Pintu terhempas, nampak Bima dan Vina muncul dengan nafas tersengal. Neta sudah terpasang infus dan sedang berada dalam pangkuan Anita, sementara dua lelaki dengan setelan scrub itu nampak berdiri sedikit lebih jauh dari tempat Neta dan Anita berada.
“Nah Bim, kemari!” titah Agus sambil melambaikan tangan, kode bahwa dia ingin Bima mendekat ke arahnya.
Bima mengangguk, hendak melangkah ketika tangan Vina mengamit tangannya. Sontak Bima menoleh, mata mereka bertemu dan dari sorot mata itu, nampak terlihat sangat bahwa Vina ingin ikut bersamanya mendekati dokter Agus.
Bima menghela napas panjang, mengangguk lalu melangkahkan kaki sebagai jawaban dari sorot mata yang sama sekali tidak bisa Bima tolak.
“Dok, bag--.”
“Darah belum mau seratus persen berhenti, Bim. Maaf harus aku tutup kasa dan aku pasang infus untuk memasukkan beberapa obat.” Jelas Agus memotong kalimat Bima.
Bima kembali menghela napas, mengang
Bernard Soulier Syndrome.Kalimat itu yang terus terngiang di telinga Vina sekarang. Dokter Agus sudah pamit sejak beberapa saat yang lalu. Kini di ruangan itu tinggal mereka berlima. Anetta sendiri sudah kembali terlelap setelah Andi menggendongnya dengan infus tergantung. Vina termenung sendiri, Anetta bersama sangat nenek dan bapak-anak itu tengah mengobrol dengan istilah-istilah asing yang tidak Vina mengerti.Air mata Vina kembali menitik. Penyakit yang sangat langka, penyakin genetik yang tidak bisa disembuhkan. Penyakit yang bisa mengancam jiwa jika pendarahan terus terjadi dan tidak terkendali. Kenapa harus monster itu yang hidup dalam tubuh Anetta?"Vin?"Vina mengangkat wajah, menatap Bima yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingnya. Bima menarik kursi meja makan, duduk di sisi Vina lantas menghela napas panjang."Kenapa kau tidak bilang sejak awal perihal penyakit itu, Mas? Kenapa jawabanmu selalu menunggu has
"Kau yakin, Mas?" Vina melangkah di sisi Bima yang pagi itu sudah mandi dan bersiap pulang. pulang untuk membicarakan hal penting dengan sang istri. Apa lagi kalau bukan membahas perceraian mereka?"Tentu, akan aku buktikan kalau aku serius, Vin."Vina menghela napas panjang, kenapa dia jadi merasa tidak tega dengan wanita itu? Wanita yang menjadi istri dari ayah anaknya. Tidak bisa Vina bayangkan bagaimana hancurnya perasaan dan hati wanita itu kalau tahu suaminya punya anak dari wanita lain.Tapi semua itu bukan salah Vina! Dia kalau disuruh memilih tentu tidak mau harus punya anak dengan cara seperti ini. Wanita mana yang mau? Terlebih dulu Vina masih gadis belia yang baru lulus SMA."Aku harap dia bisa mengerti, walaupun kalau aku berada di posisinya, aku belum tentu bisa terima dengan lapang dada apa yang sudah suamiku lakukan di belakangku."Bima meraih tangan Vina, menggenggam dan meremas tangan itu dengan begitu lembut. Vi
“Mas ... kenapa?” Melinda benar-benar tidak kalut, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa suaminya malah jadi begini?Melinda yakin, ada sesuatu hal yang Bima sembunyikan darinya. Tapi apa? Melinda sama sekali tidak memalingkan wajah, masih menatap wajah Bima dengan saksama dan berharap jawaban yang dia ingin dengar bisa sesegera mungkin meluncur keluar dari mulut sang suami.“Aku sudah berkhianat padamu, Mel. Berkhianat bahkan jauh sebelum kita menikah. Aku minta maaf.” Desis Bima yanng sontak membuat Melinda terbelalak.Jantung Melinda rasanya seperti mau lepas. Ia mencoba menafsirkan semua kalimat itu dalam satu kesimpulan yang mendekati, dan semua itu berujung pada suatu dugaan yang begitu pedih menusuk hatinya.Bima bilang kalua dia berkhianat? Jauh sebelum mereka menikah? Apakah itu artinya ...“Aku ada hubungan dengan wanita lain, Mel. Meskipun hanya kisah satu malam, tetapi dari hubungan satu malam itu meninggalka
