“Apa yang ingin kamu bicarakan, Sayang?” tanya Fahaz pada putrinya. Netranya mengawasi halaman depan. Gadis itu berjalan menuju ke arah pintu. Menguncinya agar tidak ada yang menguping. Dia yakin sekali, ibu dan saudara tirinya mengawasi gerak geriknya. Dibelakangnya, mereka bertindak seperti musuh. “Pa, aku mau minta izin ke Papa, untuk tinggal sementara di rumah Emily.” Wajah Fahaz seketika berubah muram. “Kenapa? Apa kamu tidak betah tinggal di sini? Apa karena Papa terlalu mengekang kamu?” Faleesha menggeleng pelan. “Tidak, Pa. Bukan itu. Aku hanya butuh tempat untuk diriku sendiri-”“Papa tidak tahu bagaimana rasanya jadi aku, Papa tidak tahu bagaimana sulitnya Faleesha menerima keluarga ini sejak dulu.” Gadis itu menghela napas panjang.“Aku mohon, Papa jangan salah paham. Aku hanya ingin jujur tanpa menyakiti siapa pun.”Faleesha berusaha memberi pengertian. “Mami Ervina memang baik, Angela juga baik, tapi aku masih belum selesai dengan diriku sendiri, luka yang memb
Keesokan harinya…Faleesha berpamitan pada ayahnya. Dia berjanji akan menjenguk Fahaz dua hari sekali asalkan diizinkan tinggal bersama Emily. Sebelum pergi, Faleesha juga berpesan pada pembantunya agar menghubunginya diam-diam jika sesuatu terjadi pada ayahnya. Atau gerak gerik ibu dan saudara tirinya mencurigakan. Takutnya mereka membuat masalah setelah kedatangannya. “Mi, gimana orang-orang Mami? sudah disiagakan belum? Si anak kesayangan itu harus kita beri pelajaran,” bisik Angela. Mereka sudah mengatur strategi untuk melukai Faleesha. “Sst, jangan keras-keras, nanti Papamu dengar, Mami yang kena.” Ervina melekatkan jari telunjuk ke bibirnya sendiri. “Mami curiga, apa jangan-jangan Tuan Sanders juga dibohongi oleh Faleesha-”“Sampai dia mudah sekali mengizinkan gadis pembawa sial itu keluar,.” Ervina tampak gelisah. Seharusnya Faleesha- tetap hidup dalam kurungan mansion mewah itu. Dia yakin, Sanders tidak memperlakukannya dengan baik. “Nah ‘kan, Mi. Apa kataku!” se
Faleesha berjalan menghampiri Eric yang sudah menunggunya sejak tadi.Seperti biasa, kekasihnya itu selalu kelihatan segar dan tampan. “Kau antusias sekali ya bertemu dia sampai setengah berlari seperti ini?” tanya Emily.Pasalnya Faleesha berjalan tergopoh-gopoh seperti dikejar waktu. “Aku sudah lama tidak bertemu dengannya,” balas Faleesha. Langkahnya semakin cepat. Emily hanya menggeleng pasrah. Dalam kamus hidupnya memang tidak ada yang namanya cinta. Dia tidak pernah merasakan tertarik pada seorang pria. “Aku mohon, kau mengantarku sampai sini saja supaya Eric tidak curiga.”Faleesha menelangkupkan tangannya ke dada, sebagai permohonan. Emily menghela napas panjang. “Baiklah.”Merepotkan musuh orang yang sedang jatuh cinta. Faleesha semakin mendekat dan menepuk bahu pria itu perlahan. Eric serta Merta menoleh dan tersenyum lebar, kemudian memeluk Faleesha erat. “Sayang, aku rindu sekali,” ucapnya. Faleesha berusaha tegar. Padahal selama ini hanya kepada pria inilah t
“Seharusnya kita sudah sampai di mansion sekarang,” ujar Emily cemas. Setelah bertemu dengan Eric, Faleesha dan rombongan bergegas pulang. “Yang penting 'kan sekarang sudah perjalanan pulang,” balas Faleesha. “Tuan Sanders menghubungi Nick, kedengarannya marah besar.” Emily mulai cemas. “Benarkah? Kenapa kau tidak beritahu aku tadi?” Faleesha ikut gelisah. “Kata kamu aku tidak boleh mendekat, kan? Nomormu saja aku tidak tahu.” Faleesha menepuk keningnya perlahan. “Maaf aku lupa memberi tahu.” “Tidak apa-apa, Nona. Bukan salah anda.” Nick menimpali. “Saya sudah katakan pada Tuan, kita segera pulang.”“Paling juga kita dihukum seperti biasanya,” timpal Emily dengan enteng. “Hukuman apa?” tanya Faleesha. Dia heran, kenapa Sanders hobi sekali menghukum bawahannya. “Yah, palingan hukuman-”“Sudah cukup, Emily. Berhenti menakut-nakuti Nona Faleesha,” sela Nick. Pria itu kelihatan simpati pada Faleesha sejak awal. “Aku tidak menakut-nakutinya. Memang sudah konsekuensi kita,
