Sementara itu, di tempat lain.
Meeting berikutnya di restoran Perancis yang terletak tidak jauh dari sebuah mall dan kafe-kafe yang menjamur bak musim hujan. Maximilian memandang kelap-kelip lampu kafe. Beberapa pasang kekasih keluar dan masuk ke beberapa kafe.
"Hmm, aku belum pernah mendatangi kafe biasa seperti ini. Seperti apa ya rasanya? Apakah sama dengan kafe eksklusif yang sering kudatangi, dengan suasananya yang dingin dan membosankan?" gumam Max yang tertarik pada sepasang kekasih yang saling berangkulan dan tertawa lepas. Kentara sekali mereka saling menyayangi dan mencintai.
Ckriitt..
"Ada apa?" tanya Max yang heran karena Pak Umar, sopir pribadinya yang tiba-tiba menghentikan mobil di tempat seperti ini. Tempat meeting berikutnya masih dua puluh menit perjalanan dari sini.
"Anu.. Tuan Max, sepertinya ada penjambretan dan perkelahian di depan sana," jawab Pak Umar sambil menudingkan jarinya ke arah jalan yang tersembunyi.
Max mengibaskan tangannya. "Jangan pedulikan. Bukan urusan kita. Jalan terus."
"Tapi, kasihan gadis itu. Dia masih tetap melawan meski sudah berlumuran darah," kata Pak Umar yang geram melihat orang jahat mengganggu wanita itu.
Maximilian memicingkan mata, memandang perkelahian di depan mobilnya itu. Max melihat seorang gadis yang tanpa lelah mengejar pencuri dan berteriak minta tolong. Namun tidak ada satu orang pun yang datang menolong. Entah mengapa, ketika melihat darah di tubuh dan pakaian gadis itu, hati Max terasa diremas.
Max belum memutuskan apa yang akan dilakukannya untuk membantu gadis yang telah melayangkan beberapa tendangan kaki pada tubuh pencuri itu, tiba-tiba.. mata Max membulat sempurna.
"Kurang ajar!"
Cklek. Brak.
Max membanting pintu mobilnya dan bergegas menghampiri seorang pria lain yang diduganya sebagai kawan dari penjambret itu. Dia telah memukul belakang kepala gadis malang itu dengan sebuah balok kayu. Tanpa banyak bicara, Max langsung menghajar rahang penjambret yang membawa kayu untuk memukul kepala gadis malang itu.
"PERGI! SEBELUM AKU MARAH DAN MENGHAJAR KALIAN," hardik Max dengan nada mengintimidasi.
Secepat kilat, kedua penjambret itu lari tunggang langgang, meninggalkan lokasi kejadian. Max memandang gadis yang tergeletak tidak sadarkan diri di jalanan aspal, sambil memeluk sebuah tas kain. Kemudian Max membungkuk dan membopongnya.
"Pak Umar, cepat buka pintunya. Dia berat sekali," keluh Max yang meringis membopong korban penjabretan itu.
"Baik Tuan Max," jawab Pak Umar yang tergopoh-gopoh mendekati pintu penumpang belakang dan membukanya.
Hup. Max memasukkan tubuh gadis yang berat itu ke dalam jok mobil Rolls-Royce nya, kemudian dirinya menyusul masuk ke dalam. Pak Umar memberikan sehelai handuk untuk tuannya.
"Terima kasih, Pak Umar," ucap Max yang menerima handuk biru gelap itu dan langsung diletakkan di rambutnya yang lembab. Sambil mengeringkan rambut, mata Max mengamati gadis malang yang bersandar pada pintu penumpang di sisi yang lain. Sekujur tubuh gadis itu basah karena hujan. Darah juga mengalir dari kepalanya serta dari beberapa tubuhnya yang lain.
"Hei nona, kamu baik-baik saja?" tanya Max sambil menyenggolkan lututnya pada lutut gadis malang itu. Tidak ada jawaban.
