Nina menyiapkan semua barang-barang yang diperlukan Alana untuk pindah ke rumah Reynar. Alana juga ikut membantu Nina memasukan barang-barang di dalam koper. "Kita mau ke mana, Nin?” tanya Alana penasaran. “Pindah dari Villa Rose, Nona,” ucap Nina. "Pindah dari Villa, Nona. Keadaan Anda bisa dalam bahaya jika masih berada di Villa ini." "Iya sih. Hmm, Nina aku mau nanya sesuatu deh.” “Tanya apa Lan?” Nina masih sibuk dengan pakaian-pakaian Alana. “Hmm, Nin. Apa kamu tahu kalau Kenneth sudah memiliki tunangan?" Nina menoleh ke arah Alana. Mendengar pertanyaan Alana, ia menjadi gugup sendiri, tapi berusaha untuk tetap tenang. “Aku ga tau sih Lan. Aku juga baru kerja kan di sini,” ucap Nina berbohong. “Masa sih.” Alana menatap Nina curiga. “Astaga Lana. Mau si Reva itu tunangannya atau bukan, tapi Tuan Reynar ‘kan hanya peduli sama kamu. Buktinya selalu aja bela kamu loh, bahkan mati-matian melindungi kamu. Itu point paling penting.” “Tapi, tetap aja aku ga suka kayak git
Reynar dan Yudi sedang berbincang-bincang membicarakan tentang keamanan untuk menjaga Alana. Ia berniat untuk menyewa bodyguard untuk menjaga Alana. “Kamu memang tidak salah memilih teman, Rey. Perusahaanku memang ahlinya dalam keamanan,” ucap Yudi. “Ga usah terlalu berlebihan. Aku sudah tau itu,” ujar Reynar. “Hahaha, biasalah Rey promosi tipis-tipis.” “Tipis-tipis yaa tipis-tipis asal ga setipis tempe goreng aja.” “Kalau masalah tipis kayak tempe goreng malah enak Rey jadi kriuk.” “Ada aja caramu membalas semua omonganku.” “Ada dong namanya juga Yudi,” ucap Yudi sambil menaik turunkan alisnya. “Lalu kapan kamu membutuhkan bodyguard untuk Lana.” “Kapan lagi kalau bukan sekarang, masa nunggu tahun depan. Bisa-bisa lumutan aku.” “Beuh… sensi amat sih kayak test pack.” “Jangan banyak bicara deh. Apa aja yang bisa kamu tawarkan untuk bodyguard. Yaa, aku harus mengakui kalau perusahaan keamanan mu memang mumpuni buktinya Lana bisa kamu bawa kabur dari Villa Rose.” “Yah, dia bah
Wildan masih berada di rumah sakit menjaga Nina yang sudah sadarkan diri. Wildan merasa sangat bersalah pada Nina. Ia sudah memberitahukan pada Reynar tentang keadaan Nina yang mengalami keguguran. Awalnya, Reynar bingung siapa yang menghamili Nina, tapi melihat Wildan yang tampak sangat khawatir keadaan Nina jadi mengerti kalau Wildan lah yang bertanggung jawab. Reynar tidak mempermasalahkan Wildan menjaga Alana dan Hary, bahkan ia tidak ambil pusing dengan keadaan Nina dan Hary. Baginya sekarang keberadaan Alana jauh lebih penting. Ia sudah mencoba menghubungi telepon genggam Reva, tapi tidak aktif. ***3 hari kemudianSetelah tiga hari belum kehilangan jejak Reva dan Alana, akhirnya ia mendapatkan informasi tentang keberadaan Alana. Yudi memimpin misi penyelamatan Valencia. “Rey, kamu jangan gegabah dan kontrol emosimu,” ucap Yudi saat berada di dalam mobil. “Tapi ini menyangkut Alana bagaimana aku bisa mengontrol emosiku,” ujar Reynar. “Kalau kamu emosi terus melakukan tindak
Keesokan harinya di rumah sakit Alana terbangun dari tidurnya, ia merasakan beda sakit seluruh badannya dan di saat ingin bergerak ia merasakan tangannya ada yang memegangnya. Rasa sakit kembali menyusup di dalam hatinya, ia merasa sangat bersalah pada Reynar. Semua yang dialaminya dampak dari perbuatan Sinta. Seandainya, ia tidak mabuk dan menyetir mobilnya sendiri tentu semua kejadian ini tidak akan pernah terjadi. Ia masih bersama orang tua nya dan mungkin saja ia sudah lulus kuliah. Sekarang ia merasa sangat malu dan tak punya muka lagi untuk bersama dengan Reynar. Merasakan ada pergerakan Reynar terbangun. Ia menatap Alana dengan khawatir. “Aku panggilan dokter ya.” "Ga usah. Aku baik-baik saja," tolak Alana. Reynar menatap Alana dengan seksama. Ia memperhatikan wajah wanita yang dicintainya. Wajah Alana masih pucat dan tampak sayu. “Aku baik-baik saja Rey. Ga usah memanggil dokter,” ucap Alana lagi. “Ini bukan masalah kamu merasa baik-baik saja, tapi memang kamu haru
Mata Yudi terbelalak menatap wanita yang sedang meringis kesakitan sambil memegang kepalanya. “Kamu!” Seru Yudi tak percaya. “Hai Om,” sapa Julia.” "Ngapain kamu naik mobilku?" tanya Yudi dengan tak percaya. "Aku menumpang di mobilnya, Om. Aduh sakit loh Om kepalaku, kalau nyetir itu pelan-pelan Om, kayak balapan aja sih," keluar Julia. “Kamu ngapain numpang di mobilku. Keluar!" “Iya ... iya, aku keluar, tapi minta uang ya." Yudi menatap wanita calon istri Papanya dengan heran. "Ngapain minta uang sama aku, sana minta sama calon suamimu." "Idiih, mana mau aku nikah sama kakek - kakek tua itu. Mana kejam dan jahat lagi. Geli deh." "Terus kamu pikir aku itu baik? Yang kamu bilang kakek - kakek tua itu Papaku, loh." "Aku tahu kalau Om ini anaknya, tapi Om berbeda, Om itu baik." "Tahu dari mana aku baik?" "Om itu baik. Buktinya tadi Om menentang pernikahan menjijikkan itu, 'kan?" "Baru kamu yang bilang aku baik," gumam Yudi dengan pelan.
