Pagi yang cerah untuk jiwa mageran. Dinara membuka matanya dengan malas saat mendapati cahaya sang surya menyelinap masuk melalui celah jendela kamarnya. Ini pukul tujuh pagi di hari minggu. Biasanya dia akan memilih untuk lanjut tiduran, tapi dia rasa harus mulai kembali membiasakan tubuhnya untuk bangun pagi lebih rajin.Ingat! Semua terbentuk karena kebiasaan!Setelah mencuci wajah, otaknya mungkin baru mulai berfungsi lebih baik. Berhenti di depan standing mirror untuk menyadari bahwa dia masih menggunakan baju semalam. Diatas meja juga terdapat beberapa kapas berisi bekas makeup yang sepertinya miliknya. Seingatnya semalam dia tertidur di dalam mobil Sandi. Namun sama sekali tak punya ingatan tentang bagaimana dia masuk ke dalam rumah dan membersihkan wajah. Apa ini semua ulah kekasihnya?Dia meraih ponsel disebelah slingbag nya kemarin, tak menemukan pesan apapun dari Sandi. Tapi karena Dinara juga tipikal yang gengsi chat duluan, jadilah Dinara melempar kembali ponselnya dan
Tidak semua isi lemari dia boyong masuk ke dalam tas besar. Hanya ada beberapa setel kemeja, celana kain, jeans, pakaian kasual serta pakaian rumahan yang dia masukkan. Begitu juga beberapa sepatu mahal untuk beragam ocassion. Sementara perintilan kecil dan peralatan kerja secara lengkap dia masukkan kedalam ransel. Suara ketukan pintu terdengar, Sandi menoleh setelah membiarkan seseorang masuk dan menutup kembali pintunya. Alisnya mengernyit, bukan berarti tak suka—hanya saja ini kali pertama melihat Danilla berani masuk ke dalam kamarnya.Gadis pucat itu menunduk setelah melihat barang-barang yang Sandi packing rapi. Sandi dengan jelas melihat kegugupan Danilla dari jemarinya yang saling tertaut.“Kenapa?” tanya Sandi pada akhirnya. Dia tidak terlalu nyaman berada bersama Danilla dalam satu ruang untuk waktu yang lama. Danilla mengangkat wajahnya—jelas menahan diri sebelum akhirnya berani membuka mulutnya. “A-ada yang bisa aku bantu nggak?” Sandi mengerutkan keningnya bingung,
Setelah hampir satu jam menembus kemacetan ibukota, Dinara akhirnya sampai pada tujuannya. Tas bahu berwarna hitam masih setia bertengger di bahunya, dia juga masih mengenakan pakaian kerja. Di tangan kirinya menjinjing satu plastik sedang berisi dua bungkus lalapan. Sementara tangan sebelahnya menjinjing goody bag besar berisi aneka cemilan dan peralatan mandi cuci. Kurang lebih pukul setengah tujuh malam, naik mengenakan lift menuju lantai 5. Jam tangan berwarna rose gold yang melingkar manis di tangannya hampir terlihat kontras dengan urat tangannya yang cukup terlihat. Tangannya cukup kekar untuk ukuran gadis kurus sepertinya. Gadis itu meletakkan bawaanya di lantai setelah menemukan unit yang dituju. Membuka ponsel untuk mencari pesan sebelumnya. Baru setelah itu menekan beberapa tombol guna membuka pintu kamar dihadapannya. Setelah berhasil masuk, Dinara melepas alas kaki dan meletakkan barang bawaannya diatas meja. Sementara manusia yang akan tinggal di apartmen ini tengah s
Apapun yang sudah dimulai, maka harus diselesaikan dengan baik. Prinsip itu setidaknya telag mengilhami pemikiran Dinara Jeandra sehingga dia selalu berusaha untuk konsisten dalam menyelesaikan sesuatu. Meskipun terkadang tetap ada mengeluh tipis-tipis. Memasuki minggu terakhirnya di perusahaan, Dinara jelas saja merasa perlu menyelesaikan beberapa tanggung jawab sebaik mungkin. Selain itu dia juga belakangan ini disibukkan dengan memberi training secara langsung pada penggantinya—seorang mahasiswa fresh grad seumuran dengannya yang minggu lalu baru saja diterima. Beberapa content plan garapannya yang kontraknya belum berakhir sebelum waktu resignnya terpaksa harus dia alih tugaskan pada si anak baru. Untuk itu, penting bagi Dinara untuk memberi note secara detail pada sang pengganti.“Ra, siang ini ada meeting sama divisi pemasaran, Kamu ikut sebagai notulen, ya!” ajak Dinara pada Mira—pegawai baru yang akan menggantikan tugasnya kedepan. Mira Hananda mengangguk. Gadis itu hampir
