"Kamu disini, Sayang?"
Mas Gunawan sudah bisa mengendalikan diri. Dia mendekat dengan wajah yang sudah kembali biasa.
"Iya, pulang dari ketemuan sama teman-teman aku langsung kesini." Jawabku datar.
"Itu apa, Mas?" Aku menunjuk ke arah plastik yang dia bawa.
"Oh ini? Boneka. Mama tadi minta boneka." Jawabnya sambil melirik ke arah Mama yang sedari tadi mematung di depan pintu.
"Eh, ah iya! Itu boneka pesanan Mama. Kasian kemarin Mama melihat ada anak-anak yang ngumpulin barang-barang bekas dari tong sampah. Mama kira mereka akan senang menerima boneka ini." jawabnya sedikit tergagap.
"Dimana Ma? Perasaan selama ini di sini, Alina belum pernah melihat anak kecil yang memungut sampah?"
"Iya, kamu kan jarang-jarang ke sini, Lin." Sahut Mama.
"Wan, kamu simpan saja boneka itu di kamar Mama. Nanti Mama serahkan kepada yang berhak."
Mas Gunawan mengikuti perintah ibunya dengan patuh. Setelah boneka itu dimasukkan ke kamar Mas Gunawan kembali duduk di sofa bersamaku dan Mama.
"Kotak makanan Mama sudah kamu balikin, Mas?"
Mas Gunawan, kembali terlihat canggung. Matanya menatap kearah mama.
"Oh, iya. Ada! Ada di mobil. Mas lupa membuat turun, nanti deh sekalian." Jelas sekali laki-laki itu gugup.
"Kotak? Kotak apa?"
Pertanyaan Mama membuatku langsung menatap Mas Gunawan dengan tajam.
"Itu Ma, kotak makanan buat bekal makan siang Gunawan. Yang setiap hari selalu Mama siapkan."
"Ooh...!"
Mama membulatkan bibirnya walau terlihat ragu. Fix, Mas Gunawan sedang mempecund*ngi aku.
"Yuk kita pulang, Sayang." Ajaknya.
"Nanti aja setelah isya. Biasa kan kamu pulang juga malam Mas."
"Iya, hari ini tumben semua pekerjaan cepat selesai, jadi Mas bisa pulang lebih awal."
"Oh, gitu, ya."
Maghrib pun tiba, rasa penasaranku makin menjadi. Saat Mas Gunawan sholat aku mendekati Mama yang tengah berada di kamarnya.
"Ma, boleh Alina masuk?"
"Oh, boleh. Tentu saja boleh, Sayang. Kamu sudah sholat?"
"Sudah, Ma."
Aku duduk dipinggir ranjang Mama. Kedekatan kami sudah seperti Ibu dengan anaknya. Aku sering bercerita apa saja dengan Mama. Mama juga selalu menjadi pendengar dan memberikan nasehat yang bijak untukku.
"Ma, apa benar Mama selama ini memasakkan makanan untuk bekal makan siang Mas Gunawan?" Tanpa basa-basi aku langsung pada tujuan. Walau ini terkesan frontal, aku sungguh tak bisa menahan rasa ingin tahu ini.
"Bekal?" Tanyanya.
"Iya, menurut Mas Gunawan, setiap pagi dia akan datang ke sini lalu pulangnya mengantarkan lagi kotak kosong itu."
Mama menatapku, lalu duduk tepat disampingku. Mama menghela napas panjang, seolah ingin mengatakan sesuatu yang penting padaku.
"Sayang! Kamu disini?"
Tiba-tiba pintu terbuka lebar. Mas Gunawan sudah berdiri di sana sambil memegang peci yang baru saja dia lepaskan.
"Pulang, yuk?" Ajaknya.
"Buru-buru amat sih, Mas. Aku masih Ingin ngobrol dengan Mama."
"Udah malam, Sayang. Mama pasti juga mau istirahat."
Aku mendesah, Mama mengusap punggungku lembut, sambil mengulas sebuah senyum, Mama berkata "nurut dulu aja, nanti kita bisa ngobrol-ngobrol lagi."
Akhirnya aku bangkit menuruti titah suami. Ketika hendak keluar kamar, Mama menahan tanganku.
"Alina, apapun yang terjadi Mama Sayang sama kamu, Nak."
Aku mengernyitkan dahi, tak biasanya mama berkata seperti itu.
"Alina juga sayang sama, Mama. Mama jaga kesehatan, ya. Ga usah repot-repot bawain bekal buat Mas Gun. Biar Alina saja. Mama pasti capek pagi-pagi sudah sibuk di dapur." ujarku. Walau sejatinya aku tak yakin jika Mama yang masak untuk Mas Gunawan.
