“Liana, kamu kenapa?” tanya Reno melihat Liana terjatuh dan segera membopongnya.
“Aku, aku baik-baik saja,” jawab Liana dengan tubuh gemetar.
“Tunggu di sini, aku akan ke apotek untuk membeli obat penenang,” seru Reno kemudian bergegas pergi.
Liana berusaha untuk menenangkan diri dengan menengguk segelas air, kemudian merebahkan tubuhnya di sofa. Namun, tiba-tiba ia merasa sangat mengantuk dan akhirnya tertidur pulas di sofa ruang tengah.
Mama, Papa. Jangan tinggalkan Liana sendirian! Tidak, aku tidak mau sendirian. Kalian sudah berjanji akan bersamaku selamanya. Mama, Papa, jangan pergi, kumohon! Lagi-lagi Liana bermimpi buruk. Hanya karena tertidur sejenak menunggu Reno, ia mengalami mimpi itu lagi.
“Liana,” panggil Reno ketika memasuki rumah Liana.
“Tidak,” ucap Liana keras, kemudian terbangun dari tidurnya.
“Kamu kenapa? Maaf aku terlalu lama, minumlah obat ini,” ucap Reno memberikan obat itu, kemudian memeluknya erat.
“Terima kasih, Reno,” gumam Liana sembari memperhatikan sahabatnya itu.
“Kenapa kamu melihatku seperti itu?” tanya Reno dengan wajah memerah, kemudian memalingkannya.
“Sudah lama kita tidak sedekat ini, bukan,” seru Liana dengan senyuman kecil di bibirnya.
“Oh, ya, aku tau. Kamu pasti, sedang mengagumi ketampananku, iya kan,” gumam Reno kemudian membantu Liana berdiri dari sofa dengan merangkulnya.
Namun, Liana hanya tertawa kecil mendengar ucapan sahabatnya itu. Tiba-tiba, Liana melihat ada banyangan mendekat dari belakang Reno, sontak membuat Liana terkejut dan perlahan mundur.
Criett …
Liana hampir saja terjatuh lagi, dengan cepat Reno menangkapnya. Keduanya saling bertatap-tatapan. Liana mulai tersadar dan beranjak mengambil tas dengan wajah memerah.
***
Mereka pun berangkat menuju salon yang ditunjukkan oleh tante Amirah melalui GPS. Liana masih memikirkan bayangan apa yang tadi ia lihat. Di tengah perjalanan ada pesan masuk di ponsel Liana. “Liana, tolong perlama Reno di luar ya, karena toko kue baru memberi kabar bahwa kuenya akan datang telat. Tante minta tolong ya Li.” Isi pesan itu.
Saat ini ia bersaha mencari cara untuk memperlama Reno bersamanya. Keadaan terasa sedikit canggung, karena ini pertama kalinya Reno pergi dengannya sejak 2 tahun ketika pertukaran pelajar di Inggris.
“Fotomu, terlihat menggemaskan,” ucap Reno memecah suasana.
“Ah, fotoku. Foto yang mana?” tanya Liana terkejut sambil memandangi Reno.
“Fotomu dengan gigi ompong dan rambut berponi,” jawab Reno tertawa kecil sambal menyetir mobil.
“Oh, foto itu. Aku memang lucu dan sangat menggemaskan kok,” gumam Liana berpura-pura tertawa dan mengerutkan dahi.
“Tidah usah kesal Li, aku hanya bercanda,” ujar Reno tersenyum kepadanya.
“Aku tidak kesal,” ucap Liana sembari memalingkan muka.
Di separuh perjalanan, terlihat orang berjualan arum manis. Makanan kegemaran Liana sejak kecil. Sontak Liana menepuk-nepuk bahu Reno.
“Reno… Reno... Berhenti, aku mau arum manis itu,” ucap Liana dengan menunjuk penjual yang tengah duduk di trotoar.
“Dasar anak kecil, sampai sekarang makanannya arum manis terus. Mangkannya gigimu ompong,” gurau Reno kemudian tertawa dan mengelus rambut Liana.
