakan di mana brankasnya, Vika? Apa kamu mau saya pecat?" ancamku. Ia mengelengkan kepala." Katakan di mana?"Ia menunjukkan sebuah lukisan yang mengantung di dinding. Aku menghampiri lukisan dengan pemandangan pantai.Mencoba mengesernya dan sebuah brankas berada di balik lukisan."Berapa kodenya?" teriakku menatap tubuhnya."Ti-tidak tahu," ucapnya."Jangan bohong! Suamiku tak datang ke kantor lalu uang ini kamu bawa pulang?"Ia menundukkan kepala." Jawab Vika!"
"Hei, kamu mau nguping?" tanya Serly dengan bertolak pinggang. Vika mencim sepatu hitam Serly. Ingin tertawa dan mengabdikan momen ini nyatanya aku kalah cepat. "E-enggak kok," elaknya. Ia bangkit membersihkan lutut dan pakaiannya. Tersenyum kikuk dan malu. "Barusan ngapain?" Mata Serly membulat. Temanku ini memang galak dan tak berperasaan apalagi dengan model wanita seperti Vika. "Pintunya kotor jadi, aku bersihin." Mengusap-usap pintu. "Alasan kamu! Awas aja kalau berani nguping. Aku potong telingamu," ancam Serly membulatkan mata. Tak salah memilih partner dalam kasus ini. "Oh, iya. Vika kenalin, ini Serly yang akan menjadi partnermu. Aku harap kalian bekerja sama dengan baik," ucapku lembut. "Apa Bu, partner?" pekiknya. Wajahnya terlihat tak suka. "Dia seketaris di perusahaan ini. Gaji kamu dan dia sama. Gak aku bedain. Tenang saja. Hanya saja, Serly adalah seketaris utamaku." "Ibu yakin kalau dia bisa jadi seketaris di sini?" Wajah Vika terlihat tak suka akan kehadiran
17"Bisa halus gak sama perempuan," sungutku kesal.Rehan masuk ke dalam mobil dan menyalakannya. Laki-laki tak sopan asal merebut mobil orang. "Loh, mau dibawa ke mana mobilku?" Deru mobil terdengar. "Masuk!" ucapnya datar.Aku segera masuk ke pintu sebelah. Rehan menancapkan gas dan aku terhuyung ke depan. Langsung mengenakan sabuk pengaman."Kita mau ke mana?" tanyaku."Pulang," jawabnya datar dan singkat."Ke mana?""Ke rumahmu masa ke rumahku.""Tidak! Aku pulang ke hotel tidak ke rumah," ujarku."Alamatnya," tanyanya." Ayo sebutkan alamatnya! Atau aku bawa kamu ke apartemen," ancamnya.Aku menyebut nama hotel tempat aku menginap. Sepanjang perjalanan tak ada ucapan yang terlontar di bibir manusia salju."Turun!" perintahnya seolah-olah mobil ini miliknya. "Ini mobilku. Kenapa gak kamu aja yang turun?" Aku melipat tangan tak mau menuruti perintahnya. "Mobilku rusak karena kamu. Jadi, kamu yang tanggung jawab. Cepat turun! Aku ada janji," usirnya kasar. Apakah lelaki itu tak b
Bagaimana jadinya para benalu tanpa mas Ilham pasti seperti cacing kepanasan. Membayangkan saja cukup puas untukku.Mas Ilham dan Bayu sedang bermain bola. Semalam ia menanyakan tentang ponselnya. Tapi, aku bilang kalau ponselnya hancur terlindas mobil. Untung saja dia percaya.Menghubungi orang kepercayaanku yang berada di rumah ia adalah penjaga keamananku.Rumahku sejak dulu terdapat CCTV. Tapi, gambarnya terlihat tak jelas. Aku harus menguras kantong agar suara terdengar jelas dan gambar tak buram. Untung saja kerja mereka cepat."Bagaimana, Pak?" tanyaku dari ponsel pintar milikku."Sudah, Bu. Silahkan cek!""Oke, terima kasih!"Kali ini Rico tak akan bisa menghancurkan CCTV yang aku perbaiki. Lumayan juga bisa pantau mereka di bagian tertentu.Segera kucek hasil kamera di rumah. Ternyata, mereka berkumpul di ruang keluarga. Sepertinya tempat itu jadi favorite mereka."Ilham dan Intan ke mana? Gak pulang-pulang. Ini sudah lewat dua hari. Mereka keterlaluan sekali!" ucap tante Viv