"Apa yang akan kita lakukan, Tuan Max?" tanya Pak Umar yang memandang dari spion tengah. Pak Umar mencemaskan gadis yang meringkuk di ujung jok belakang. "Sepertinya lukanya lumayan parah."
Max tidak dapat mengalihkan pandangannya pada gadis yang penampilan tidak jauh berbeda dengan kucing yang jatuh ke selokan lumpur. Begitulah penampilan berantakan gadis itu. Namun, ada sesuatu dari gadis itu yang menarik perhatiannya dan membuat jiwa protektif Max terusik.
"Pak Umar, turun dan mintalah rekaman CCTV yang merekam kejadian penjabretan itu," perintah Max yang masih setia memandangi gadis yang sama sekali tidak bergerak itu. "Aku tidak akan membiarkan para pecundang itu lolos dari hukum."
"Baik Tuan Max," jawab Pak Umar sambil membuka pintu pengemudi.
"Satu lagi, Pak Umar."
"Ya?"
"Tanyakan pada kafe-kafe itu, apakah gadis ini membawa kendaraan atau tidak. Setelah itu, katakan pada pemilik kafe agar menyimpannya kendaran itu dengan baik."
"Baik Tuan Max."
Cklek. Blam.
Tanpa mengalihkan pandangannya dari gadis yang meringkuk di pintu seberang, Max merogoh sakunya dan mengambil ponsel. "Halo Martin."
"Ya Tuan Max," jawab lawan bicara Max.
"Wakili aku untuk meeting malam ini."
"Baik Tuan Max," jawab Martin patuh. "Tapi, apa boleh saya tahu alasannya? Bukannya anda sedang dalam perjalanan kemari? Kenapa tiba-tiba membatalkannya?"
"Ada kejadian tak terduga," jawab Max datar.
"Anda baik-baik saja?" tanya Martin cemas, karena Maximilian bukan hanya atasannya, tetapi juga sahabatnya.
"Aku baik-baik saja. Besok, berikan semua laporan meeting hari ini padaku."
"Baik Tuan Max. Ada lagi?"
"Tidak ada. Aku tutup telponnya."
Maximilian mengembalikan ponsel miliknya ke dalam saku kemejanya. Kemudian diraihnya handuk dan disekanya darah yang nampaknya mulai mengering di dahi gadis itu. Max memiringkan kepala melihat apa yang sedang dipeluk gadis malang ini. Sebuah tas kain rupanya.
"Nona, aku akan membongkar tasmu, agar aku tahu identitas dirimu," kata Max yang tentu saja tidak akan dijawab, sebab gadis itu sedang tidak sadarkan diri.
Max mencoba untuk menarik tas kain itu. Tidak bisa. Gadis itu mendekap kuat tas kain miliknya, seolah barang kusut itu adalah benda yang berharga. Max berdecak tidak suka. Kemudian berusaha lebih lagi untuk menariknya lebih kuat.
"Brengsek, kuat sekali gadis ini. Dia sedang pingsan, tapi tenaganya besar sekali," gerutu Max yang mencoba cara lain, dengan mengangkat lengannya yang memeluk tas itu, lalu menariknya sekali lagi. Namun yang terjadi adalah gadis itu justru oleng dan menubruk ke arah dadanya. Kini gadis itu berada dalam pelukannya. Saat itulah, Max melihat goresan luka memanjang di lengannya yang masih mengeluarkan setitik darah segar. Max berniat mengusap tetasan darah itu, tetapi...
Deg..
"A-apa ini?" bisiknya bingung.
Tiba-tiba, jantungnya berdebar kencang, ketika kepala gadis itu tepat berada di dada bidangnya. Max memandang puncak kepala gadis itu. Aroma shampo yang lembut itu memasuki indera penciumannya dan anehnya itu sangat menenangkannya. Kemudian tangan Max seolah memiliki pemikirannya sendiri. Dibawanya bahu mungil itu semakin erat dalam dekapannya. Nyaman, serasa pulang ke rumah.
