Share

Bab 7 : Sean

Sesampainya di depan pintu ruangan inap itu, Sean mempersiapkan dirinya karena tadi dia buru-buru kemari. Mungkin wajahnya terlihat kusam.

Pintu terbuka dari luar, Auris yang sadar langsung menengok. Seketika ekspresi wajah Auris berubah menjadi bahagia. Ia turun dari tempat tidurnya lalu melangkah perlahan menghampiri Sean sedangkan pria itu kemudian tersenyum. Ia menitipkan barang yang ditangannya pada Bibi Etna.

Sean merentangkan kedua tanganya langsung memeluk tubuh hangat gadis itu. Begitupun Auris membalas pelukannya

Sean menempelkan bibirnya di rambut halus Auris dan menghirup wangi rambutnya. Rasa rindunya begitu mencuat sampai bertemu lagi dengan orang yang dirindukan Sean sangat bahagia, apalagi Auris adalah orang yang pantas menjadi separuh hidupnya.

Sean dan Auris sudah sangat mengenal sejak kecil saat usia Auris 8 tahun, Sean yang berusia 11 tahun. Selama kurang lebih 15 tahun mengenal, Auris menganggap Sean orang yang penting dalam hidupnya. Meski beberapa saat mereka berpisah karena Sean mengurus perusahaan orangtuanya.

Setelah berpelukan, Sean mengusap rambut Auris dengan lembut.

"Gadis kecil, bagaimana keadaan?" tanya Sean yang masih membelai puncak rambut Auris.

"Baik, Pangeran Sean" ucap Auris senang.

Sean menaruh tangannya di pinggang lalu berdecak kala melihat tubuh Auris yang terlihat kurus. Dirinya senang bisa bertemu lagi namun ia sedih Auris masih berjuang melawan penyakitnya.

"Gadis kecil, lihatlah tubuhmu semakin mungil dan pendek" ejek Sean, Auris tingginya hanya sedagu.

Auris memukul lengan Sean lalu menatapnya "Sepertinya Pangeran Sean salah, tinggi badanku sudah naik 5 cm!"

Sean mengangkat jari telunjuknya "Tidak, kau masih menjadi gadis pendek", senang sekali bisa membuat Auris kesal. Sean memang sering menganggunya dan mengejeknya.

"Oh ya kapan kau datang? Kemarinkah?"

Sean tidak menjawabnya dahulu, ia mengambil bingkisan dan sebuah buket bunga lily kesukaan Auris.

"Untukmu" Sean memberikannya pada Auris yang sudah senang mendapatkannya.

"Begitu sampai, aku langsung kemari" ucap Sean, Auria tersenyum karena Sean langsung menemuinya.

"Kau tidak pulang ke rumah terlebih dahulu, nanti ayah ibumu memarahiku lagi"

Sean tertawa kecil lalu berkata "Pasti, karena kau yang menculikku"

Auris mendesis "Jangan menuduhku"

"Oh iya, kenapa kau tidak menanyakan kabarku?" Sean memicingkan matanya.

Auris meletakkan buket bunga lili berwarna putih itu di atas nakas.

"Sepertinya Pangeran Sean dalam keadaan baik-baik saja bukan?"

Sean mengangguk, ia senang sekali Auris memanggilnya dengan sebutan Pangeran, jadi teringat saat kecil.

Bibi Etna memilih untuk keluar mencari angin dan membiarkan kedua anak itu berbincang.

Sean duduk di samping Auris, matanya tidak bosan untuk melihat wajah Auris yang semakin cantik dan terlihat dewasa namun menurut Sean, dia tetap gadis kecilnya dengan warna yang sama. Tidak menyangka Auris sudah dewasa, waktu terasa cepat berlalu jika di sampingnya namun saat berjauhan, waktu terasa sangat lambat.

"Apa kau lelah?" Auris melihat wajah Sean yang terlihat lesu.

"Sedikit tapi setelah melihatmu aku sama sekali tidak lelah" jawab Sean tersenyum. Auris menggelengkan kepalanya, Sean memang sering menggodanya.

"Gadis kecil, apa kau bosan disini?" tanya Sean yang sudah tau jawabannya.

"Jika bosan bagaimana kalau besok aku akan menemanimu seharian?"

Auris tersenyum "Memangnya kau tidak sibuk?".

Sean menggelengkan kepalanya "Aku punya waktu 2 hari, karena ayahku tau jika aku pulang dari Berlin lusa. Jadi masih bisa menemanimu" jelasnya.

"Ternyata kau masih pintar berbohong ya?" sindir Auris. Sean tidak berubah sedikitpun.

"Maka dari itu aku akan bersembunyi disini" ucap Sean yang sudah berniat dari jauh-jauh hari ingin menemani Auris.

"Terserah tapi jangan mengangguku oke"

"Tenang saja, gadis kecil" Sean menyentuh pipi Auris dan mencubitnya sedikit.