Pipi Liana nampak memerah, kemudian bergegas melepas sabuk pengaman. Mereka berdua keluar dari mobil dan menghampiri penjual arum manis itu. Liana merasa sangat senang, bak bunga mawar yang mekar. Reno tersenyum manis melihat Liana makan dengan lahap.
“Dasar rakus,” ejek Reno terus memperhatikan Liana makan.
“Sudah lama kita tidak membeli arum manis bersama. Karena sekarang lagi sama kamu, ada yang traktir, lumayan juga. Sudah 2 tahun kamu tidak menghubungiku Reno. Bukankah kita sahabat,” ucap Liana tersenyum kemudian melanjutkan melahap arum manis itu.
“Maaf, Liana. Aku ingin selalu menghubungimu, tapi, aku lupa nomor teleponmu. mama dan papa juga jarang menelponku, mereka takut mengganggu pendidikanku di sana,” ucap Reno dengan wajah tertunduk.
“Baiklah, aku terima permintaan maafmu,” jawab Liana dengan mulut belepotan.
Reno langsung mengambil sapu tangan dari saku celananya, dan mengusap noda arum manis di pipi Liana. Mereka berdua bertatapan selama beberapa detik.
“Umm … Reno ayo kita ke salon. Mamamu pasti sudah menunggumu, eh maksudku menungguku,” pinta Liana terburu – buru.
“Baiklah, ayo bersihkan sisa arum manis itu dari mulutmu,” balas Reno tersenyum memperhatikan tingkah laku Liana.
***
Perjalanan dilanjutkan menuju salon langganan tante Amirah. “Astaga, kenapa tubuhku berkeringat? Apa aku salah tingkah setelah Reno mengusap pipiku? Sadarlah Liana,” gumam Liana dalam hati.
Saat memasuki salon, salah seorang pegawai salon langsung menggandeng Liana, karena sebelumnya tante Amirah sudah menelpon. Reno memberikan sesuatu kepada Liana di sebuah tas pinokio.
“Pakailah ini, kamu akan terlihat cantik,” ucap Reno menyodorkan tas itu kemudian tersenyum.
“Untuk hari ini, aku akan menurutimu,” jawab Liana singkat kemudian pergi ke ruang ganti.
1 jam lewat 25 menit telah berlalu. “Reno.” Panggil seseorang dari balik gorden. Liana perlahan keluar dari balik gorden, kemudian berdiri tepat di depan Reno. Reno yang sedang duduk di kursi tunggu menatapnya dengan saksama.
Memang benar Liana terlihat sangat cantik mengenakan gaun biru muda itu. Ia tampak sangat anggun dan manis seperti lollipop. Tanpa sadar Reno terpaku dalam lamunan. “Reno … Reno … Kenapa diam saja. Apakah ada yang salah dariku? Apa aku terlihat gendut?” tanya Liana bingung kemudian menatap dirinya di kaca.
Sontak Reno terbangun dalam lamunannya dan langsung menggandeng Liana. Liana pun terlihat bingung karena kelakuannya itu. “Iya, kamu gendut. Ayo pergi,” ajak Reno dengan pipi memerah.
***
Setelah itu, mereka beranjak ke toko, untuk mengambil pesanan tante Amirah. Liana sesegera mungkin menghubungi tante Amirah bahwa mereka akan segera tiba dalam waktu 30 menit.
Seusai mengambil pesanan mamanya, Reno juga mampir ke toko sebelah untuk menggambil kado. Liana menggeleng-geleng bingung, “Sebenarnya Reno ini ingat atau tidak jika hari ini ulang tahunnya.” Liana menggelengkan kepala melihat kelakuan Reno.
Saat di dalam mobil, Liana kesulitan untuk memakai sabuk pengamannya. Tiba-tiba, Reno memasangkan sabuk pengaman itu. Sontak membuat Liana terkejut dengan wajah memerah ketika menatap Reno.
“Kamu tau, aku selalu menginginkan hal ini. Tolong, maafkan aku Liana, ku rasa, aku harus melakukan ini,” ucap Reno ketika selesai memasang sabuk pengaman itu, dan wajahnya semakin mendekat ke wajah Liana.
