Pria bernetra abu itu sudah siap dengan jas berwarna hitam yang dipadukan dengan kemeja berwarna biru tua di dalamnya. Berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri. Bukankah wajahnya terlihat sempurna?
Arzan masuk begitu saja ke dalam kamar Arnold tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Pria itu sama gagahnya dengan Arnold, dengan balutan jas yang berwarna senada dengan atasannya.
“Ayo cepat! Acaranya akan segera dimulai.”
Arnold hanya mengangguk, menanggapi perkataan asistennya.
.
.
.
.
.
Netra abu itu menatap takjub penuh kekaguman ke arah gedung berlantai 40 di hadapannya. Ini adalah hasil kerja kerasnya selama ini. Hasil yang terpampang nyata di depan mata.
Hunian mewah dengan 40 lantai. Bangunan yang didesain khusus oleh arsitek ternama. Bergaya modern luxurios, sesuai dengan desain apartemen yang sedang digandrungi saat ini. Menggunakan aksen minimalis adalah kunci utamanya, ditambah dengan
Arnold memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Dia takut ada sesuatu yang serius terjadi dengan dirinya. Meski dokter sebelumnya mengatakan bahwa kondisi dia baik-baik saja. Entahlah pria itu masih tetap merasa kurang nyaman dengan rasa gelisah yang terus menghantam jiwanya.Kali ini pemeriksaannya juga baik-baik saja. Tidak ada penyakit serius yang perlu dikhawatirkan, hanya kelelahan karena perjalanan panjang. Itu saja, penjelasan yang dia dapat dari dokter.Pria itu berjalan di Koridor rumah sakit. Netra abunya terus meneliti, setiap sudut rumah sakit. Taman rumah sakit yang dipenuhi para pasien yang mungkin, sedang menikmati pemandangan di luar karena merasa bosan.Selanjutnya, pemandangan yang mengejutkan jiwanya terjadi. Dia kembali melihat sosok gadis yang sejak kemarin selalu menghantui dirinya, sejak kedatangannya di kota Milan. Pria itu berlari, berusaha mengejar sosok yang baru saja dilihatnya dari kejauhan.Tidak. Kali ini tidak akan dia biarka
Netra abu itu masih terus menatap awan mendung di langit Kota Milan. Kota indah yang berada di Italia. Hatinya dirasuki keraguan. Kembali atau tetap tinggal. Dia masih begitu penasaran dengan sosok gadis yang sangat mirip dengan Sofia. Jika memang benar gadis itu adalah Sofia, apa yang akan dilakukannya setelah dia berhasil bertemu dengan gadis itu? Lama menatap ke arah luar apartemen megah miliknya, suara deringan ponsel mengembalikan kesadaran pria itu. Arnold bergegas masuk, lalu mengambil ponsel di atas nakas. Dahinya mengernyit, setelah mengetahui siapa yang menghubungi dirinya. “Iya. Ada apa?” tanyanya langsung setelah memutuskan untuk mengangkat panggilan itu. “Kapan kau kembali Kak?” tanya suara pria di seberang sana. “Entahlah. Besok atau lusa mungkin,” jawab pria itu sekenanya. “Sebaiknya jangan kembali dulu,” sergah adik laki-lakinya. Arnold mengernyit mendengar hal itu. “Apa ada masalah?” tanyanya la
Sofia berkali-kali meneguk wine di tangannya. Permintaan El tadi benar-benar di luar prediksi wanita itu.“Mom, kau bilang akan memenuhi segala permintaan kalau El sembuh, bukan?” tanya El hati-hati.Sofia mengangguk. “Itu janji Mommy, Sayang. Jadi sekarang El mau apa?” tanya Sofia antusias.Dia akan memberikan apa pun yang diminta anaknya itu. Uang bisa dicari kapan pun, asalkan anaknya bisa sehat kembali, itu tidak jadi masalah.“Bisa kita temui daddy, Mom?” Anak kecil itu menundukkan kepalanya setelah mengatakan hal itu, dia takut ibunya akan marah mendengar permintaan yang terdengar konyol.“Daddy sangat jauh, Sayang.” Sofia mengusap lembut rambut hitam legam itu. Mencoba memberi pengertian.“Uncle Ken akan berangkat pekan depan. Kita bisa pergi bersama, Mom.” Kini kepala El perlahan mendongak, menatap ibunya dengan tatapan penuh permohonan.Sofia tersenyum simpul.
