RS Internasional, ruang rawat VVIP. Pukul 21.50"Lho anda kenapa datang kemari lagi, Tuan Max?" tanya Martin heran, ketika baru saja menutup pintu ruang rawat VVIP dimana Marigold dirawat. Martin merasa janggal melihat Max berada di rumah sakit, padahal saat ini seharusnya atasan sekaligus sahabatnya ini sedang melakukan penerbangan ke Inggris untuk melakukan pertemuan dengan investor."Malam ini aku akan melakukan telecoference dengan para investor itu. Aku mengatakan pada mereka bahwa istriku sakit. Jadi dengan menyesal, aku tidak bisa bertemu mereka secara langsung. Dan para investor itu menyetujui pertemuan secara virtual," jawab Max sambil melonggarkan dasinya. "Bagaimana keadaannya?" tanyanya lanjut seraya mengedikkan dagunya ke arah pintu kamar yang masih tertutup."Sedang tidur," jawab Martin sambil membuka pintu lagi dan membiarkan Max masuk terlebih dahulu. "Apa anda akan menginap disini?" tanyanya ketika melihat Max duduk di sofa dan merebahkan kepalanya di sana."Menurutmu
Marigold mengernyitkan keningnya karena terkejut ketika mendengar suara benda terlempar di dekatnya. Marigold sedikit membuka matanya, tetapi langsung buru-buru menutupnya kembali. Marigold meringis melihat sosok tuan milyader yang menjulang tinggi di sebelahnya. Hanya dengan posisi berdiri yang kaku, Marigold bisa mendeteksi kemarahan suaminya."Kamu adalah milikku. Tubuhmu milikku. Pikiran dan hatimu juga milikku. Siapa pun yang ingin merebut dan memilikimu, akan berurusan denganku!"Deg.Perkataan Tuan Max yang terdengar posesif, sontak membuat jantung Marigold seolah berhenti berdetak. Di satu sisi, dirinya merasa bangga karena dirinya telah menjadi milik seorang milyader terkenal yang kaya dan tampan. Namun disisi lain, hati Marigold menjadi resah sebab perkataan itu tidak akan terucap jika tidak ada yang memicunya."Lalu.. apa yang memicunya? Apa yang membuatnya marah?" batin Marigold sambil mencari posisi yang nyaman untuk mengamati apa yang dilakukan tuan milyader. Sejurus kem
Senyum terus mengembang di bibirnya. Martin tidak pernah merasa bersemangat dalam menjalankan tugas dari Max seperti sekarang ini. Meskipun Martin sudah mendapatkan data lengkap tentang seorang pria bernama Nolan, namun ini akan menjadi sebuah alasan bagi dirinya untuk bertemu dengan Nina, gadis cantik yang sudah mengusik pikirannya.Kini mobilnya sudah berhenti di depan lahan parkir sebuah Dojo milik ayah Nina. Martin melirik jam tangannya, lalu merapikan kerah kemejanya. Dojo nampak sepi, karena memang sudah waktunya tempat latihan karate untuk mengakhiri jam latihannya hari ini. Dan sengaja, Martin datang saat Nina pulang kerja.Tangan Martin mendorong pintu kaca yang terbagi dalam motif kotak-kotak kayu. Meja resepsionis dan lobi dojo nampak lengang. Suasana hening dan tidak seorang pun yang terlihat disana. Apa Nina sudah pulang? Terlambat kah dirinya datang?"SIALAN! LEPASKAN AKU, BRENGSEK!"Sebuah suara bentakan dari arah dalam dojo, membuat Martin terkejut. Martin bergegas mem
Nina menyeruput latte macchiato tanpa benar-benar menikmatinya. Minuman perpaduan kopi dan susu dengan takaran yang seimbang ini, biasanya menjadi minuman kesukaan Nina ketika menikmati secangkir kopi di kafe.Tetapi hari ini suasana terasa gerah. Dengan adanya teman minum kopi yang menyebalkan dan suasana canggung, membuat perut Nina terasa begah. Lelaki tampan nan keren yang duduk di depannya sedang menikmati secangkir kopi espresso panas, tampak acuh tak acuh meski mendapatkan serangan sinar laser berjilid-jilid dari Nina."Percuma menikmati pahitnya kopi, jika kamu terus menambahkan susu sebanyak itu ke dalam cangkirmu. Yang ada, kamu itu meminum susu beraroma kopi," komentar datar Martin saat melihat Nina kembali menambahkan susu putih ke dalam kopi macchiato nya.See.. Bukan cuma sosoknya yang sok belagu, tetapi juga mulutnya yang suka bicara tanpa saringan. Rasanya Nina ingin menuangkan cairan hitam pekat yang sedang diminum laki-laki itu ke atas kepalanya sendiri. Nina berpiki