Mama hanya mengangguk. Sejak Papa meninggal setahun yang lalu, Mama tinggal sendiri disini. Mama tak pernah mau kuajak tinggal bersama. Kata Mama, walau sendiri Mama merasa nyaman dirumah ini, karena di setiap sudut ruangan ada bayang-bayang suaminya. MasyaAllah, Mama. Cintanya sudah teruji. Sungguh membuatku iri.
Malam itu aku pulang bersama Mas Gunawan, meski teka-teki itu belum terpecahkan. Namun, aku tak akan tinggal diam. Semua harus jelas, jika memang Mas Gunawan mendua diluar sana, maka dia harus memilih. Lagi pula seharusnya dia bersyukur aku masih setia dengan kekurangan dirinya itu.
"Mas, besok mau dibawain bekal apa?" tanyaku ketika kami baru saja selesai makan malam bersama. Saat ini aku sedang menyeduh teh hangat untuk Mas Gunawan, sesampainya dirumah tadi kami langsung makan karena hari juga sudah mulai larut.
"Besok nggak usah bawa bekal dulu, Sayang. Mas ada meeting diluar, jadi makan bareng klien."
"Bener?"
"Iya bener!"
"Baiklah kalau begitu."
Aku menyimpan teh yang sudah kubikin di atas meja. Sementara Mas Gunawan masih sibuk dengan laptopnya, padahal ini sangat terlihat dia mengantuk.
"Istirahat dulu, Mas. Sudah malam." Ajakku.
"Tanggung, Sayang. Dikit lagi laporan ini selesai, kamu duluan aja. Sebentar lagi Mas menyusul."
"Baiklah, aku tidur dulu, ya."
Aku sengaja ke kamar, walau sebenarnya mata ini belumlah mengantuk. Aku membuka aplikasi hijau dan mengecek akun milik Mas Gunawan. Sedari siang tak ada tanda-tanda mencurigakan. Bahkan, Mas Gunawan tak pernah berkirim pesan. Juga tak ada pesan masuk hari ini. Sangat aneh.
Lama-lama aku bosan juga. Iseng kubuka story w*-nya. Hanya story dari teman-teman Mas Gunaw*n, rata-rata mereka bapak-bapak yang suka membahas masalah politik yang aku sendiri tak suka.
Namun satu postingan yang menarik perhatianku. Ini sama sekali tak seperti postingan laki-laki, dia mengirim gambar bunga, lalu gambar dirinya dengan seorang anak perempuan yang berdiri membelakangi kamera sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya. Perempuan itu menggunakan kerudung yang tak terlalu panjang.
Aku melihat nama kontaknya, disitu tertulis "RS". RS? Rumah sakit? Apa ini kontak dokter di rumah sakit tempat Mas Gunawan waktu itu check up? Ah, ga mungkin. Kenapa aku tak tau.
Ingin menyapa, tapi itu terlalu gegabah. Mas Gunawan bisa tau jika aku menyadap W******p-nya. Jadi apa yang harus aku lakukan? Berpikir, Alina! Berpikir!
Jam sudah menunjukkan angka sepuluh. Belum ada tanda-tanda Mas Gunawan akan masuk ke kamar ini. Aku mengambil tangkapan layar postingan perempuan itu. Nanti, perlu juga aku minta pendapat grup rempong. Saat ini aku masih dalam kecurigaan tanpa tahu harus berbuat apa.
Lama-lama mata ini mulai mengantuk. Beberapa kali aku menguap. Semua story di kontak Mas Gunawan sudah aku buka. Tak ada yang aneh, kecuali punya orang dengan nama RS itu.
Aku baru akan menutup layar ponsel ketika sebuah pesan masuk ke nomor Mas Gunawan.
[Katanya ganti nomor? Tapi, kenapa masih aktif aja lu, Bro?]
Aku spontan menutup mulut. Mas Gunawan ganti nomor? Sejak kapan? Aku bahkan masih bisa mengirim pesan padanya, tentu saja ke nomor yang sekarang aku sadap.
Aku harus jawab apa?