Seperginya Faleesha…Fahaz merasa hatinya semakin hampa. Masih berbekas kerinduan pada putri tercintanya. Dia tidak pernah merasa rumah seperti tempat kosong yang terbengkalai. Mungkin seperti inilah perasaan Faleesha saat Fahaz mengusir ibunya dari rumah dua belas tahun yang lalu. Pria paruh baya itu masih menyembunyikan kejadian yang sebenarnya. Dia memijit pelipisnya, pusing mulai mendera. Kira-kira apa yang membuat Faleesha memutuskan untuk tinggal di rumah temannya? “Sayang.”Rupanya Ervina telah berdiri di belakangnya. “Kok belum tidur sih, ini sudah malam lo,” lanjut dia. Fahaz menampik tangan istrinya yang berada di pundak. Tentu saja hal itu mengejutkan Ervina. Tidak biasanya suaminya bersikap seperti ini. “Aku kepikiran Faleesha.”Fahaz masih menatap jalanan kosong. “Em, jadi itu yang buat kamu nggak bisa tidur? Aku juga menyayangkan sikap Faleesha, tapi-”“Kita nggak bisa melarang dia, Sayang.” Wanita itu kembali memainkan perannya. Pura-pura peduli. Fahaz b
Faleesha mondar mandir di dalam kamarnya. Harus ada jalan supaya dia bisa keluar dari sini, gagal tidak membuatnya berkecil hati. Ingin rasanya Faleesha menampar wajah Angela karena dia hidupnya semakin rumit. “Sudah saatnya kamu mendapat balasan, Sanders,” batin Faleesha. Rupanya dia masih menyimpan kebencian karena gagal kabur. Gadis itu meraih suitcase miliknya. Dia membuka kotak obat yang dibawanya. “Nah, ini dia!” Faleesha mengeluarkan serbuk dalam botol kecil. Dia dapatkan dari salah satu temannya. Sepertinya obat ini akan berguna. Kemudian melangkah menuju dapur. Dilihatnya Beatrice sedang mengkoordinir para maid yang ada di dapur untuk menyiapkan makanan. “Nona, kenapa anda kemari? Anda bisa panggil saya sewaktu-waktu kalau perlu apa-apa.”Sanders tidak mengizinkan Faleesha membantu di dapur. “Tidak apa-apa, aku hanya bosan di kamar terus.” Falisha menekuk wajahnya. “Baiklah, silahkan duduk, Nona. Ada yang ingin anda makan?” tawar pelayan itu. “Tidak, aku masih
“Aku bukan kelinci percobaan!” jerit Faleesha kesal. Dia meronta. Namun, selalu saja tidak berhasil. “Jangan mengurungku terus menerus.” Gadis itu terduduk lemas begitu Sanders melepas genggamannya. “Sudah kukatakan berapa kali, hah?” Sanders menarik wajah Faleesha mendekat padanya. Lagi-lagi, pria itu mempermainkan ketakutannya. Seolah ingin mengintimidasi.Namun tidak ada kekerasan sama sekali. Hembusan napas kasar terdengar jelas dan menerpa daun telinga Faleesha. “Kamu tidak akan bisa keluar dari sini tanpa izin dariku,” lanjut Sanders. Wajahnya tersenyum penuh kemenangan. Setelah mengatakan hal itu, Sanders pun meninggalkannya. “Dasar, pria gila,” rutuk Faleesha. Merasakan kekesalannya sudah memuncak. Sudah tak ada bedanya dia dengan tawanan. Faleesha mengambil ponselnya, mengalihkannya ke mode silent. Tiba-tiba, nama Amber muncul di benda pipih yang dia pegang. Sahabatnya itu melakukan panggilan. Gegas dia menjawabnya. “Halo,” sapanya.Tangisnya hampir saja mele
Pagi hari, Sanders menyempatkan diri menengok Faleesha. Dia masih tertidur pulas dengan mata sembab. Wajahnya sangat manis dan teduh. Membuat siapa pun yang memandangnya akan jatuh cinta. Usianya juga masih sangat belia, tiba-tiba saja, ada desir aneh dalam dadanya setiap kali bersitatap. “Tuan, mobil anda sudah siap,” ujar Nick mengingatkan. “Ya, aku segera berangkat.” Sanders melangkah keluar dan menatap sekilas wajah Faleesha. “Apa mungkin aku terlalu keras padamu?” batin dia. Pria itu bergerak menuju mobil pribadi. Dia harus ke perusahaan pagi-pagi sekali. Ponselnya masih terus berdering. Tetap saja nama wanita itu yang tertera. Sanders terpaksa menjawab panggilan karena berisik. “Apa kau tidak punya kerjaan selain menggangguku?” “Sanders…,” lirih wanita tersebut merayu. “Aku hanya ingin memberimu hadiah. Apa kamu tidak merindukanku setelah lama kita tidak ketemu, hm?” Sanders menghela napas berat. Wanita satu ini tidak pantang menyerah. Dia terus nempel padanya s