Melinda menghela napas panjang, ia menatap lelaki yang perhari ini sudah tidak lagi menjadi suaminya, ya ... Meskipun perceraian mereka belum disahkan secara negara. Bima nampak masih menundukkan wajah, setelah kalimat itu keluar dari mulutnya, tidak ada lagi percakapan apapun yang terjadi. Mereka membisu diam di meja makan."Kau berangkat jam berapa, Mel? Mau aku antar?" Bima lebih dulu buka suara setelah sekian lama mereka diam dalam pikiran masing-masing.Melinda tersenyum simpul, meraih gelas susunya lalu meneguk isi yang sejak tadi dia abaikan."Kamu tidak berangkat kerja memangnya? Tidak perlu mandi dan lain-lain dulu?" Melinda menjawab, menatap Bima yang masih diam di tempatnya duduk."Aku sudah mandi sejak subuh tadi. Bagaimana? Mau aku antar? Untuk yang terakhir kalinya."'Untuk yang terakhir kalinya ....'Melinda kembali tersebut getir, ya Bima benar! Mungkin ini akan menjadi saat terakhir kalinya Melinda di
Vina hendak melangkah ke minimarket ketika suara itu memanggilnya dengan begitu keras. Vina menoleh dan mengerutkan kening ketika sosok itu melambaikan tangan dan berlari ke arahnya."Mau kemana?" tanya Bima ketika sudah berada di dekatnya."Beli camilan, kenapa?" Vina bosan hanya diam saja, oleh karena itu dia bertekad menyelesaikan skripsinya sambil menunggui Anetta, jadi tentu saja dia butuh camilan untuk menemani pengerjaan tugas akhir penentuan hidup dan matinya di universitas."Sudah sarapan?" bukannya menjawab, Bima malah balik bertanya, membuat Vina tersenyum simpul sambil menghela napas panjang."Belum, ini mau cari sekalian." Vina memang belum makan, Ani hanya bawa dua porsi nasi uduk dan dia lebih memilih membaginya dengan calon besan daripada dengan anaknya ini."Sarapan sama-sama, yuk?" Bima meraih tangan Vina menariknya kembali masuk ke gerbang rumah sakit."Ehh ... mau kemana?" Vina sedikit terkejut, tapi entah mengapa dia tid
Bima menatap Vina yang tengah asyik menyantap sepiring nasi rames yang dia pesan di kantin rumah sakit. Bima sendiri hanya memesan secangkir kopi dan memilih untuk menikmati wajah yang sudah begitu lama dia cari. Semakin lama, Bima semakin sadar bahwa Vina benar-benar mampu mencuri dan mengalihkan dunia Bima seketika.Memang terdengar kejam, terutama untuk Melinda, tetapi Bima tidak bisa memungkiri bahwa ia benar-benar jatuh cinta pada Vina bukan karena dia sudah memberikan seorang anak untuk Bima.“Laper banget apa doyan?”goda Bima sambil tersenyum jahil.Vina lantas mengangkat wajah, menatap Bima dengan mulut setengah terbuka yang penuh dengan nasi. Dengan segera dia mengunyah nasi di dalam mulutnya, menelan nasi dengan susah payah lalu memanyunkan bibir.“Laper bin doyan, kenapa?” sembur Vina lalu kembali menyuapkan nasi ke dalam mulut.Bima terkekeh, anak muda zaman sekarang memang beda, ya? Ia menopang dagu, masih
Melinda masuk ke dalam kamar. Matanya menatap nanar kamar yang selama ini menjadi tempat dia pulang dan melepaskan penat. Tempat di mana dia dan Bima selalu menghabiskan waktu mereka bersama dengan begitu intim.Sekali lagi Melinda menitikkan air mata, dadanya mendadak sesak. Rencana awalnya tadi adalah mengemasi barangnya dan segera angkat kaki malam ini juga dari rumah ini. Namun Anita melarang, Anita mati-matian tidak mengizinkan Melinda pulang malam ini.‘Tidak! Tidur sini malam ini, Mel. Biar besok Mama sama Papa dan Bima yang antar kamu. Kamu tidak boleh pulang sendirian.’Melinda menghela napas panjang, menyeka air mata dan melangkahkan kaki mendekati ranjang. Ia menjatuhkan diri di kasur itu. Kasur dengan harga puluhan juta yang selama ini begitu nyaman membantunya menghabiskan malam.“Kuat, Mel! Kamu kuat!” desisnya mencoba kembali menata hati.Lampu kristal yang tergantung di langit-langit kamar memantulkan cahaya
"Belum selesai?" Bima duduk di sisi Vina yang masih sibuk dengan buku-buku dan laptopnya. Anetta sendiri sudah dia tidurkan di ranjang setelah sang nenek berkali-kali protes.Kini gadis cantik kesayangan Bima itu berganti tidur dalam pelukan sang nenek. Tampak begitu damai dan bahagia."Belum, Mas udah capek gendongnya?" Tanya Vina sarkas, ia sama sekali tidak menoleh ke arah Bima, membuat lelaki itu sontak tertawa lirih."Belum, kamu mau digendong juga?" Tanya Bima setengah menggoda.Vina menoleh, menatap Bima yang nyengir lebar menatapnya itu. Sebuah cubitan Vina lemparkan pada perut lelaki yang entah mengapa kini mampu menghapuskan hampir sebagian kebencian yang pernah Vina miliki untuknya.Bima tergelak, hampir saja ia berteriak kalau saja Ani tidak memberi kode. Tangan Vina masih mencubit perutnya membuat Bima menatap ke dalam mata itu."Lepas dong! Sakit!" Mohon Bima sambil meringis."Nggak! Harusny