"Baru saja kau mengatakan tidak akan menganggu. Tanganmu usil!" protes Auris. Sean mengangguk lalu menyandar di sofa berkata "Menggemaskan" Sean sedikit mengantuk, ia berusaha untuk tetap terjaga.

"Matamu hitam seperti panda" ejek Auris saat melihat bulatan hitam disekitar mata Sean, pria itu menyentuh kantung matanya.

"Ini tandanya aku terlalu sering begadang setiap malam"

"Tapi aku tetap tampankan?" Sean bertanya dengan sedikit percaya diri.

Auris mengangguk.

Sean meluruskan kakinya dengan tangan dilipat didadanya, ia memejamkan matanya sejenak.

"Tidurlah, aku akan keluar sebentar" ucap Auris, Sean membuka matanya "Mau kemana?" tanyanya.

"Bibi Etna, dia ada di luar".

"Bibi sudah pulang, tadi aku menyuruhnya" ujar Sean dalam perjalanan bersama Bibi Etna, mereka berbincang dan Sean menyuruh Bibi Etna untuk pulang dan beristirahat sampai besok. Sean akan menjaga Auris.

"Kau yang mengusirnya?"

"Tidak, aku hanya memberi waktu untuknya beristirahat" Sean berdiri lalu menarik pelan lengan Auris kemudian berjalan menuju tempat tidur.

"Ini sudah malam, harus istirahat"

"Baru pukul 9.30 pm. Masih sore"

Sean berdecak "Ini sudah malam bukan sore lagi".

Sean meraih bahu Auris menuntunnya ke tempat tidur.

Setelah mengantar Auris, Sean merapikan selimut gadis itu. Ia tersenyum, padahal dirinya ingin terus mengobrol dengan Auris namun besok saja waktunya masih panjang dan Sean tidak mau menganggu waktu istirahat Auris.

"Sean" panggil Auris.

"Iya?"

Auris terlihat tengah menimbang-nimbang.

"Tidak jadi nanti saja"

"Dasar" Sean mengusap puncak kepala Auris dan menatapnya. Ia sedikit menunduk untuk bisa melihat lebih jelas wajah Auris.

"Sean, kenapa kau melihatku seperti itu? Apa ada yang aneh?" Auris ingin bangun namun Sean menahannya.

"Tidak ada, hanya saja terlalu lama melihatmu sepertinya aku jatuh cinta pada gadis kecil ini" ujar Sean, Auris menganggapnya hanya sebuah candaan. Ia memukul lengan Sean.

"Menyebalkan!" Auris menarik selimutnya sampai ke wajah.

Sedangkan Sean tertawa lalu kembali duduk di sofa. Ia akan tidur di sofa ini.

Setengah jam kemudian Sean melihat Auris yang sudah terlelap. Dari sofa dirinya bisa melihat gadis yang tidur tanpa mendengkur sedikitpun. Sean lalu tertawa kecil.

"Kebiasaan burukmu saat tidur ternyata sudah tidak ada" gumam Sean, meski mengantuk dirinya tetap terjaga untuk menemani Auris. Rasa rindunya sudah terobati sedikit, Sean ingin mengajak Auris ke suatu tempat saat kecil dahulu mereka bermain disana. Auris selama ini terus diawasi oleh ayah ibunya dengan mengurungnya saat kecil di kamar Auris. Ia tidak bisa keluar seenaknya, Sean jika ingin bertemu Auris meminta izin kepada orang tua Auris terkadang dilarang namun Sean tetap akan mengambil kesempatan.

Hubungan orang tua Sean dan Auris terjalin dalam ikatan bisnis, dengan hubungan ini Sean bisa menemani Auris. Awalnya keduanya bersekolah bersama di sekolah menengah pertama namun hanya satu tahun Auris tidak melanjutkannya dan orang tuanya memilih untuk belajar di rumah dengan guru yang sudah dipilih orang tuanya. Sean merasa kasihan Auris gadis itu tidak bisa bebas. Dan saat menginjak usia 17 tahun Auris ditemukan gejala penyakit yang ada, saat itulah Auris mendapatkan perawatan dari dokter.

Sean bersyukur bisa membujuk kedua orang tua Auris untuk membiarkan dirinya mendapatkan pengobatan di rumah sakit bukan di rumah keluarga George. Dahulu dia tidak bisa meyakinkan orangtua Auris sekarang dia bisa mengambil hatinya meski Tuan George masih tidak berubah.

Auris membutuhkan kebebasan san waktu untuk berkembang. Sean sangat menjaga hubungan pertemanan dengan Auris, meski gadis itu sering mengusirnya dan tidak mau ditemani.

Sejauh ini, Sean juga mengirim orang untuk mencari setiap kabar, ia akan tenang jika Auris dalam keadaan aman dan tentunya Sean berharap dia akan sembuh.

"Baru sebentar disini aku bisa merasakan kesepian yang dirasakanmu, Auris" ujar Sean, ia menyentuh wajahnya gusar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status