Max pulang ke Edelweis mansion disambut oleh beberapa pelayan. Langkahnya menuju ruang kerja, dicegat oleh Chrysan, istri keduanya."Malam, Tuan Max," ucap Chrysan lembut. "Aku membuat camilan kesukaanmu. Ini masih hangat, baru keluar dari oven. Akan kuantarkan sendiri ke ruang kerjamu."Max memandang datar pada Chrysan yang berdiri cantik sambil membawa nampan berisi kue yang harum, menyambut kepulangannya. Dengan kedua tangan yang dimasukkan saku, Max berjalan pelan mendekati Chrysan yang wajahnya semakin berbinar karena mendapat perhatian dari tuan milyader."Bawa camilan itu beserta dirimu ke kamarku saja. Aku menunggumu disana," bisik lembut Max di telinga Chrysan. Lalu tanpa menunggu jawaban dari istri keduanya, Max langsung melangkah pergi.Chrysan yang mendengar bisikan mesra itu langsung sumringah. Wajah cantiknya berseri-seri. Dari perkawinan nya dengan Tuan Max beberapa bulan yang lalu, baru satu kali dirinya berbaring di ranjang tuan milyader, yaitu saat malam pertama pern
Martin membalikkan tubuhnya ketika mendengar suara desahan dari ranjang Max. Bagaimana pun juga, Chrysan adalah istri Max. Martin harus tetap menundukkan matanya. Sikapnya tadi hanyalah sebuah akting yang dipaksakan Max padanya."Apa kamu tidak terlalu kejam pada istrimu sendiri? Memberinya obat perangsang lalu menyuruhnya memuaskan dirinya sendiri, itu sebuah hukuman yang kejam, Max. Bagaimana kalau istrimu memilihku untuk memuaskannya?" cecar Martin yang menarik Max menjauh dari ranjang. Suara rengekan istri Max membuat Martin gelisah.Max memukul bahu Martin dengan keras. "Itu tidak mungkin, bro. Aku mengenal Chrysan dengan baik. Harga diri Chrysan terlalu tinggi terlalu tinggi untuk disentuh olehmu. Jadi... membawamu dalam masalah ini, akan menyelematkan sedikit harga dirinya dari hukuman memalukan itu," katanya sambil tersenyum dingin."Ck, dasar gila," umpat Martin sebal."Aku harus melakukan ini, Martin," bantah Max menjelaskan maksudnya. "Chrysan sudah menyakiti Marigold. Jika
Beberapa hari kemudian."Sudah siap pulang?"Marigold melirik asisten pribadi tuan milyader yang sedang mendorong kursi rodanya menuju mobil Roll-Royce. Marigold hanya memberikan senyum canggung sebagai jawaban. Semakin dekat dengan posisi mobil mewah yang sedang terparkir di depan lobi rumah sakit, semakin bertambah berat hembusan nafas Marigold.Rasa nyeri yang masih terkadang datang akibat punggung yang terpanggang di oven panas, serta pergelangan tangan yang di gips pasca operasi tulang, membuat Marigold sedikit bergidik ngeri untuk kembali ke Edelweis Mansion."Apa aku akan kembali ke mansion itu?" tanya Marigold ragu-ragu dengan kepala yang kembali menoleh ke belakang."Tentu saja. Selama anda menikah dengan Tuan Max, disanalah anda akan tinggal," jawab Martin sopan. "Saat ini Tuan Max sedang menunggu anda di mobil. Kita akan segera membuat penyambutan resmi atas kedatangan anda di Edelweis Mansion. Dengan begini, status anda sebagai nyonya ketujuh Tuan Max, akan jelas. Semuanya
"Selamat datang kembali, Nyonya Orchid," sapa antusias manager hotel yang menyambut kedatangan Orchid dan Max, saat keduanya memasuki pintu utama lobi Hotel Alexander."Halo Pak Johan. Senang melihatmu kembali," sapa Nyonya Orchid riang. Pak Johan adalah salah satu manager hotel yang sangat memuja kecantikan Orchid secara terang-terangan."Kamar suite yang anda pesan sudah kami persiapkan.""Terima kasih," ucapnya dan memberikan senyum penuh pesona hingga membuat Pak Johan tertegun, kemudian berbinar-binar bak sinar matahari jam dua belas siang. "Dan antarkan makan malam sekarang.""Baik, Nyonya Orchid."Blam. Pintu kamar suite tertutup rapat.Max memperhatikan sosok Orchid yang menendang lepas sepatu high heels, disusul dengan mantel, lalu melemparkannya sembarangan di sofa. Sambil menggerai rambutnya yang disanggul diatas kepalanya, tatapan Orchid memaku mata Max. Ujung rambutnya terurai indah hingga ke pinggang.Sambil menyilangkan kakinya di sofa, Max menggoyangkan gelas anggur ny