Steve melenggang ke meja Titania, dia sempat melongok ke dalam Sekat kaca, lalu bertanya pada Titania yang masih mengetik sambil melihat layar komputer."Tit, bos ada? Tanya Steve."Tadi keluar sama klien pak.""Oh," Steve mengangguk, lalu kemudian dia kembali keruangannya. Steve diam, wajahnya terlihat keruh, lalu kemudian dia mendesah dan akhirnya mengambil jas kerjanya lalu pergi keluar. Di luar, Cantika, sekretarisnya sedang asyik mengetik dokumen."Can, tolong rescedul lagi jadwalku. Aku mau keluar, mungkin lama. Kalau pak Damian cari, bilang ada perlu,""Baik pak."Steve lantas berjalan keluar kantor. Sebenarnya dua hari ini dia gelisah. Telah terjadi sesuatu pada dirinya. Steve ingin berkonsultasi pada Damian, tapi hal itu diurungkan. Setelah menimbang dengan hati-hati, akhirnya Steve memutuskan sendiri apa yang harus dia lakukan.Steve mengarahkan mobilnya ke sebuah rumah sakit yang tempatnya jauh dari kantor. Setelah melakukan pendaftaran, Steve beruntung langsung mendapat no
Duh, dari SMP kamu memang ahli merayu. Kakak senior saja kamu rayu sampai klepek-klepek." Dokter Monik menimpali rayuan steve sambil merobek kertas resep, "ini nanti di kasih perawat di depan, setelah itu langsung aja ke apotik." Ucap Monik sambil menyerahkan kertas resep tersebut.Steve melihat ke arah monik, lalu kemudian dia menodong bertanya, "eh, boleh tahu nomor kamu?""Wah," Monik tertawa, lalu dia mengeluarkan sesuatu dari lacinya. Sebuah kartu nama. "Ini kartu namaku."Steve menerima kartu nama itu dengan senyum lebar, lalu Steve mengeluarkan dompetnya dan mengulurkan kartu nama miliknya, "ini kartu namaku."Monik menerima dan memeriksa isi kartu nama tersebut, mata gadis itu membulat, lalu menatap ke arah Steve, "lawyer?""Kenapa? Enggak cocok ya?" Steve terlihat memperbaiki jas kerjanya.Monik mengulum senyum, "enggak, cocok kok. Keren malah." Puji monik tulus membuat Steve tersipu."Eng, kalau nanti aku ajak kamu keluar un
Rama menatap ke arah Damian, merasa iba. "Sorry bro, hasil ini bisa jadi bukti valid bahwa nyonya Aniela sempat menemui korban dan melakukan pembunuhan, rambutnya tertinggal ditubuh korban." Rama mengibas-ngibaskan map hasil dari forensik.Damian melipat tangannya di depan, "Begitu," Damian lalu kemudian menatap ke arah Rama, "Apa senjata pembunuhnya sudah ditemukan?" tanya Damian tajam."Kami masih melacaknya." ucap Rama.Damian berdiri, lalu kemudian berkata, "Kalau senjata pembunuhnya ditemukan dan valid di sana ada sidik jari klien gue, bisa jadi itu akan membuat gue sulit membebaskan nyonya Aniela. Tapi, kalau hanya bukti rambut ditubuh korban, gue masih bisa melawannya dipengadilan dan membuat bukti itu tidak berkutik untuk memberatkan klien gue.""Kamu itu sebenarnya mau bekerja sama atau tidak sih Dam?" Rama sedikit merasa jengkel dengan cara bicara Damian yang arogan. Tapi, Rama tahu ucapan Damian benar. Dengan berlandaskan bukti rambut milik Ani
Steve kaget melihat Cantika berdiri mematung di dekat pintu dengan wajah kikuk karena melihat bosnya sedang menari. Langsung saja Steve memperbaiki sikap."Kok enggak ngetuk pintu dulu?" Tanya Steve dengan galak, menutupi rasa malu Karena terlihat berindak konyol dihadapan sekretarisnya."Sudah pak, dari tadi. Bapak tidak dengar." Jelas Cantika, sambil mengepit map di dadanya dengan ketat.Steve masuk kembali ke belakang meja, lalu kemudian menatap gadis dihadapannya, "Ada apa?" Tanyanya dengan sikap seolah tidak terjadi apa-apa."Oh, saya mau memberi laporan untuk ditandatangani," Cantika mengangsurkan map berwarna biru pada Steve yang langsung diambil Steve dan dibuka."Ini mau diantar ke pak Damian?""Iya pak, tadi pak Damian minta," terang Cantika.Steve memberi tanda tangannya di kertas tersebut dan menyerahkan pada Cantika. Setelah menerima map tersebut, Cantika keluar ruangan sambil geleng-geleng kepala dan menahan senyum yang sudah ditekannya dari tadi.**Damian menatap ke ar