Suasanya ini, membuat jantung Liana berdegup kencang. Ia tidak tau harus menghindar atau diam dan menerima. Namun, kini ia terus memperhatikan bibir Reno dengan terus berandai-andai.Ctuak …“Aduh, sakit,” geram Liana ketika Reno menjitak kepalanya.“Hayo, kamu pasti berpikir yang tidak-tidak, kan,” ejek Reno sambil tertawa kemudian kembali ke tempat duduknya.“Astaga, aku, aku tidak berpikiran aneh,” elak Liana memalingkan wajah memerahnya.***Sesampainya di rumah, keadaan mulai terasa aneh. Reno merasa bingung karena tidak biasanya penjaga rumah tidak berada di pos. Tidak biasanya, pintu rumahnya tertutup rapat. Bahkan ada banyak mobil, namun tak ada orang sama sekali. Ia mulai panik.Apalagi kaca depan rumahnya tampak pecah dan banyak serpihan kaca yang berceceran di lantai. Ia mengira bahwa telah terjadi sebuah perampokan d
Saat ini, orang tua Liana terus berdoa, agar anak mereka bisa segera sadar. Namun, ada kenyataan yang harus mereka terima. Kenyataan itu, adalah hal yang paling mereka khawatirkan, selama ini.“Liana mengalami proses pertumbuhan, yang lebih pesat daripada kakaknya. Tanpa sadar, saat ia merasa sakit pada bagian belakang kepalanya. IQ Liana akan berkontraksi dan membuat seluruh sel otaknya sangat aktif, mungkin perlahan IQ nya akan mengalami kenaikan, jika otak itu terlalu aktif bergerak, Liana akan mengalami sakit yang luar biasa dan mungkin kondisinya akan kritis,” jawab dokter Bagus menatap kedua orang tua Liana, kemudian melepas kaca matanya.“Tidak boleh, itu tak boleh terjadi pada putri kami,” teriak mama ketakutan, dengan tubuh gemetar.Ingatan itu, tiba-tiba muncul di ingatan mama Liana. Saat anak sulung mereka, mengalami kejadian serupa. Namun, saat itu, mereka hanya menganggapnya sebagai s
“Liana sudah siuman, ini mama bawakan susu putih,” ucap ama berjalan menuju ranjang Liana. Sontak Liana terkejut, dan menyembunyikan telunjuknya di bawah selimut.Setelah kondisi Liana membaik, ia diperbolehkan untuk pulang, karena esok, ia harus tetap sekolah. Sesampainya dirumah, mama membawakan susu hangat dan nasi goreng untuk Liana. Seusai makan, ia pergi untuk membersihkan diri dan beranjak tidur.***Kukuruyukkkkkk …Suara ayam jago berkokok, suaranya yang merdu membuat Liana bangun dari dunia mimpinya. Ia bersiap untuk berangkat kesekolah. Tanpa disangka, Aji sudah menunggunya sejak tadi di ruang tamu. Karena mendapat kabar jika Liana sakit, ia menjadi sangat gelisah.“Astaga, kenapa kamu disini?” tanya Liana terkejut, hamper saya ia melompat melihat Aji duduk dengan santai di kursi ruang tamunya.“Selamat pagi
Ruangan kubus berukuran 6 x 4 meter, menjadi tempat terbaik Liana mencurahkan isi hatinya. Beberapa hari ini, ia tak membalas chat dari Aji. Bahkan saat Aji ke rumah, Liana menolak untuk bertemu, orang tua Liana merasa khawatir akan sikapnya itu.Namun, bukan itu yang mengganggu pikiran Liana. Mimpi itu, ya, mereka terus berdatangan. Itu yang membuat Liana terus khawatir.“Liana, kamu sedang apa?” tanya papa, berjalan menuju Liana.“Sedang menghafalkan presentasi event, Pa,” jawab Liana membalikkan badan, kemudian tersenyum.“Kemarin saat Aji main ke rumah, kenapa kamu mengurung diri di kamar?” tanya mama, mengelus rambut Liana.Liana pun hanya terdiam.“Liana kan anak yang tangguh, apapun bisa diselesaikan. Benarkan,” saran papa dengan tersenyum.“Benar, Pa. Liana diancam oleh teman k
“Woah, apa semua ini?” tanya Liana dengan mulut terbuka, karena takjub melihat layer itu. Ia kemudian menekan beberapa tombol, dan layer itu memunculkan beberapa foto seorang pria.Namun, saat akan menekan informasi pribadi, yang tertera di layer. Aji memanggil namanya, dan layer itu hilang entah kemana.“Liana, sedang apa kamu disitu? Aku mencarimu. Apakah sudah meneukan buku, yang ingin kamu beli?” tanya Aji menghampiri Liana, yang terlihat kebingungan.“Oh iya, sudah, ini aku membeli novel. Lalu kamu beli apa?” tanya Liana mengalihkan pembicaraan, kemudian memperlihatkan novel yang akan ia beli.“Aku membeli ini,” jawab Aji, dengan percaya diri menunjukkan buku itu.“Resep Kuliner? Wah, spertinya kamu akan bersiap menjadi ayah rumah tangga yang baik,“ canda Liana, tertawa geli ketika melihat wajah Aji kian memerah.
