Share

6. Salam Damai

Bel tanda istirahat berdering. Dengan cepat Era dan teman-temannya bergegas ke kantin untuk menyerbu makanan. Era tidak sempat sarapan tadi karena takut jika akan terlambat upacara. Dia masih trauma dengan hukuman yang diberikan Aksa sampai membuatnya tidak bisa tidur semalaman.

Belum sempat memesan makanan, Lala datang dan menepuk bahunya pelan, "Jangan makan dulu. Lo dipanggil sama Pak Herman."

"Pak Herman?" tanya Era bingung, "Ngapain? Kan gue nggak telat hari ini?"

"Nggak tau, cepet sana udah ditunggu."

Dengan kesal, Era berbalik untuk menuju ruang konseling. Bibirnya menggerutu dengan kesal. Kenapa tidak saat pelajaran saja Pak Herman memanggilnya? Seharusnya di waktu istirahat ini Era bisa menikmati makanannya dengan nyaman.

"Siang, Pak." Era mengetuk pintu sebelum masuk ke dalam ruangan. Saat sudah berada di dalam, Era paham kenapa Pak Herman memanggilnya.

"Siang," sapa Aksa tersenyum melihat kedatangan Era. Namun Era tahu jika senyum itu adalah senyum mengejek. Tidak ada Pak Herman di ruangan itu, hanya ada Aksa yang duduk santai dengan tangan yang terlipat di dada.

"Mana tugas kamu? Sudah selesai belum?"

Bener kan? Pasti tagih tugas, batin Era.

"Kok sekarang sih, Pak? Saya kan mau makan," ucap Era kesal.

Aksa melirik jam tangannya sebentar, "Saya cuma ada waktu sampai jam istirahat selesai."

"Tapi saya laper." Era masih berusaha untuk bernegosiasi demi kesejahteraan perutnya.

Senyum Aksa menghilang, "Makanya, bawa tugas kamu ke sini biar cepet selesai!"

Era mengerucutkan bibirnya dan berlalu untuk mengambil tugasnya. Lagi-lagi dia mengumpat karena tingkah Aksa yang menyebalkan. Kenapa pria itu selalu membuatnya naik darah? Sebenarnya apa salahnya? Tak ingin berlama-lama, Era segera kembali ke ruangan konseling. Di sana Aksa masih sendiri dan terlihat sibuk dengan ponselnya.

"Ini tugas saya, Pak." Era meletakkan tugasnya di atas meja.

Aksa mengambil tugas Era dan melihat judulnya sebentar. Setelah itu dia membacanya cepat. Hal itu membuat Era sedikit was-was, takut jika Aksa kembali mencari kesalahannya.

"Gimana?" tanya Aksa tanpa mengalihkan pandangannya dari tugas Era.

"Gimana apanya, Pak?"

"Udah kapok belum?" Aksa mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis.

"Kapok banget, Pak! Nggak lagi-lagi saya berurusan sama Pak Aksa." Era berucap jujur. Dia memang jera, tugas yang diberikan Aksa cukup menguras pikiran dan waktunya.

"Saya lakuin ini bukan karena iseng, tapi biar kamu disiplin sama peraturan yang ada."

"Saya paham kok, Pak. Tapi saya beneran nggak ada niatan buat telat atau melanggar aturan. Kalo ditanya, saya juga punya alasan kok, Pak. Buktinya Pak Wijaya paham sama kondisi saya."

"Buat saya paham kalau gitu.”

Era mengangkat kepalanya dan menatap Aksa terkejut. Dia hanya asal bicara tadi agar mendapat simpati Aksa, tapi ternyata pria itu berbeda dengan Pak Wijaya, "Saya harus jaga dan urus adik-adik saya, Pak. Kalo bisa, saya lebih duluin kepentingan mereka dari pada saya sendiri. Pak Wijaya juga minta saya buat jagain adik-adik, itu pesan terakhir beliau buat saya."

"Buat apa Papa saya kasih pesan itu ke kamu?" tanya Aksa bingung.

Era terkekeh pelan. Sepertinya Aksa belum tahu jika Era adalah salah satu anak penghuni panti. Gadis itu tidak berniat memberi tahu Aksa, toh tidak ada untungnya juga. Aksa bukan Pak Wijaya dan Era tidak memiliki kedudukan istimewa lagi.

"Kenapa, Ra?" tanya Aksa penasaran.

"Udah dibilang Pak Wijaya sayang sama saya, Pak."

Aksa berdecak, "Saya serius, Era. Atau jangan-jangan kamu ada apa-apa sama Papa saya?”

