“Pekerjaan apa yang kau butuhkah?” tanya Nicholas, setelah mempertimbangkan beberapa hal.
“Apa pun, aku bisa melakukan segalanya,” jawab Sofia penuh semangat.
“Apakah kau punya surat kelulusan atau semacamnya yang bisa digunakan untuk melamar pekerjaan?”
Sofia tampak termenung.
Dia tidak membawa apa pun dari rumah, hanya pakaian yang melekat ditubuh serta tas kecil yang berisi identitas miliknya.
Gadis itu menggeleng lemah, matanya menatap Nicholas dengan tatapan penuh permohonan.
Sofia yakin, pria asing itu adalah orang baik.
Nicholas tampak memikirkan pekerjaan apa yang akan dia berikan. Sementara dia, akan kembali ke Milan hari ini juga. Lagi-lagi ada satu sisi dari hatinya, yang mengatakan bahwa dia harus menolong gadis malang itu.
“Tuan, aku bisa melakukan pekerjaan rumah tangga sekalipun.”
‘Walau aku tidak pernah melakukannya dan tidak tahu bagaimana caranya aku akan tetap berusaha melakukannya,’ batin Sofia
Nicholas tampak memikirkan perkataan Sofia. Jika dilihat dari tutur katanya, Nicholas yakin bahwa Sofia tidak berasal dari keluarga sembarangan.
“Baiklah. Mari ikut aku!”
Sofia menatap Nicholas dengan mata berbinar. Setidaknya sekarang dia tidak perlu khawatir akan tidur di jalan lagi.
.
.
.
.
.
“Pak, antar aku kembali apartemen!”. Nicholas memutuskan untuk membawa Sofia bersamanya. Dia menunda kepulangannya, sampai dia tahu tentang asal-usul Sofia.
Pak Supri mengangguk. Walau dia merasa kebingungan dengan permintaan tuan mudanya.
Mobil yang dinaiki Nicholas memutar arah, membelah jalanan menuju apartemennya kembali.
Di dalam mobil tidak ada pembicaraan di antara mereka berdua. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.
.
.
.
.
.
Sofia mengedarkan pandangannya ketika sudah sampai di apartemen milik Nicholas. Dia tidak heran, karena kakaknya juga memiliki apartemen yang sama mewahnya.
Nicholas mengajak Sofia masuk ke dalam apartemen miliknya. Dilihat dari cara Sofia memandang, Nicholas tahu bahwa Sofia sudah terbiasa melihat apartemen mewah seperti ini.
“Ini kamarmu.” Nicholas menunjuk salah satu kamar di sana. Sofia mengangguk, kemudian dia membuka pintu kamar itu. Tampak kamar yang cukup luas, walau tidak seluas kamarnya di rumah.
“Istirahatlah! Aku sudah memesan pakaian baru untukmu. Jika lapar, kau bisa mencarinya sendiri di dapur.
“Terima kasih, Tuan.”
Nicholas meninggalkan Sofia agar gadis itu beristirahat, setelah itu dia akan menanyakan tentang siapa sebenarnya Sofia.
.
.
.
.
.
“Sofia kau menipuku!” Nicholas melempar amplop cokelat ke hadapan gadis itu.
Dia sudah melakukan penyelidikan tentang Sofia, selama 1 minggu ini. Dan ternyata dari informasi yang dia dapat Sofia bukanlah gadis sembarangan. Dia merupakan putri dari seorang pengusaha terkenal di Jakarta.
Sofia mengambil amplop itu dengan tangan gemetar. Dia merasa takut melihat wajah merah Nicholas. Entah apa isi amplop itu, dan apa yang membuat Nicholas murka terhadapnya. Padahal Sofia sudah melakukan pekerjaannya dengan sebaik mungkin.
“Kau seorang anak pengusaha kaya, tapi kenapa kau meminta pekerjaan kepadaku? Katakan apa tujuanmu yang sebenarnya?” Nicholas mengguncang tubuh mungil gadis itu, dia merasa telah dibohongi selama 1 minggu ini.
Sofia menggeleng lemah, dia memegang pundaknya yang terasa sakit. Hormon kehamilan telah mengubahnya menjadi perasa dan mudah menangis.
“A-aku ….” Suara Sofia tampak tercekat.
“Pergi dari sini! Kembalilah ke rumahmu!” usir Nicholas. Dia merasa tertipu mentah-mentah oleh gadis kecil itu.
“Tidak, Tuan. Kumohon jangan mengusirku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Kumohon, Tuan.” Sofia terduduk, dia menyentuh kaki pria itu. Hal yang sama sekali tidak pernah dia lakukan selama ini.