“Apa aku sudah gila?” tanya Liana, kemudian tertawa.“Maaf Liana, ini sudah menjadi bagian dari takdir.”“Takdir? Apa ini takdirku!” teriak Liana, melemparkan semua benda yang ada dihadapannya.“Semua yang telah terjadi, biarlah terjadi. Itulah kehendak Tuhan.”“Tuhan? Dimana aku bisa bertemu dengan ‘Tuhan’, aku ingin memarahinya.” gumam Liana lirih, dengan tatapan kosong kemudian duduk dan bersandar.***Liana bergegas mencari buku, yang ia pinjam di perpustakaan sekolah beberapa hari yang lalu. Mungkin ini adalah pertama kali Liana, memperjuangkan sesuatu. Tentu, ia sangat menantikan pertemuan itu.Ia duduk di depan jendela kamar, dengan beberapa peralatan yang ia kumpulkan. Dengan cepat, ia merancang sebuah bulpoin batik yang dipesan khusus, menjadi
3 jam sejak Liana masuk ruang ICU, tidak ada tanda-tanda ia akan siuman. Kondisi Liana berada dalam masa-masa sulitnya. Pendarahan yang terjadi membuat energinya melemah.“I’m sorry… I’m sorry,” ucap Aji, menahan tangis.Reno segera menghubungi Mama dan Papa Liana tentang kondisi putrinya.“Semua ini karnamu!” bentak Reno menatap Aji marah.“Aku tak melakukan apa-apa,” jawab Aji menatap Reno, dengan mata berkaca-kaca.“Pergilah Aji, Liana kini tak lagi membutuhkanmu. Pergilah,” perintah Reno, kemudian meninggalkan Aji.Aji berlari meninggalkan ruangan itu. Dengan rasa bersalah ia menangis sejadi-jadinya dan membenturkan kepalanya ke dinding berkali-kali. Dokter Bagus segera mengecek persediaan darah, di bank darah rumah sakit.Tapi ternyata, hasilnya nihil. Dokter
… I got all deeper need to tune down I look around me, and sweet life, it’s dark in the night but you’re getting’me, getting’me throught the night…Lagu yang dinyanyikan Jessie J. dengan judul Flashlight, merupakan kesukaan Liana, untuk memulai suatu pagi dengan senyuman.Pagi ini, adalah pagi pertama Liana bersekolah, setelah tubuhnya pulih. Ia tampak lebih ceria, dari hari-hari sebelumnya. Kini, orang tuanya merestui seluruh cita-cita Liana, dan mendukung berbagai penelitihan yang ia lakukan.***Ketika jam istirahat, Salma dan Ratih datang menghampiri Liana. Salma dan Ratih membawa sebuah kotak kado, dan memberikannya kepada Liana. Saat ia membukanya, ada sebuah liontin dan anting mawar yang indah.“Sangat cantik dan bersinar.” Ucap Liana sambil tersenyum. Salma dan Ratih tertawa geli, begitupun dengan Aji yang sedang mengintipnya.