Di saat Alana sibuk dengan pemikirannya untuk pergi dari kehidupannya Reynar dan terlintas di dalam benaknya tentang meminta tolong pada Yudi, tiba-binti pintu kamar rawatnya terbuka. Betapa takjubnya Alana saat melihat kedatangan Yudi yang tampak bersinar seakan sebuah jawaban dari pertanyaannya.Mungkin aku bisa minta tolong Yudi untuk membantuku. Alana membatin.Kedatangan Yudi diiringi oleh Reynar dari belakang membuat sinar yang menyelimuti Yudi seakan sirna. Niatnya untuk memberitahukan tentang rencananya pada Yudi harus ditunda dulu demi semuanya menjadi lancar. Ia harus melakukan itu semua demi bayi dalam kandungannya. “Hai Lana. Gimana keadaanmu?” tanya Yudi. “Baik,” jawab Alana dengan wajah datar. Berbeda dengan Yudi yang tampak sumringah Reynar malah memperhatikan reaksi Alana. Bahkan Alana tidak mau melihatnya dan terlihat dingin padanya. Ia menjadi resah sendiri. Di dalam pikirannya, apakah Alana sudah tahu siapa dirinya yang sebenarnya sehingga Alana menjadi acuh. “K
Reynar masih di dalam kafe menikmati kopi yang mungkin bagi orang lain terasa begitu nikmat, tapi tidak untuknya. Ia sibuk dengan segala pemikirannya tentang Alana. Entah mengapa Alana seperti menghindarinya. Ia jadi khawatir apakah mungkin gadis itu tahu siapa dirinya. “Lebih baik aku ke ruang rawat Lana aja.” Reynar melangkahkan kakinya keluar dari kafe. Langkah kakinya terasa begitu berat. Ada keraguan di dalam setiap jejak-jejak kaki yang dilewatinya, tapi sebuah panggilan telepon membuatnya berhenti sejenak. Menatap layar di ponselnya untuk mengetahui siapa yang menghubunginya. Tertera nama Vena, Mamanya di layar telepon genggamnya. “Hallo Ma,” sapa Reynar. “Hallo Rey. Kamu lagi di mana, Nak?” tanya Vena. “Aku lagi keluar Ma. Ada apa?” “Bisa kamu ke rumah sebentar.” “Untuk sekarang belum bisa Ma.” “Tolonglah Nak pulang dulu. Ada yang ingin Mama bicarakan sama kamu. Pulang yaa Nak.” “Ada apa Ma? Sepertinya ada masalah yang serius.” “Nanti Mama jelaskan di rumah.” “Iya M
Setelah Reynar memutuskan komunikasinya dengan Yudi. Ia teringat dengan Julia, gadis tersebut tidak memiliki baju ganti. Ia menghubungi Joe untuk berbelanja pakaian wanita. Walaupun, kesal ia terpaksa membelikan Julia baju dari pada tidak berpakaian. “Pak kayaknya kaos ini bagus deh,” ucap Yudi memilih kaos berwarna hitam. “Pak, siapa sih yang mau dibeliin baju?” tanya Joe penasaran. “Nanti aku ceritakan kamu bantu aku pilih-pilih baju.” “Tapi gimana ukuran perempuan itu Pak? Tingginya seberapa? bentuk tubuhnya bagaimana? Kulitnya warna apa? Kalau salah pilih malah nanti jadi ga pantes.” “Hmm, usianya 18 tahun, tingginya standar sih, bodynya kurus, kulitnya putih, wajahnya cantik cuman ga terawat aja.” “Owalah masih remaja yaa Pak.” “Iya.” “Ya udah Pak, aku bantu pilihin.” “Ok.” “Pak ini kaos gambar permen warna merah muda lucu deh.” “Iya masukin aja ke keranjang,” ucap Yudi cuek. “Ini juga lucu loh Pak Yudi gambar boneka.” “Iya.” “Dressnya imut.” “Ambil aja yang menuru