Cklek. Pintu pengemudi tiba-tiba terbuka dan masuklah Pak Umar ke dalam mobil.
Max yang terkejut dengan kemunculan sopir pribadinya, refleks mendorong tubuh mungil itu ke arah yang berlawanan hingga kepalanya menubruk kaca jendela mobil. Dan gadis malang itu masih juga belum terbangun. Max segera merapikan kemejanya yang kusut dan menyilangkan kakinya, berpura-pura seakan tidak terjadi apa-apa. Max juga mengabaikan senyum simpul di wajah sopir pribadinya yang nampak pada spion tengah. Sialan, sopirnya tahu apa yang dilakukannya.
"Bagaimana, Pak Umar?" tanya Max setelah berdehem.
"Semuanya beres, Tuan Max. Ini rekaman CCTV kejahatan itu," jawab sopir Max sambil menyerahkan sekeping CD.
"Berikan itu pada Martin," perintahnya sambil mengedikkan dagunya ke arah CD itu. "Sekarang jalankan mobilnya. Kita harus membawanya ke rumah sakit."
"Baik Tuan Max," jawab Pak Umar sambil memasang sabuk pengaman, lalu mulai menjalankan mobilnya.
Max mencoba lagi menarik tas kain itu dan kali ini berhasil. Max menarik nafas lega. Segera dibukanya, tas kusut itu untuk mencari dompet yang pasti berisi kartu identitasnya. Kemudian sudut matanya melihat selembar kertas yang dilipat, yang entah mengapa menarik perhatiannya. Ditariknya kertas itu dan dibukanya. Ada logo sebuah laboratorium terkenal, tertera disana.
"Jadi... dia juga akan mengikuti acara pemilihan konyol itu?" gumam Max sambil membaca sepintas hasil tes itu. "Masih perawan," lanjutnya dengan mengulum senyum. "Marigold Flora. Nama yang spesial."
"Sudah ketemu identitasnya, Tuan Max?" tanya Pak Umar yang memandang atasannya melalui kaca spion.
"Sudah," jawab Max pada Pak Umar, sambil melipat kertas itu dan mengembalikannya ke dalam tas kusut itu. "Tidak lama lagi, kita akan bertemu kembali, Marigold," ucapnya dalam hati.
Bersambung...
Nina baru saja menyelesaikan acara mandinya, ketika ponsel yang diletakkan di rak kaca wastafel, berbunyi. Nina segera membebat tubuhnya dengan handuk putih yang lebar dan besar. Diraihnya ponsel itu lalu menekan tombol hijau."Halo? Ada apa Marigold?" sapanya sambil membuka pintu kamar mandi lalu melangkah keluar."Saya Pak Umar. Bisa bicara dengan Nona Nina?""Pak Umar?" ulang Nina yang menurunkan ponselnya untuk mengecek nomer kontak sekali lagi. Benar, ini nomer ponsel Marigold, sepupunya. "Anda siapa? Kenapa ponsel sepupuku ada ditangan anda? Apa yang terjadi padanya?""Nina, ada apa dengan Marigold?" seru panik papa Nina yang tiba-tiba mendekati putrinya."Sebentar papa. Nina masih bicara nih, jangan menyela dong," omel sebal Nina sambil mendorong tubuh papanya yang mendekatkan kuping di ponsel yang diletakkan di telinga putrinya."Tapi papa harus tahu apa yang terjadi dengan keponakan tercinta papa," protes papa Nina yang dengan keras
