"Ibu nggak mengusir kamu, Jaka. Tapi bukankah kamu mau pergi dari rumah ini agar tak ada beban bayar listrik. Ya sudah, lakukan." Ibu mertua memperjelas ucapannya hingga Jaka dan Inur langsung beradu pandang."Tapi, berarti, berarti Ibu nggak peduli aku lagi?"Entah kenapa aku merasa Jaka justru sebenarnya tak ingin pergi dari rumah ini. Jika dihitung, untuk ngontrak mungkin akan lebih mengeluarkan biaya banyak. Biaya kontrakkan perbulan dan ditambah bayar listrik dan air."Kok malah bertele-tele, bukankah tadi Mas Jaka ngancam Ibu tentang nggak mau bayar listrik? Tuh Ibu udah suruh pergi biar kalian nggak repot bayar listrik. Tenang aja, kami bisa tanpa kalian." Stela tampak merasa puas dengan ucapan ibunya."Mas, kita ngontrak di mana?" tanya Inur."Sebai
Aku dan mas Bayu langsung beradu pandang mendengar ucapan Stela. Dengan bernada baik dan tutur kata yang hampir tak pernah terdengar, ia minta kami balik lagi ke rumah ini. Dan itupun setelah Inur dan Jaka pergi."Apa?" tanyaku berusaha meyakinkan diri. Dalam waktu sebentar Stela langsung berubah.Apakah aku senang dan tersanjung karena Stela berubah? Maaf jika aku tak tergugah. Ini hanya lantaran menghargai suamiku dan rasa kasihan ke ibunya. Jika diingat dan dendam yang telah lalu, mungkin tak sudi ke rumah ini. Ya Allah, maaf jika aku masih mengingat yang telah lalu."Iya, Mbak. Tolong maafkan aku dan Ibu. Kini Mbak Inur sudah pergi, aku sadar jika ia bukan kakak ipar yang baik."'Bukan kakak ipar yang baik' kalimat itu mengingatkanku tentang hinaannya dulu. Sebutan 'menantu gila' pernah ia lontarkan sambil
Ada pepatah mengatakan, darah lebih kental daripada air. Jadi ikatan darah tak bisa dipisahkan dengan cara apapun. Inilah yang kulihat dari mas Bayu. Sebanyak hinaan yang diterima dari saudara dan ibunya, tetap saja mereka ada hubungan darah.Perdebatan ini terjadi di depan orang tuaku. Bahkan mas Bayu tak segan mengadu seolah ia yang benar dan aku yang salah karena tidak patuh suami selagi tidak menentang agama. Sepertinya mas Bayu sangat tahu sifat bapak. Ya, bapak selalu memberi nasehat itu."Kok ngomong gini sih, Mas? Apa aku harus mengerti kamu terus dan terus!"Tak terima saat ia bicara seolah aku bersikap mentang-mentang. Lagian selama ini aku masih menghormatinya meskipun akulah yang mencari uang. Tapi, kenapa ia bicara ini?"Aku tau jika aku suami yang tidak sempurna. Maaf, Rin, aku ...." M
"Sudah, sudah! Jangan ribut lagi." Akhirnya ibu mertua berhasil bersuara lantang. Kondisi masih sakit tapi karena Inur dan Jaka berdebat di depan kami, ini membuat keributan.Aku tak peduli mereka mau bertengkar atau tidak. Namun yang jadi fokus pikiran, tidak mungkin aku mau menampung mereka begitu saja dengan gratis. Tak ada uang tenaga pun jadi."Mau kalian bertengkar tetap saja tak bisa merubah keadaan.""Aku nggak terima disalahkan, selama ini kamu nuntut agar aku tetap berdandan agar kamu nggak malu sama teman-teman kamu, Mas. Tapi kenapa aku disalahkan?" Mata Inur mulai berkaca."Bukan gitu, Nur. Aku hanya bingung, sekarang untuk biaya harian kita nggak punya." Suara Jaka sudah mulai melunak.Melihat reaksi Jaka, kembali teringat saat dulu mas Bayu baru ke