[Ya ampun, Lin. Kamu sabar, ya. Jangan gegabah. Dan jangan cepat menarik kesimpulan sebelum tau hal sebenarnya.] Ketik Anggi di grup rempong, ketika aku mengirim pesan salah satu teman Mas Gunawan. Juga tangkapan layar story wa kontak bernama RS ke sana.[Iya, Lin. Kamu selidiki dulu benar-benar. Kalau suamimu terbukti selingkuh, baru kamu pites perkututnya.] sahut Dea, geram.[Kalau menurutku sih, suaminya Alina ga ada tampang fuckboy lho.] Kini Dea Nabila angkat bicara [Tampang ga menjamin, gue udah berapa kali bilang. Banyak serigala berbulu domba. Jangan ketipu. Lihat gue nih, kalian tau si Ramzi kan? penampilan aduhai, rohani banget, kelakuannya kayak roh halus.] Lea menyisipkan emoticon tertawa mengeluarkan air mata sebanyak lima biji.Ramzi adalah mantan suami Lea. Tiga tahun usia pernikahan mereka sampai Lea mengetahui Ramzi sudah menikah lagi. Perempuan itu seakan trauma, meski sudah menikah lagi tapi dia menganggap pernikahan itu sebatas status. Lea hanya malu menyandang st
"Bu Alina? Tumben kesini? Biasanya bekal Pak Gunawan kan selalu diantar pembantunya?" Seru Rina yang kebetulan berpapasan denganku."Pembantu??"Aku mengernyitkan dahi. Lalu menanyakan ciri-ciri pembantu yang dimaksud Rina. Berbekal cerita dari bawahan Mas Gunawan itu, aku akan mencari keberadaan perempuan yang telah merusak rumah tanggaku. Aku yakin dia hanya perempuan tak benar yang ingin memetik hasil tanpa perlu menemani perjuangan dari awal.Malamnya, walau hati penuh emosi aku melancarkan aksi. Aku menyuguhkan teh hangat pada Mas Gunawan yang baru saja pulang. Teh yan sudah kububuhi obat tidur. Seperti biasa laki-laki itu baru sampai dirumah jam sepuluh malam. Lembur ditambah jalanan yang macet katanya. Huh! dia tak tau aku sudah tau semua dari Rina. Mas Gunawan tak pernah Over time, lelakiku itu selalu pulang tepat waktu, jam lima dia sudah keluar dari kantor. Namun, selama ini dia beralasan telat karena pekerjaan."Lembur lagi, ya Mas?" Aku duduk disampingnya."Iya, Sayang. Ke
Plak!Mas Gunawan memegang pipinya yang aku tampar."Seharusnya kamu itu tahu diri, Mas! Aku bertahan dengan kamu yang punya kekurangan! Kamu itu man ...!""Alina!" Pekik Mas Gunawan membuat ucapanku mengantung di udara."Apa, Mas! Kamu malu? Kamu mau menampar aku balik? Silahkan!" tantangku. Akal sehatku seakan hilang melihat kenyataan didepan mata. Mas Gunawan menatap mataku nyalang, laki-laki itu berjalan kian mendekat tanpa memutuskan pandangan ke mataku, hingga jarak kami tinggal beberapa senti saja. "Puas kamu mempermalukan diri sendiri!" lirihnya dengan menekan setiap kata. Kemudian berjalan ke belakangku. Laki-laki itu meraih tangan perempuan berkerudung yang duduk menunduk. Lalu berjalan melewatiku dengan tangan yang saling menyatu. Aku terpaku, apa yang kulihat seakan sebuah mimpi buruk yang mampir dalam tidur tanpa do'aku semalam. Bayangan Mas Gunawan akan menarik tanganku lalu memohon ampunan sambil bersujud di kaki, Tapi semua hanya mimpi belaka. Aku terduduk lemas."Ba
Mama mengangguk pelan. Aku kembali tergugu, selama ini aku dibodohi oleh Mama dan Mas Gunawan. "Mama tega pada Alina! Mama ga sayang sama Alina! Mama pembohong! Mama membiarkan Mas Gunawan punya selingkuhan, Mama jahat!" "Alina! Tunggu dulu, Nak! Mama belum selesai." Mama berusaha mengejarku yang sudah berlari keluar. Tangisku tak terbendung lagi, lelah, kepala terasa berdenyut hebat. "Lu hancur banget! Kita kerumah gw dulu, ya.". Aku bergeming tak menjawab perkataan Lea. Memicingkan mata sambil menyenderkan kepala, sementara air mata masih terus setia mengalir. Menjelang magrib kami sampai dirumah Lea. Aku sempat tertidur saking lelahnya. Rumah besar Lea tampak sangat menawan. Lea turun terlebih dahulu. Aku mengikuti dari belakang. Perempuan yang memakai celana jeans yang sengaja di robek bagian depan itu berjalan santai. "Hayo! Nanti gw ajak lu jalan-jalan biar ga bete. Mumpung ada si Ubay dirumah." Katanya sambil terus berjalan. Entah siapa Ubay itu aku pun tak tahu. "Bay, t