Nicholas melepas tangan yang menyentuh kakinya itu. Lalu memegang bahu gadis itu, dan menyuruhnya berdiri. Sungguh seorang pria Italia tidak bisa, melihat wanita menangis. Hati pria Italia terkenal akan kelembutannya.
“Katakan apa yang terjadi padamu. Maka aku akan mempertimbangkanmu untuk tetap bekerja denganku.”
Nicholas menuntun Sofia untuk duduk di sofa. Dengan suara gemetar Sofia mulai menceritakan segalanya. Tentang kekasihnya yang berkhianat, lalu percintaan 1 malam dengan seorang pria asing. Dia menceritakan segalanya tanpa melewati apa pun. Kini harapannya hanya tinggal Nicholas.
Nicholas menghela napasnya dengan panjang. “Apa kau tidak tahu siapa pria itu?” tanyanya.
Sofia menggeleng. “Aku lupa bagaimana wajahnya. Aku mabuk malam itu.” Walau nyatanya Sofia masih ingat netra abu itu dan juga janji pria itu, tetapi bukankah di dunia ini ada banyak orang yang memiliki netra seperti itu. Sofia tidak mau menyimpulkan apa pun, dan aroma parfum itu, akan selalu melekat dalam benaknya.
Lagi-lagi Nicholas mendesah. Dia merasa iba dengan gadis itu. Mengapa Tuhan melibatkannya dalam kisah pelik ini.
“Aku akan kembali ke Italia besok. Aku tidak bisa terus di sini.”
Sofia memandang pria tampan berkulit putih itu dengan dahi mengernyit. Sofia pikir Nicholas adalah orang asli Indonesia, sebab dia sangat lancar berbahasa Indonesia. Ternyata dia salah, pria di sampingnya merupakan orang asing.
“Bereskan pakaianmu, besok kau ikut denganku!” Nicholas memutuskan untuk membawa Sofia bersamanya. Setelah mendengar apa yang menimpa Sofia, Nicholas yakin untuk membawa gadis itu. Dia tidak tega jika harus meninggalkannya sendiri.
Bagaimana bisa seorang pria dengan tega meninggalkan wanita hamil seperti Sofia, hidup terlunta-lunta di jalan? Batin Nicholas.
“A-apa?” Sofia meyakinkan pendengarannya.
“Ikutlah bersamaku ke Italia. Aku tidak mungkin meninggalkanmu sendiri di sini. Apalagi setelah tahu kondisimu yang sebenarnya.”
“Ta-tapi aku akan menyusahkanmu di sana Tuan. Kita hanya orang asing. Aku tidak apa, aku bisa mencari pekerjaan lain.” Sofia merasa tidak enak jika harus melibatkan orang asing dalam masalahnya.
“Aku tahu bahwa tidak ada hubungan di antara kita. Kita hanya orang asing, tidak sengaja bertemu. Satu yang perlu kau tahu, aku seorang pria, dan kondisimu juga sedang hamil. Jiwaku menolak, jika harus meninggalkanmu sendiri di sini.”
Sebenarnya Nicholas sudah terbiasa dengan kehadiran Sofia selama 1 minggu terakhir. Ada rasa yang hilang jika dia tidak bertemu gadis itu sehari saja. Nicholas tidak tahu perasaan apa yang ada dalam hatinya itu. Mungkin inilah bentuk tanggung jawab kepada Sofia, karena dia sempat membuat gadis itu celaka.
Akhirnya Sofia setuju untuk ikut bersama dengan Nicholas dengan berbagai bujukan. Sofia yakin bahwa Nicholas adalah pria yang baik, dan dia percaya itu.
Setidaknya di sana nanti Sofia bisa memberikan kehidupan yang layak bagi anaknya.
Entah bagaimana caranya, keesokan harinya segala keperluan gadis itu telah selesai. Dengan cara apa Nicholas mengerjakannya, Sofia tidak mau terlalu memikirkan hal itu.
Dengan uang dan kekuasaan, Nicholas maupun menyelesaikan masalah Sofia. Bahkan pria itu menyembunyikan identitas Sofia. Berharap agar tak ada satu orang pun yang bisa menemukan gadis itu, di masa depan nanti.