"Iiih, aku masih ngantuk kok malah disuruh masak?" Inur ngomel-ngomel sambil berlalu ke dapur."Lagian masih subuh, Bu. Kok cepat amat buka warungnya?" Jaka kelihatan terpaksa keluar dari kamarnya."Pagi jam tujuh udah ada pembeli. Masak nungguin kamu bangun kesiangan baru buka warung. Cepat keluarin karung cabe dan kentang, ngomel-ngomel kapan kerjanya."Wow, ibu mertua sudah bersuara lantang. Dulu, saat Jaka kerja tak pernah seperti ini."Iya iyaaa," jawab Jaka terlihat sangat terpaksa.Aku ke dapur ingin buat kopi untuk mas Bayu. Selesai salat subuh ia mencuci mobil di halam depan. Sampai di dapur, kulihat Inur sedang menggoreng telur."Jangan cemberut, Mbak. Masak harus dengan hati senang agar masakannya enak," ucapku sambil men
Begitu lancar Inur menuduhku selingkuh. Ia ketahuan mencuri, secepatnya cari alasan jika masuk ke kamar ini lantaran ingin memeriksa ponselku."Oke, kamu mulai permainan ini, akan kuladeni," bathinku."Rina, kamu benaran selingkuh?" tanya ibu mertua."Nggak nyangka, jangan lantaran Bayu cacat kamu seenaknya selingkuh. Lagian Bayu udah ada kerjaan." Jaka sepertinya percaya dengan ucapan istrinya, tak masalah."Pasti dia bohong, aku nggak percaya Mbak Inur." Dengan tegas Stela berada di pihakku. Apakah lantaran tak menyukai Inur atau benar ungkapan hatinya, entahlah."Kamu bilang aku bohong? Aku dengar sendiri ia nelpon seseorang dengan mesra.""Kamu pasti bohong! Jika Mbak Rina mau selingkuh, buat apa ia mempertahankan Mas Bayu. Padahal Ma
Kujinjing tas berisi pakaian, dan menggendong Raka yang sedang tertidur lelap. Melewati pintu kamar, tak terdengar mas Bayu mencoba menghentikanku. Ini semakin membuat dada terasa sesak karena pengorbananku selama ini sia-sia."Loh, mau ke mana, Rin?" tanya ibu mertua saat aku melangkah ke pintu utama."Aku pamit ya, Bu," jawabku."Mau ke mana? Ini sudah malam dan Bayu mana?" Ibu melihat sekilas ke pintu kamar."Ada di kamar, Bu. Oh ya, Bu, ini uang buat biaya dapur hari ini." Kurogoh uang seratus ribu dari saku, lalu kusodorkan ke ibu mertua."Tapi, kamu mau ke mana? Dan ini sudah malam loh, Rin." Uang itu diterimanya."Hey, Rina! Kamu mau kejar selingkuhanmu? Wah, parah." Tiba-tiba Jaka keluar dari kamarnya, pun In
Seketika Raka menangis dalam gendongan mas Bayu. Suara bapak sangat lantang, begitupun mas Bayu menjawab. Aku terpana menahan hati. Bukan karena takut, tapi syok jika seperti ini jadinya."Aku akan bawa Raka, baik kalian suka atau tidak!" Lalu mas Bayu membalikan badan menuju mobil terpakir."Tunggu!" teriakku, hingga ia membalikan badan."Raka masih menyusui, seandainya di tanganmu anakku tersiksa dan sakit, aku tak segan melaporkan kasus penelantaran anak. Kita sama-sama tau gimana sikap semua keluargamu, Mas." Menekan ucapan, ini agar Raka kembali padaku. Aku yakin ia tak kan bisa mengurus Raka.Kami saling beradu pandang. Rasa hati semakin kesal melihat tindakannya hari ini. Apakah begini sifat aslinya yang baru kuketahui sekian lama kami berumah tangga.