“Duduklah, Grisse. Mari kita mulai belajar.” Vidwan membuka buku catatan yang dipegangnya. Ketika Grisse sudah benar-benar duduk, gadis itu tidak tahu juga tidak sadar jika Vidwan terlihat sangat menikmati pemandangan di sampingnya meskipun ia hanya melihat melalui sudut matanya. Pemandangan Grisse yang duduk dengan belahan depan kemeja yang terbuka membuat darah Vidwan berdesir. Oh… jiwa lelaki Vidwan meraung kembali. Tidak tahan dengan apa yang tersaji di dekatnya.
Vidwan berdeham sehingga Grisse menoleh ke arah lelaki itu.
“Kau sudah bisa menulis menggunakan aksara Devanagari?” Tanya Vidwan tanpa melihat Grisse. Vidwan membuat dirinya terlihat sedang sibuk membaca catatan miliknya, yang ia sangga dengan tangan kirinya. Grisse mengangguk, namun seketika ia sadar bahwa sang guru tidak melihatnya. Grisse pun mengulangi jawabannya
“Well, karena kamu sudah bersedia. Ayo kita lanjutkan belajarnya.” Vidwan beranjak dari posisinya diiringi tatapan penuh tanya dari Grisse. Grisse sempat menoleh ke sisi kanan, melihat jam yang berada di atas meja dekat ranjang Vidwan.Pukul dua puluh dua lebih lima belas menit.Sudah malam begini dan Vidwan masih ingin mengajaknya belajar? Grisse mendesah guna melepaskan keluh kesah yang tentu saja tidak mungkin dikatakan pada Vidwan secara langsung. Grisse sudah merasa penat sejak tadi. Tadi siang ketika ia baru saja menginjakkan kakinya di kampus, Grisse sempat berkeinginan untuk segera kembali ke asrama. Ya, ia ingin beristirahat di kamar asramanya lebih awal. Berharap tubuhnya bisa lebih segar untuk beraktivitas besok.Grisse memang sudah datang ke negara ini sejak tiga hari yang lalu. Namun t
Vidwan tertegun beberapa saat. Ia merasa tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya.Benarkah apa yang baru saja ditangkap indera pendengarannya?Benarkah Grisse menuntut yang lebih lagi?Benarkah itu yang dikatakan Grisse?Benarkah?Benarkah?Kepala Vidwan dipenuhi berbagai pertanyaan yang ia lontarkan hanya untuk dirinya sendiri.Vidwan berdeham untuk memecah keheningan di antara dirinya dan Grisse."Vidwan…." Panggilan Grisse membuat Vidwan tanggap. Untuk sesaat ia menghentikan gerakan tangannya."Iya, Grisse."
Vidwan sempat terheran-heran melihat ekspresi wajah Grisse yang meskipun hanya menunjukkan seulas senyum tipis, tapi Vidwan tahu bahwa hati Grisse sedang berbunga-bunga.Tentu saja.Gadis mana yang tidak berbunga-bunga jika seorang laki-laki dengan latar belakang seperti Vidwan telah melamarnya. Seorang dosen yang sudah jelas pintar serta tampan. Benar-benar kombinasi dambaan Grisse.Ya, Vidwan telah melamar Grisse. Tak tanggung-tanggung, laki-laki dengan usia yang terpaut dua puluh tahun dengan Grisse itu baru saja memintanya untuk menjadi istrinya.Ya, bukan menjadi kekasih atau pacar, tapi istri.Bukankah kedudukan seorang istri lebih baik daripada kekasih?Tentu saja.