Suara bising di sekitarnya terdengar mengganggu pendengaran Marigold yang sedang tertidur pulas. Perlahan, dibukanya kedua matanya dan langsung bertatapan dengan sebuket bunga mawar kuning yang diletakkan di meja, dekat dirinya berbaring."Bunga? Kenapa ada bunga di kamarku?" gumam Marigold yang disorientasi karena bangun tidur. Belum lagi ditambah rasa sakit di kepala, perih iya, pusing juga iya. "Aku ada dimana ya?""Marigold, kamu sudah bangun?"Kepala Marigold berputar ke arah sebaliknya dari dirinya berbaring, untuk melihat siapa yang berbicara padanya. Dan lagi-lagi dirinya melihat sebuket bunga yang.. berbicara? Marigold mengerutkan kening dan memiringkan kepalanya di bantal sambil berpikir keras. Well, apakah dirinya sedang berhalusinasi, melihat buket bunga yang bisa berbicara?"Siapa kamu? Kenapa bunga matahari bisa berbicara?" tanyanya linglung."Ck, apaan sih? Omonganmu semakin bertambah ngawur saja, Marigold. Kupikir kepalamu masih per
Ting-tong.Marigold membuka pintu apartemennya, namun langsung membantingnya kembali. Dan sayangnya, usahanya gagal. Pintu itu ditahan oleh tamu Marigold, yang kini memaksa masuk ke dalam apartemen.Marigold bersedekap dan bersandar di tembok, dekat pintu apartemen yang masih dibiarkannya terbuka. Marigold sama sekali tidak menyukai kehadiran si tamu yang kini sedang berjalan-jalan tanpa permisi, masuk ke area pribadinya serta memindai setiap sudut miliknya dengan raut tidak terbaca. Menyebalkan."Menurutmu, apa yang sedang kamu lakukan disini, Adam? Kamu bukan temanku. Dan sekarang kamu memaksa masuk ke dalam apartemenku. Itu adalah suatu kejahatan. Sekarang, mungkin aku harus menelpon pihak sekuriti untuk membawamu keluar dari apartemenku. Dan setelah itu, aku akan memanggil tim penyemprot hama, agar apartemenku terbebas dari virus.""Ck-ck.. Sudah lama tidak bertemu, masih saja bermulut tajam.""Untuk menghadapi orang asing dengan maksud tidak j
Pukul 19.00. Restoran Perancis.Maximilian bersama Martin masuk ke sebuah restoran Perancis, untuk makan malam bisnis bersama salah satu kolega bisnis, yaitu seorang ahli pembibitan parfum dari Perancis. Jalanan macet karena adanya penutupan beberapa ruas jalan utama menjelang akhir tahun, akibatnya Max terpaksa datang terlambat. Dan sebelumnya Martin, asisten pribadinya sudah mengabarkan keterlambatannya pada koleganya ini, sehingga laki-laki yang berkumis lebat ini bisa memahami alasan keterlambatan Max."Dia? Sedang apa dia disini?" gumam Max lirih ketika sudut matanya menemukan sosok yang familiar. Ck, apanya yang familiar. Dirinya baru bertemu satu kali, yaitu saat menyelamatkannya dari penjambret, beberapa hari yang lalu. Tanpa sadar, kaki Max berhenti melangkah. "Sungguh pertanyaan bodoh. Di restoran, tentu saja sedang makan malam," monolognya, merutuki dirinya sendiri."Siapa?" tanya Martin bingung. Asisten pribadi Max yang berjalan di sisinya, yang juga
"Sudah sampai, non," kata pak sopir sambil menoleh ke arah jok belakang mobil MPV hitam miliknya. "Ini uangnya, pak. Ambil saja kembaliannya," kata Marigold sambil memberikan sejumlah uang pada pak sopir online. Lalu membuka pintu mobil dan menggeser tubuhnya untuk keluar dari mobil. Si bapak segera menghitung uang, lalu mendongak dan menatap penumpangnya. "Tapi ini uangnya kurang, non." "Benarkah, pak? Masa sih kurang? Aku sudah menghitung uangnya dengan benar lo," bantah Marigold sambil mengerutkan kening, mengingat-ingat antara total tagihan dan jumlah uang yang dibayar. "Benar non. Bapak ini kerja cari duit dengan jujur. Untuk apa makan uang haram?" protes pak sopir dengan wajah memelas sambil menunjukkan uang yang telah dibayarkan oleh Marigold. "Dasar," gerutu Nina, sepupu Marigold kesal. "Kurangnya berapa, pak?" "Enam ribu, non." Nina berdecak semakin keras dan melotot tajam pada Marigold yang sedang berpikir keras, enta