Milan, 03 Desember 2013 Kini kehamilan Sofia sudah memasuki masa untuk melahirkan. Mungkin dalam hitungan hari dia akan melahirkan. Selama hamil, Nicholas menjaganya dengan baik. Bahkan pria itu melarangnya mengerjakan pekerjaan yang berat. Sofia tinggal di apartemen bersama dengan Nicholas. Dia masih bekerja sebagai asisten di apartemen pria itu. “Sofia, ho portato questo per te (Sofia, aku bawakan ini untukmu).” Nicholas datang dengan membawa kotak pizza, yang beberapa bulan terakhir menjadi makanan favorit Sofia. “Grazie (Terima kasih).” Sofia menerima kotak yang diberikan Nicholas lalu membukanya. Dia menyantap dengan lahap pizza yang sangat lezat itu. Sofia sudah mahir dalam berbahasa Italia. Dia memang gadis yang cerdas, maka dari itu dalam waktu singkat, Sofia sudah berhasil menguasai bahasa tempat dia tinggal. “Delizioso (Enak).” Sofia mengacungkan dua ibu jarinya ke hadapan Nicholas dengan mulut penuh. Terlihat sangat menggemas
Sofia bangun ketika mendengar suara ketukan pintu. Dengan cepat, wanita itu mendudukkan diri di tepi tempat tidur. Berusaha mengembalikan kesadarannya. Semalam, setelah meninggalkan Nicholas begitu saja, Sofia langsung terlelap. Mungkin karena kelelahan, membuat ibu muda itu terlelap dengan sangat cepat. “Mom, El boleh masuk?” tanya suara kecil dari balik pintu. Sofia tersenyum, ketika mendengar suara anaknya. Ya, El selalu meminta izin untuk melakukan segala hal, termasuk untuk dapat masuk ke dalam kamar ibunya sendiri. Sofia segera berdiri, bergegas membuka pintu. Dia tersenyum mendapati wajah tampan milik El, yang masih berdiri di depan pintu menunggu dirinya. “Mom lama sekali.” El tampak kesal karena harus menunggu lama. Sofia langsung menyejajarkan tubuhnya, dengan tubuh anaknya, lalu mencubit gemas, pipi gembul itu. “Mom!” El menatap tajam ibunya. “Sorry Baby.” Sofia menangkup kedua pipi El, lalu menciumnya secara
Di belahan bumi lain. Pria berkulit eksotis itu tampak mendesah berkali-kali. Bukan desah kenikmatan seperti yang dia rasakan dulu, melainkan karena keputusasaan. “Harus ke mana lagi aku mencarimu?” Tatapannya kembali menerawang ke masa lalu. Sementara tangannya menggenggam erat, sebuah kalung bertuliskan nama gadis itu ‘Sofia’. Gadis yang berhasil mengubah hidupnya 180 derajat. Arnold masih ingat benar, netra cokelat yang berhasil membiusnya malam itu. Wajah bulat serta bibir tebal yang masih terus menari dalam ingatannya. “Kenapa? Kenapa Sofia?” Lagi-lagi Arnold mendesah berat. Hingga suara ketukan pintu membuatnya tersadar. Arnold kembali menyimpan kalung itu di laci meja kerjanya, lantas netra abu itu memastikan siapa yang masuk ke dalam ruangannya. “Honey!” seru wanita cantik dari balik pintu. Wanita dengan tinggi tubuh 175 cm itu, jalan berlenggak-lenggok menghampiri Arnold. Mini dress berwarna merah hati tampak menonjolk
Sofia merapikan kembali pakaian kerjanya. Lalu mengambil mantel tebal yang menggantung, dan mengenakannya. Jam pulang telah tiba. Setelah berpamitan kepada teman-teman kerjanya, Sofia segera keluar dari dalam toko pakaian tempat dia bekerja. Wanita itu sedikit berlari ketika mendapati Nicholas melambai dengan tersenyum hangat kepadanya. Pria berkulit putih itu ternyat sudah menunggu di parkiran toko. “Sudah pulang?” Sofia mengangguk. Dia segera mengambil sarung tangan dari dalam tas, lalu mengenakannya. Sebenarnya Sofia alergi udara dingin seperti ini, tetapi mau bagaimana lagi, tuntutan hidup membuatnya harus terus bertahan. “Cepat masuk! Di luar sangat dingin.” Nicholas segera membuka pintu mobil sport berwarna silver itu. Setelah memastikan Sofia masuk, Nicholas segera menyusul. . . . . . “Apa kau ingin segelas hot cokelat, atau hot cappucino?” tanya Nicholas di dalam perjalanan. “Boleh.” Sofi