“Tunggu, kamu mau ke mana?” Tanya Grisse sambil menahan pergelangan tangan Vidwan. Yang ditanya hanya mengulas senyum tanpa mengatakan apa pun. Vidwan mengangkat tangannya yang tengah digenggam Grisse kemudian membawanya mendekat ke arah bibirnya.Cup.Sebuah kecupan lembut didaratkan Vidwan ke punggung tangan Grisse.“Aku akan menyiapkan air hangat untuk kita berendam.” Vidwan kembali mengecup tangan Grisse kemudian mengurai genggaman tangan gadis itu perlahan.“Tidak bisakah kita berendam setelah kita… melakukannya?” Grisse ragu-ragu menyelesaikan kalimatnya. Wajahnya kembali bersemu kemerahan.“Berendam di air hangat yang bercampur aromaterapi a
“Kenapa kau terus merajuk, Grisse?” Tanya Vidwan sambil mengulum senyum.“Aku tidak merajuk. Aku hanya ingin kita segera selesai berendam.”“Hey, kamu sudah tidak sabar ya?” Vidwan menjawil dagu Grisse. Dengan polosnya Grisse mengangguk. Vidwan terbahak. Ia senang melihat reaksi polos Grisse.“Mana yang kamu ingin lakukan terlebih dulu, bercinta di kamar mandi atau di atas ranjang.”“Tentu saja di ranjang.” Sergah Grisse cepat. Vidwan pun kembali terbahak mendengarnya.Vidwan kemudian mengambil spons mandi yang berada di sisi kanannya. Dengan perlahan ia menggosok punggung Grisse sambil menggoda puting gadis itu.&l
“Kau lelah?” Tanya Vidwan sambil membelai punggung Grisse yang berbaring memunggunginya. Grisse mengangguk lemah. Tentu saja ia kelelahan. Entah sudah berapa kali Vidwan membuatnya mereguk kenikmatan bercinta. Meraih puncak kenikmatan bersanggama jauh lebih banyak daripada lelakinya. Vidwan memang piawai membuat Grisse orgasme. Dan kini, sambil berbaring miring membelakangi Vidwan, Grisse berpikir tentang kepiawaian Vidwan dalam bercinta. Entah sudah berapa kali Vidwan bercinta selama ini. Sudah berapa banyak wanita yang ia puaskan seperti dirinya.Menyadari kenyataan bahwa tentunya ada banyak sekali wanita yang mengerang di bawah kungkungan Vidwan serta meneriakkan nama laki-laki itu membuat Grisse sedih.“Vidwan...” panggil Grisse masih tetap pada posisinya. Vidwan tidak menyahut. Yang dilakukan lelaki itu adalah menarik Grisse kemudia
“Bisakah kau sedikit bersabar, Grisse?” Tanya Vidwan dengan nada tidak suka. Vidwan benar-benar kesal karena Grisse terus menanyakan kepastian kapan mereka akan menikah. Jika Vidwan tidak salah menghitung, sepagi ini saja sudah lima kali Grisse menanyakan hal yang sama. Vidwan tahu bahwa Grisse tengah merasa bersalah dengan keputusan yang telah diambilnya. Masih menurut dugaan Vidwan, Grisse juga ketakutan. Ketakutan yang disebabkan oleh rasa khawatir yang terus memenuhi hatinya. Tanpa Grisse sadari, rasa takut yang terus ia pupuk melahirkan keraguan yang justru semakin menyiksa dirinya.Grisse meragukan kesungguhan Vidwan. Gadis itu akhirnya meyakini satu hal yang tidak menyenangkan bahwa Vidwan tengah berusaha lari dari tanggung jawab. Padahal, seandainya Grisse tahu, tidak pernah sedikit pun terlintas dalam hati juga otak Vidwan bahwa ia akan meninggalkan Grisse. Sungguh Vidwan telah j
Grisse mengempaskan tubuhnya ke atas ranjang berukuran sembilan puluh kali dua ratus sentimeter di kamar asramanya. Gadis itu sengaja berbaring dengan posisi tengkurap karena ingin membenamkan wajahnya sedalam mungkin. Setelah beberapa saat, tangan Grisse meraba-raba area di atas kepalanya. Begitu telapak tangannya menyentuh bantal yang letaknya tidak terlalu jauh dari atas kepalanya, Grisse kemudian meraih bantal itu. Ia pun kemudian mengubah posisi tidurnya menjadi telentang. Diletakkannya bantal tepat di bawah kepalanya. mata Grisse menatap nanar langit-langit kamar asramanya yang berwarna putih kusam.Lama Grisse menatap langit-langit kamar sambil sesekali mengedipkan matanya. Lambat laun, kedipan mata Grisse semakin cepat. Gadis itu berusaha menahan titik-titik air yang telah menggenangi kelopak matanya. Air mata pun meluncur cepat ke arah samping. Beberapa di antaranya terkumpul di cekungan daun teli