Share

Minta Mahar

"Nggak salah kamu, meminta mahar dan uang hantaran sebanyak itu?" tanya Ibu dengan suara naik beberapa oktaf. 

Wajahnya memerah, kedua tangannya mengepal sempurna. 

"Enggak, lah. Tapi tadi Ibu sendiri yang menyanggupi permintaanku!" ucapku menyindirnya. 

Ibu semakin melebarkan matanya. Bibirnya sudah miring ke kanan dan ke kiri. Kena mental, nggak tuh? 

"Ibu bayangkan saja, berapa uang yang akan saya hasilkan selama menjadi istri Mas Adi. Usia saya saat ini, tiga puluh tahun. Kalau menurut dengan umur nabi, berarti sisa tiga puluh tiga tahun lagi. Nah, selama itu pula, saya akan bekerja mencari uang dengan penghasilan dua juta sebulan, di kali setahun sudah tiga puluh juta, sepuluh tahun sudah berapa, dan tiga puluh tahun sudah berapa? Belum lagi, saya di rumah sudah bisa menjadi babu gratisan, yang bisa mencuci, memasak, menjaga anak, serta mengurus kebutuhan lahir batin Mas Adi.

Coba saja kalau Mas Adi menyewa pengasuh anak, sebulan gajinya saja sudah dua juta lebih, ART sebulan gajinya sudah setara dengan UMR, belum lagi jika kebutuhan mendesak Mas Adi sebagai laki-laki harus dipenuhi. Jika jajan diluar, paling murah 300 ribu sekali kencan, dikali saja sebulan sepuluh kali, sudah tiga juta. Bisa bayangkan, berapa uang yang harus dikeluarkan hanya untuk jajan saja selama setahun, dan sampai tiga puluh tahun ke depan kan? Belum lagi kebutuhan sehari-hari. Setidaknya, penghasilan Mas Adi, harus mencapai tiga puluh juta untuk memenuhi itu semua. Jika menikah denganku, gaji lima juta Mas Adi, sudah cukup untuk semuanya.

Jadi tidak rugi jika Mas Adi, dan Ibu memberikan saya mahar dan uang hantaran sebanyak itu." Aku mengukir senyum setelah selesai berkata panjang lebar. 

Pusing, pusing, lah situ! Merinci semuanya.

"Wahhh, memang sudah g*la, kamu!" Wanita itu menggelengkan kepalanya. "Dari pada mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk melamar janda seperti dirimu. Lebih baik aku belikan Sapi uang sebanyak itu," sambungnya seraya tersenyum sinis padaku. 

"Bilang saja, tidak sanggup. Banyak sekali alasannya!" sungutku. 

"Jelas saja tidak sanggup. Uang sebanyak itu, kok dapatnya janda. Minimal gadis lah, kalau tidak janda kaya raya. Bukan janda kismin seperti kamu!" bentak Ibu.

hayalannya terlalu tinggi. Gadis mana yang mau menikah dengan duda yang rumah tangganya masih diatur oleh ibunya?

Janda kaya raya juga tidak akan mau jika mempunyai suami yang hanya numpang hidup padanya. Terlalu percaya diri, nih, manusia. 

"Hahahah. Makanya, Bu. Jadi manusia itu, harus sadar diri. Jika sudah tidak punya harga diri, setidaknya masih bisa tau diri saja lah. Mentang-mentang saya janda, kok mau seenaknya saja sama saya. Emang Ibu pikir saya bodoh? Emang Ibu pikir, saya sangat tergila-gila pada anak Ibu itu? Asal Ibu tau saja, ya! Saya tidak akan mengorbankan kedua anak saya hanya demi lelaki. Sudah susah payah saya melahirkan kedua anak saya sampai bertaruh nyawa. Eehh, seenaknya saja kalian meminta saya untuk menelantarkannya begitu saja. Belum tentu di hari tua saya nanti, anak Mas Adi mau mengurus dan menganggap saya sebagai Ibunya. Lebih baik, saya menjanda seumur hidup dari pada meninggalkan kedua anak saya.

Saya sudah memiliki penghasilan, jadi saya tidak terlalu butuh dengan pasangan. Untuk apa punya pasangan, jika hanya bisa menyusahkan. Saya menikah, untuk meringankan beban, bukan malah menambah beban." Aku bersiap hendak berdiri. Lama-lama di sini, bisa bikin Ibunya Mas Adi semakin naik darah karena semua ucapanku. 

"Mulutmu itu, tidak pernah diajarkan sopan santun? Berani sekali kamu mengatakan sata tidak punya harga diri!" teriaknya marah. 

"Saya, hanya diajarkan sopan santun kepada seseorang yang juga sopan ke pada saya!" Aku sudah berhasil berdiri. 

"Dit, jangan begitu, dong. Katanya kamu mau menjadi istrinya Mas, dan katanya kamu mau menganggap ketiga anak Mas, sebagai anakmu juga. Tolong jangan begini, Mas sangat membutuhkanmu. Sudah bosan rasanya selama dua tahun menjadi duda." Mas Adi mencekal pergelangan tanganku dan menahannya. 

"Nggak jadi, Mas! Aku sudah tak berminat menjadi istrimu. Cari saja wanita lain yang bisa kamu manfaatkan!" ucapku ketus, seraya melepaskan cekalannya. 

"Jangan gitu, dong, Dit. Apa kamu sudah lupa dengan semua janji-janji kita?" tanyanya masih berusaha menahanku. 

"Semua perjanjian kita, BATAL!" jawabku ketus, seraya menghentakkan tangan agar terlepas darinya. 

Ya, aku memang pernah berjanji padanya saat itu. Aku berjanji untuk hidup dan menua bersama, setelah sama-sama gagal dalam kehidupan rumah tangga.

Tapi ternyata, semua diluar ekspetasiku. Harapanku hancur sudah, mendengar ucapan Ibunya. Bukannya membela, Mas Adi malah menyetujui ucapan Ibunya yang tidak masuk akal itu. Setidaknya dia bisa mengatakan pada Ibunya jika kami akan membesarkan anak bersama-sama. Bukannya malah bertanya bagaimana pendapatku. 

Aku tidak masalah jika harus bekerja setelah menikah. Tapi, jangan pula aku diminta untuk meninggalkan kedua buah hatiku, permataku, belahan jiwaku.

Aku bisa hidup tanpa suami. Tapi tanpa anak, aku tidak akan bisa. Lebih baik sendiri daripada harus meninggalkan mereka. Anak baik hatiku, yang selalu tau bagaimana keadaan ibunya. Tidak banyak menuntut, dan selalu menurut.

"Kamu tidak bisa membatalkan secara sepihak dong, Dit. Kita berjanji bersama-sama. Jadi harus memutuskannya bersama juga," ucapnya dengan wajah memelas. 

"Sudah lah, Adi. Biarkan saja dia pergi. Untuk apa ditahan! Macam tidak ada perempuan lain saja!" sungut wanita paruh baya itu.

"Tuh, dengar kata Ibumu. Bukan kah surgamu ada pada Ibumu?" Aku tersenyum miring, melihat Mas Adi yang kebingungan. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status