Steve turun dari mobil dan masuk ke dalam cafe mimosa. Cafe tempat biasa dia nongkrong dengan Damian kalau sedang menunggu waktu malam untuk berburu perempuan.Ternyata dokter Monik sudah lebih dulu menunggunya. Dia mengambil meja di sudut kafe dekat jendela yang membentang besar hingga terpampang pemandangan jalan raya. Tempat itu memang bagus, selain tidak mencolok, pengguna juga bisa menikmati pemandangan di luar jendela.Ketika Monik melihat Steve muncul dari pintu cafe, dokter itu langsung melambai ke arah Steve sehingga Steve langsung tahu posisi Monik.Steve mendekat, "kau sudah pesan sesuatu?" Tanya Steve sambil mengambil duduk di hadapan Monik, "kamu dapat posisi oke ya di sini," puji Steve."Aku baru datang." Ucap Monik."Aku pesankan teh ya. Disini, kopi dan tehnya enak." Terang Steve yang dijawab dengan anggukan Monik."Aku baru kali ini keluar sama teman SMP, yang lain kayaknya banyak yang terpencar ke luar kota." Tukas Monik ketika Steve sudah duduk."Aku juga kaget dan
Damian menangkap keterkejutan pada wajah Aniela, bahkan dia menangkap mata yang ketakutan. Damian juga memergoki jari jari Aniela bergetar dan perempuan itu berusaha menyembunyikannya dengan menurunkan tangannya dan menyembunyikannya di balik meja.Lalu, Damian bertanya lagi, "nyonya kenal pemuda di photo ini?"Aniela menaikkan wajahnya, lalu matanya menatap ke arah Damian, perempuan itu terlihat gelisah. Lantas kemudian menggeleng, setelahnya aniela menunduk."Nyonya," Damian berujar, "nyonya tidak perlu takut, saya berada di pihak nyonya. Seperti yang saya bilang tadi, saya adalah pengacara nyonya, saya harus mengetahui semua hal yang nyonya tahu secara jujur. Bagaimana saya membela nyonya kalau nyonya tidak jujur kepada saya?" Aniela menatap Damian, wajahnya terlihat cemas. Perempuan itu meremas remas ujung bajunya."Nyonya Aniela?" Panggil Damian lagi.Aniela menggeleng-gelengkan kepalanya, entah maksudnya menggeleng karena tidak mengenal, atau karena tidak ingin bicara.Damian m
Laila kemudian berputar di sisi Rama, melirik lelaki itu dengan genit, namun Rama hanya diam saja, tidak membalas dengan tatapan lapar. Malah Rama membuang muka ketika Laila naik ke pangkuannya dan memperlihatkan dua buah dadanya.Aneh...batin Laila. Lelaki manapun yang dia dekati pasti akan langsung melihat ke arah dua buah kembarnya. Mereka seolah ingin menyentuh dan menguasainya. Tapi, kenapa lelaki ini malah membuang muka dan enggan melihat dirinya.Laila lalu menyentuh bahu Rama, kemudian berputar sekali untuk melepaskan diri dari Rama.Rama menatap Laila, mata keduanya bertemu. Laila tersenyum, tapi Rama tidak membalas tersenyum.Ah, pikir Laila, sepertinya lelaki ini tidak akan mengajaknya untuk menari khusus di ruang VIP.Empat puluh menit mereka menari, dan kini semua penari masuk ke dalam lorong panggung yang. Dipisahkan gorden. Tubuh Laila berkeringat dan mengipas-ngipas menggunakan tangannya untuk meredakan lelah dan panas.Erna masuk ke dalam, dan kemudian mendekati Miche
Laila buru-buru menutupi perasaannya yang kacau karena pertanyaan itu. Sesungguhnya kematian pianis itu memang sudah didengarnya jauh jauh hari. Waktu wilayah Laila dikerumuni banyak orang dan wartawan, Laila tahu ada yang terjadi, namun dia tidak tahu apa itu. Besoknya baru dia tahu dari tetangga sebelah tentang kematian Seorang pianis yang terkenal di Dunia musik dan internasional.Pemukiman Laila berasa di sisi Utara, berdampingan dengan sebuah komplek perumahan elite. Pemukiman tempatnya tinggal berada di lembah, Yang berarti ketinggian tempatnya berbeda. Kalau musim hujan datang, lokasi tempatnya tinggal yang pertama kali kebanjiran. Seperti sifat air, mereka akan mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah, dan itulah yang terjadi di pemukiman rumahnya tinggal.Kompek orang kaya di atas itu tidak pernah tersentuh banjir, seolah semua aliran air yang kotor-kotor akan menjamah pemukimannya. Akibatnya seringkali penduduk sekitar melakukan protes pada pihak komplek sebelah, tapi s