"Astagfirullah! Pak Aksa mulutnya asal banget. Gini-gini saya masih doyan yang krispi, Pak!"

Aksa menghela napas lelah dan kembali bersandar pada kursi. Percuma dia mengorek informasi dari Era. Gadis itu tidak akan mau berbicara dan menjelaskan semuanya. Aksa sudah paham dengan sifat aneh Era.

"Pak Aksa laper nggak?" tanya Era tiba-tiba.

"Kenapa?" tanya Aksa sedikit kesal.

"Makan yuk, Pak. Saya laper."

Alis Aksa terangkat mendengar itu. Lagi-lagi keberanian Era membuatnya tercengang. Bisa-bisanya ada gadis aneh seperti Era yang mengesampingkan tata krama dan kesopanan. Tidak, Aksa tidak gila hormat. Dia hanya merasa aneh dengan sikap Era yang tidak pernah merasa sungkan padanya.

"Kamu makan aja sendiri. Saya harus ke kantor."

"Jangan dulu. Saya mau traktir Pak Aksa nasi gorengnya Bu Rahmi. Itung-itung buat tanda minta maaf saya ke Pak Aksa. Enak tau, Pak. Sebentar ya, saya pesenin dulu di kantin. Pak Aksa jangan ke mana-mana."

Tanpa menunggu Aksa menjawab, Era dengan cepat keluar ruangan dan berlari menuju kantin. Sebenarnya Aksa juga lapar dan dia masih ada sedikit waktu sebelum kembali ke kantor. Namun dia terlalu malas berlama-lama dengan Era. Gadis itu selalu bertingkah sesuka hati. Aksa harus ekstra sabar menghadapi tingkah bar-bar Era.

Sepuluh menit menunggu, pintu ruangan terbuka dengan keras. Era masuk dan tampak kesulitan dengan dua piring dan dua air mineral di pelukannya. Melihat itu, Aksa berdiri dan membantu Era meletakkan makanan di atas meja.

"Cepet kan, Pak? Tadi saya minta diduluin, istimewa buat Pak Aksa." Era berucap sambil tertawa.

"Oh, jadi kamu sengaja pake nama saya biar nggak antri?"

Era terbatuk saat baru memakan satu sendok nasi gorengnya. Dia menatap Aksa dengan dahi yang berkerut, "Pak Aksa jahat banget sih. Kita memang sering ribut kalo ketemu, tapi bukan berarti saya nggak bisa baik. Anggap aja traktiran ini salam damai dari saya."

Aksa tidak akan tertipu dengan nada memelas yang Era gunakan, "Jadi kamu nggak manfaatin nama saya?" tanya Aksa sekali lagi sambil meraih piringnya.

"Dikit sih, Pak. Udah laper soalnya." Era tertawa dan mulai memakan makanannya.

Aksa hanya menggeleng pasrah. Terlalu sering berdebat dengan Era membuatnya kebal. Itu memang sudah karakter gadis itu, akan sulit mengubahnya. Setidaknya dengan hukuman yang ia berikan, Era mulai jera untuk tidak melanggar peraturan.

***

Kesibukan Aksa membuatnya lembur lagi hari ini. Jam sudah menunjukkan pukul enam malam, dan dia masih berada di kantor dengan komputer yang menyala. Aksa menghentikan kegiatannya saat merasakan ponselnya bergetar. Saat melihat nama ibunya, dengan cepat Aksa mengangkat panggilan itu.

"Ya, Ma?"

"Kamu di mana, Sa? Kok belum pulang?"

"Masih di kantor, lembur kayanya. Kenapa, Ma?"

"Jangan lembur dulu malem ini. Ayo anter Mama ke panti."

Aksa mengusap wajahnya lelah, "Mau ngapain ke panti malem-malem, Ma?"

"Mau anter bahan makanan, Sa. Sekalian makan malem sama anak-anak. Kegiatan rutin tiap bulan."

"Nggak bisa Mama aja yang dateng?" tanya Aksa sambil memejamkan matanya. Dia terlalu lelah dan malas untuk beranjak dari kursi.

"Ayo, ikut. Bian juga mau ikut nih. Sekali-kali kamu harus liat anak-anak di sana."

Aksa kembali membuka matanya dan mengangguk, "Oke, aku pulang sekarang."

Begitu telepon terputus, Aksa berdiri dan merenggangkan punggungnya yang terasa kaku. Benar kata ibunya, sesekali dia harus melihat keadaan anak-anak. Panti adalah tempat kesukaan ayahnya selain sekolah, tentu Aksa harus mengurusnya dengan baik.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status