Sofia menatap putranya yang sedang menikmati segelas susu hangat di pagi hari. Setelah kejadian malam tadi, Nicholas memutuskan untuk kembali ke apartemen pribadi miliknya. Merasa tidak enak karena sudah melakukan tindakan di luar batas. Sofia menggeleng pelan, kala mengingat kegilaan yang terjadi bersama Nicholas. Sungguh memalukan. Sofia merasa tidak memiliki wajah lagi, walau hanya sekadar untuk bertemu dengan pria itu. “Mom!” panggil El. “Ya.” Sofia menoleh. Lalu mengusap rambut hitam legam miliki putranya itu. “Mom tidak bekerja?” tanya El, sebab dia melihat ibunya masih mengenakan pakaian rumahan. Sofia menggeleng. “Toko ditutup untuk sementara. Badai salju yang terjadi tadi malam, masih menyisakan tumpukan salju di jalanan.” Setelah kepulangan Nicholas dan Kenzo, badai salju kembali menerpa kota Milan. Kali ini lebih besar. Hal itu mengakibatkan banyak tumpukan salju yang memenuhi jalanan. Pemerintah sudah mengerahkan seluruh pe
Jakarta, 23 Februari 2013 Di ruang tamu sebuah rumah mewah tampak seorang pemuda berusia 26 tahun sedang duduk dengan koran di tangannya. Bersantai di hari libur adalah hal langka dalam hidupnya. Ditemani secangkir kopi panas, pemuda itu tampak serius memperhatikan setiap berita yang tercetak di kertas koran. “Kakak!” teriak seorang gadis kecil yang hampir memecahkan gendang telinganya. “Fia kecilkan suaramu yang sangat mengganggu itu!” teriaknya. Sofia terkekeh. Gadis kecil itu adalah Sofia. Di usianya yang sudah menginjak 21 tahun tak membuat Sofia menghilangkan sifat kekanakannya. Dia semakin manja terlebih kepada kakak laki-laki kesayangannya. Ettan Askara pemuda 26 tahun itu adalah kakak Sofia satu-satunya. Putra sulung di keluarga Askara. Mendengar suara merdu sang adik sudah menjadi rutinitas di hari libur seperti ini. “Kakakku yang sangat tampan.” Sofia duduk tepat di sebelah Ettan. Senyum manis tersunggi
Jakarta, 25 Februari 2013 Sinar sang surya kembali menyapa para makhluk di bumi. Memberikan kehangatan serta semangat di pagi hari, tetapi berbeda dengan gadis yang masih bermalas-malasan, bergelung di bawah selimut tebalnya. Hawa dingin masih menyelimuti tubuhnya. Tak ayal hal itu semakin membuat jiwa malas yang ada di dalam dirinya semakin menjadi-jadi. Mendengar suara ketukan pintu. Ah tidak, lebih tepatnya suara gedoran yang mungkin bisa membuat pintu kamarnya jebol saat itu juga. Dengan enggan Sofia melangkahkan kakinya, turun dari tempat ternyamannya dan menuju pintu. “Hei tuan putri!” seru Ettan dari balik pintu dengan seringai khasnya. Sofia menatap jengah sang kakak. Kesal bukan main karena mimpi indahnya terganggu begitu saja karena kehadiran sang kakak. “Tumben Kakak ada di rumah,” gerutu Sofia dari balik pintu. Bukan tanpa alasan Sofia mengatakan hal demikian. Ini adalah hari Senin dan Sofia tahu bahwa kakaknya itu p
Milan, 02 Maret 2018 Detik demi detik berlalu begitu cepat. Tak terasa waktu keberangkatan Nicholas ke Indonesia semakin dekat. Sebelumnya Nicholas sempat menunda keberangkatannya sampai beberapa minggu. Musim dingin telah berganti. Suasana hangat mulai menyelimuti kota Milan. Dedaunan dan bunga-bunga mulai bersemi lagi. Aroma khas ini kembali menyapa para makhluk bumi di Milan Sofia membantu El untuk membereskan tas sekolahnya. Hari ini setelah libur musim dingin, putranya itu akan kembali masuk sekolah. Sofia tidak perlu merasa khawatir lagi meninggalkan El, sebab di sekolah akan lebih aman. “Nanti Mom jemput … ingat jika ada orang yang tidak dikenal menjemput, jangan pergi bersamanya!” pesan Sofia. El mengangguki perkataan ibunya. “Jangan menerima apa pun dari orang asing ….” Sofia mengusap lembut kepala El. “Jangan ….” Ucapan Sofia terhenti ketika El memotongnya. “Jangan berbicara dengan orang asing. El ingat