Derap sepatu tinggi buru- buru Alana dan Dinara menggema di lorong The Royals. Dua wanita karier itu buru- buru menuju ruangan rapat setelah jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit. Hari ini mereka ada janji temu dengan petinggi The Royals pukul 10.10. Idealnya, mereka harus hadir maksimal lima belas menit sebelum rapat dimulai, namun karena pengulangan dadakan kemarin, mereka masih harus memastikan kembali tak ada lagi bahan konten yang tercecer atau berantakan. Divisi konten kemarin bekerja hingga pukul sepuluh malam. Itupun sebenarnya belum semuanya selesai. Namun demi kemanusiaan, Alana memutuskan untuk menyuruh mereka beristirahat dan kembali ke rumah masing- masing. Sebagai gantinya, pagi keesokan hari mereka diharapkan sudah sampai kantor pukul delapan pagi. Dinara sendiri hampir tidak tidur semalaman. Dia benar- benar mengebut mengerjakan lima buah konten dan mengedit kembali tulisan dari rekan- rekannya. Dinara juga harus menyelesaikan caption d
"Saya tidak peduli akan siapapun yang akan mengikuti konsep penyampaian konten. Satu yang menjadi permasalahan adalah bahwa draf konten itu sudah berisi proyeksi The Royals kedepannya. Bagaimana saya bisa tenang kalau ada kemungkinan bahwa ide yang sudah sejak lama kita garap dan bahkan masuk dalam banyak lini di perusahaan kini akhirnya bocor dan bahkan ditiru oleh perusahaan lain?" Jelas Dipta Hadi tak akan bisa tinggal diam. Kemerahan di matanya menyiratkan bagaimana kesalnya dia sekarang. Pandangannya menajam kearah Alana dan Dinara sebagai dua orang yang berasal dari luar perusahaannya. Sebagai pihak ketiga, tertulis dalam kontrak bahwa pihak mereka seharusnya bisa menjamin kerahasiaan perusahaan client. Itu tentu melingkupi draf ide yang belum seharusnya disebarkan. Dengan kejadian ini, baginya pihak advertise lah yang lengah mengawasi. "Bahkan meskipun kalian dipecat dari perusahaan, itu mungkin tidak akan cukup," geram Dipta Hadi lagi. Dinara meremas kedua tangannya sen
Kalau kalian berharap ada drama teriak-teriak atau menangis sesegukan yang dilakukan seorang fresh grad lulusan sekolah luar negeri ternama seperti Selena, tolong jangan terlalu kecewa. Pada kenyataannya, gadis itu bahkan terlalu malu untuk menunjukkan emosi ataupun sedikitpun pembelaan. Semua terlalu jelas dan dia tidak mau melakukan apapun yang nantinya hanya akan membuatnya semakin dibenci oleh Dipta Hadi. Selama dia masih bisa keluar dari sini hidup-hidup, maka itu sudah cukup. Tanpa banyak basa- basi, Selena segera mengemasi seluruh barang- barangnya dan harus mengubur hidup- hidup impiannya untuk menjadi Staf PR Senior The Royals. Apa boleh buat? Gadis bernetra hazel itu bahkan belum tiga bulan bekerja, tapi harus didepak tanpa rasa hormat begini. Apalagi masalah yang dia munculkan bukanlah hal sepele.Sebelum keluar ruangan, Selena sempat menatap Dinara sepersekian detik. Entah bagaimana cara membaca makna tatapan itu karena saat ini pikiran Dinara benar- benar kosong. Me
Pagi hari ini alam super segar terasa dalam nuansa yang berbeda. Sekarang baru pukul enam pagi, waktu yang sama seperti hari- hari biasanya Dinara bangun. Gadis yang baru saja membuka mata setelah berkelana dalam mimpi itu segera bangkit dari ranjangnya. Mengambil botol air diatas meja dan meneguknya perlahan sembari mengamati pemandangan diluar—sang surya naik perlahan malu-malu. Tak lama, mungkin hanya sekitar lima belas detik dan gadis itu tak mau terjebak suasana melankolis lebih dulu, maka ia bergegas masuk kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Hari ini dia resmi menyandang status sebagai seorang pengangguran. Yap, rasanya seperti ada yang hilang dari rutinitas Dinara. Tapi dia tahu, hidup akan terus berlanjut. Setelah ini dia juga harus bersiap menghadapi tantangan- tantangan baru dalam hidup. Maka dari itu Dinara memilih untuk sebisa mungkin tetap produktif. Pagi ini dia sudah punya agenda penting. Ia harus olahraga. Pilates bolong- bolong, jogging pagi jarang karena tidak