"Hayuk naik!" titah seseorang yang berada dalam mobil putih itu.Aku menghentikan langkah, lalu menoleh ke asal suara. Mas Ubay yang ada di kursi kemudi menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan, dibelakangnya ada Lea yang tampak cemberut dengan pakaian yang sudah berbeda dengan yang tadi dia kenakan."Kalian sudah selesai perang saudaranya?" sindirku. Masalahku saja sudah membuat pening ditambah pula dengan mereka yang adu mulut dihadapanku."Sudah! tenang saja, uraaa!"seru Ubay sambil memamerkan gigi-giginya yang putih."Ayo, buruan naik. Pakaian kamu itu juga mengundang kejahatan apalagi malam-malam begini. Lain kali jangan salah masuk toko. Beli baju sesuai usia! Ingat umur." Lelaki berwajah lumayan tampan itu terus mengoceh tanpa memperhatikan aku yang sudah mulai bertanduk."Buruan! Jangan ikut-ikutan Lea, dia sudah error dari lahir!" Lanjutnya lagi."Adaaau!" Ubay terpekik."Sembarangan, lu!" protes Lea sambil menowel kepala Ubay memakai sandal jepit yang dia pakai.Hadeuh,
"Lea, aku numpang nginap dirumah kamu malam ini, ya. Besok aku akan pulang ke kampung." pintaku setelah masuk ke mobil."Kenapa harus ke kampung sih, kamu mau jadi petani?" sahutnya."Entahlah yang jelas aku mau menenangkan diri dulu.""Orang kalau ada masalah itu di selesaikan, jangan malah lari. Lihat! sedari tadi ponsel kamu bergetar, pasti dia sedang sibuk mencari kamu." Sela Mas Ubay yang mungkin ada benarnya."Kalau kemarin saja dia sudah memilih perempuan itu, buat apa lagi berharap untuk kembali bersama." jawabku dengan hati yang dipenuhi luka, teringat gimana Mas Gunawan mengandeng tangan perempuan itu di depan mataku."Hidup itu memang rumit, ya." seloroh Mas Ubay."Iya, makanya lu ga usah hidup, Bang!" celetuk Lea sambil terkekeh membuat Abangnya menghela napas dalam-dalam, sabar ... Sabar...Bersyukur juga suami Lea sedang keluar kota. Jadi, aku bisa numpang tidur untuk satu malam disini . Pernikahan Lea yang katanya hanya sebatas status. Membuat dia bebas, seakan tai memi
"Plis, sayang, Mas hanya punya Mama saat ini. Mas tak mau kehilangan dia. Bantu Mas, Mama ingin kamu datang."Aku melipat tangan di dada."Maaf, Mas. Aku tak bisa. Minta saja selingkuhan kamu itu merawat Mama, bukankah dia juga rajin mengurus suami orang, kenapa ga sekalian Mama kamu dia urusin." Jawabku ketus. "Sayang, tolonglah, nanti Mas akan jelaskan. Kamu hanya salah paham.""Salah paham apa? Kamu kira aku ini bod*h ya, Mas?kamu kira aku ini buta, ga bisa melihat dengan jelas siapa yang lebih kamu bela. Sudahlah, siapkan dirimu untuk persidangan kita.""Alina, jangan keras hati seperti ini, Sayang. Kamu tak boleh egois.""Apa egois? Kamu ga salah, Mas? Aku egois?" Aku tertawa lebar, menertawakan laki-laki yang bahkan tak pandai menempatkan rasa."Seharusnya kamu membeli kaca yang besar, lalu kamu berdiri didepannya. Kamu ngaca! Siapa yang egois, dan siapa yang munafik! Pengkhianat, penipu!""Cukup Alina!" Bentakannya menghentikan ocehanku. Dada Mas Gunawan naik turun menahan emo
Grup rempong heboh dengan cerita dari Lea, walau Lea hanya seakan melempar berita dan akulah yang menjawab semua pertanyaan dari teman-teman yang penasaran dengan apa yang terjadi.[Udahlah, Lin. Buat apa lagi bertahan. Udah mand*l, tukang selingkuh lagi. mending bawa sini, biar aku kiloin di Mang Didin.] Ketik Dea.[Ish, kamu jangan sadis gitu. Kalau dikiloin paling cuma buat makanan kucing, sini aku bawa ke penangkaran buaya, biar buaya ngerasain makan daging sesamanya.] balas Anggi.Aku terkekeh."Kamu sih, Lea, segala dilempar ke grup." sungutku."Ya, nggak apa-apa, biar tuh grup rame, nggak anyep kayak hidup gw." sahutnya."Yang bikin anyep kan kamu sendiri. Punya suami, bukannya diintilin kemana pergi, malah dibiarkan sendirian di luar kota.""Ah, yang namanya nasib walau kita ikutin ke mana pergi, kalau emang sudah dasar buaya tetap aja kita kena apesnya."seloroh Lea."Iya, sih kayak aku." "Eh, sorry, gw ga nyindir elu lho.""Gapapa, tak perlu merasa bersalah gitu. Kenyataan m