The Alexander's Hotel. Marigold turun dari taksi, lalu memasuki lobi hotel 'The Alexander's Hotel', tempat diadakannya acara pemilihan gadis untuk sang milyader, dengan percaya diri. Nafasnya tercekat melihat kemewahan yang ditawarkan oleh hotel ini. Bukan hanya dirinya saja yang manik matanya membelak takjub serta mengeluarkan seruan 'wow' ketika memindai setiap sudut lobi hotel ini, namun hampir sebagian besar para tamu yang datang merasa silau dengan kemewahan. Baru kali ini, Marigold menginjakkan kaki di tempat seglamor ini. "Wow, mimpi apa aku semalam, sehingga aku bisa menginjakkan kaki disini, tanpa harus takut diusir sekuriti," bisik Marigold yang berulang kali menyesap air liurnya karena sangat terpukau dengan bangunan istimewa ini. Hotel nan megah ini dikelilingi oleh pasir putih, yang katanya diterbangkan langsung dari luar negeri. Pantai buatan itu membuat hotel super mewah ini seakan berada di pulau pribadi. Saat memasuki lobi hotel, para tamu ak
Stempel 'tidak lolos' sudah akan ditempelkan pada berkas milik si gadis karate yang unik itu, ketika ponsel miliknya berdering dengan nada pesan masuk. Stempel itu diletakkan terlebih dahulu. Pesan masuk harus segera dibuka, karena siapa tahu ada instruksi penting dari atasan. Pesan dibuka. "Siapa pun yang menerima gadis yang bernama 'Marigold Flora', petugas itu harus me-LOLOS-kan nya. Tidak peduli, jika gadis itu mendapatkan peringkat paling bawah. Status LOLOS harus diberikan. Ini adalah perintah langsung dari atasan. Yang melanggar, otomatis dipecat." Staf yang menerima wawancara dengan gadis bernama Marigold Flora, langsung tercengang syok hingga lupa bernafas. Dilihatnya sekali lagi dokumen yang berisi data pribadi dari si gadis karate. "Yang benar saja, wajah dan body standar, sama sekali tidak ada yang istimewa. Kepribadian pun juga tidak memuaskan. Disuruh jalan cantik saja tidak bisa, bagaimana mungkin menjadi finalis gadis untuk sang milyad
"Tuan Martin," panggil seorang sekuriti. Laki-laki yang dipanggil sebagai Tuan Martin menjawab, "Ada apa?" "Ada keributan di ruang kesehatan." "Keributan?" ulang Tuan Martin heran. "Keributan apa?" "Ada seorang gadis yang tiba-tiba dikeroyok sekelompok gadis berjumlah empat orang. Ini rekaman CCTV nya," lapor sekuriti itu sambil menunjukkan rekaman itu di tabletnya. Alis Tuan Martin berkerut hingga menyatu di tengah pangkal hidung ketika melihat adegan bag-big-bug. Seorang gadis yang seorang diri dikeroyok oleh empat orang gadis lain. "Astaga ini..," bisiknya pelan terkejut. "Antarkan aku kesana sekarang," perintahnya lanjut. "Mari ikut saya, Tuan Martin." Kemudian.. Cklek. Pintu ruangan kesehatan itu terbuka. Suara terkesiap terdengar dari Tuan Martin dan sekuriti itu, saat melihat empat gadis yang terkapar disana. Ada yang masih terbaring di lantai sambil meringkuk kesakitan. Dua lainnya bersandar di dinding dan menge