“Sofia!” seru Nicholas sekali lagi ketika mendapati keheningan wanita itu.“Kau jahat Nic. Kau sama seperti mereka!” Sofia mendongakkan kepalanya. Menatap netra biru itu melalui layar ponsel.Sesungguhnya rasa sakit akan pengkhianatan masih membekas kuat dalam benaknya. Setitik rasa kecewa itu mulai hadir diiringi ketakutan, dan itu semua karena Nicholas.“Fia, ascoltami. Non ho intenzioni malvagie del genere (Fia, dengarkan aku. Aku tidak memiliki maksud jahat seperti itu),” ujar Nicholas sekali lagi. Mencoba meyakinkan wanita di seberang sana bahwa ini semua salah.Pemikiran wanita itu benar-benar keliru.“Allora, cos’è tutto questo Nic? Hai promesso di essere un buon padre per lui! L’ho detto molte volte, non promettergli niente (Lalu apa semua ini Nic? Kau berjanji akan menjadi ayah yang baik baginya! Sudah berulang kali aku katakan, jangan menjanjikan apa pun kepadanya).” Suara
Sudah 3 hari Sofia mengurung diri di apartemennya. El masih izin untuk tidak mengikuti kegiatan sekolah terlebih dulu. Wanita itu bahkan tidak berangkat bekerja sama sekali. Entahlah rasanya begitu enggan, walah hanya keluar untuk sesaat.Akal pikirannya masih bekerja keras, memikirkan tentang perkataan Nicholas tempo hari.Hatinya perlahan dihinggapi keraguan. Apakah tindakannya benar jika dia mengenalkan El kepada dunia? Membawa El kembali ke tanah kelahirannya?Jika harus berkata jujur, Sofia sudah lama memendam rasa rindu yang menggebu terhadap tanah kelahirannya. Rindu untuk bertemu dengan kakak laki-lakinya. Namun, apakah dia sudah siap dengan segala hal yang akan terjadi ke depannya?***El duduk di depan televisi dengan beragam mainan miliknya. Sudah beberapa hari ini ibunya selalu terlihat murung. Tidak tahu pasti apa penyebab dari semua itu.El sudah terbiasa bermain sendiri seperti ini. Jika biasanya ad
“Ken, bawa kami kembali bersamamu!” pinta Sofia, melalui sebuah panggilan bersama pria berkulit putih itu.“Kau yakin?” tanya Ken di seberang sana. Suaranya terdengar sedikit terkejut.“Semua yang dikatakan Nic, adalah kebenaran. Aku tidak akan lagi bersembunyi lagi dari dunia.”“Baik. Kita berangkat besok. Akan kupesankan tiket untuk kalian berdua.”Segala dokumen penting, sudah disiapkan oleh Nicholas jauh-jauh hari. Pria itu memiliki pemikiran yang panjang. Dia sengaja menyiapkan semua itu, agar jika suatu saat mereka membutuhkannya, maka mereka tidak perlu bersusah payah lagi.Seperti saat ini. Ketika Sofia memutuskan untuk pergi bersama Ken tiba-tiba, maka pria itu tidak perlu bersusah payah lagi untuk mengurus segelas keperluan Sofia dan juga El.***Pagi ini adalah hari yang membuat Sofia dilanda rasa tak menentu. Ada debaran ane
“Ken, bisa aku titip El sebentar? Aku ingin mencari toilet,” tanya Sofia. Kenzo mendongak, lalu mengangguk perlahan. “Kau bisa sendiri, atau perlu aku antar?” tanya Kenzo. Sofia menggeleng, lantas segera melangkahkan kakinya untuk keluar dari restoran yang ada di bandara. Setelah mendarat dan menunggu kehadiran Nicholas, mereka memutuskan untuk mencari makan terlebih dulu di dalam bandara. Wanita itu melangkahkan kakinya, mengikuti segala petunjuk yang ada. Wajahnya benar-benar kusut, dan dia butuh sedikit penyegaran. Langkah mungil itu terus saja melangkah, menyusuri setiap tempat ada yang di bandara. Sementara di sisi lain, terlihat seorang pria tampan dengan warna kulit sedikit gelap sedang berjalan tidak jauh dari keberadaan Sofia. Langkah panjang itu terlihat sedikit tergesa-gesa. Kacamata hitam, terlihat bertengger di hidung mancungnya. Brakk Sofia menabrak pria yang ada di hadapannya secara tidak sengaja. “I’m Sorry Sir,” ucap S
Jakarta 27 Maret 2013Gadis bernetra cokelat itu perlahan membuka kedua mata, ketika sinar sang surya mulai terasa begitu sangat menyilaukan.Tubuhnya terasa remuk redam. Disertai bagian intinya yang terasa begitu perih dan juga sangat sakit.“Ah kenapa kepalaku sakit sekali.” Sofia bangun dari posisinya, jemari lentik itu terlihat memijit kepala yang terasa begitu nyeri.Kesadaran yang belum sepenuhnya kembali, membuat gadis itu terlihat begitu sulit untuk membuka kedua mata.“Apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku?” tanyanya pelan.Netra cokelat miliknya sukses membulat sempurna, ketika mendapati tubuh dalam keadaan polos, tanpa sehelai benang pun.“Apa yang sudah terjadi dengan diriku?” Sofia menarik selimut yang dipakainya hingga menutupi bagian dada.Gadis itu berusaha mengingat kembali apa yang sebenarnya terjadi. Satu persatu ingatan itu berhasil dia dapatkan kembali.