"Nona muda Smitt!" teriak salah satu dari mereka, membuat Alan syok karena ada yang mengenali identitas aslinya.
Wanita itu membekap bibirnya dengan sebelah tangannya. Bahkan teman-temannya kini sudah heboh dan saling memekik.
Emma yang diam memperhatikan kini ikut berjalan mendekat ke arah Alan yang masih diam mematung duduk di atas sofa.
"Anda, benar-benar Nona muda Smitt?" tanyanya. Mata biru Emma sampai tak mampu berkedip melihat wajah cantik Alanair terpampang nyata di hadapannya. Baru saja dia mengantarkan wanita itu dengan dandanannya yang norak dan ketinggalan jaman, dan sekarang bagai seorang pesulap. Wajah itu berubah drastis. Menjadi, seorang wanita anggun dan cantik walau hanya dalam balutan kimono mandi dan tanpa makeup.
Sejak dulu, Alanair Smitt terkenal dengan wajah cantiknya yang menawan. Seorang putri bangsawan dari Norwig, yang tiba-tiba menghilang 2 tahun silam, tanpa ada kabar. Bahkan keluarga Smitt bungkam atas menghilangnya
Bunyi deritan pintu yang dibuka dari luar membuatnya cepat-cepat merapikan berkas-berkas yang berserakan di atas meja kerjanya dan menaruhnya asal di dalam laci nakas. Matanya menangkap sosok puteranya yang kini berjalan santai memasuki ruangan khususnya ini di mansion Wildberg. "Papa," ucap Gavin yang langsung saja masuk ke dalam tanpa permisi. "Kenapa kau tidak mengetuk pintunya." Joseph sedikit geram. "Papa tidak mendengarnya," jawabnya santai. "Ada apa kau ke mari?" tanyanya. Gavin tak langsung menjawab. Pemuda itu memilih menghempaskan tubuhnya pada sofa panjang yang terlihat mewah di ruangan kerja ayahnya. Netranya menatap serius ke arah Joseph sebelum dia membuka bibirnya, "Aku ingin melanjutkan kuliah S2 ku yang sempat tertunda karena Papa memaksaku menikahi si buruk rupa itu," ucap pria tampan itu tiba-tiba. "Tutup mulutmu, Gavin. Alan adalah istrimu!" Dia berseru. "Mantan, Papa. Jika Papa lupa. Bahka
"Kau benar-benar, Nona Smitt!" Peter nyaris saja menjatuhkan cangkir kopinya saat melihat gadis yang ia tolong berjalan ke arah ruang keluarga di mana dia dan istrinya tengah mengobrol diantar oleh Emma. Peter bercerita pada istrinya jika dia bertemu dengan seorang gadis malang bernama Alanair. Elisa—istri Peter— sempat sedikit terkejut karena gadis itu memiliki nama yang sama dengan pewaris Smitt yang kaya raya itu. Tetapi, dia sadar jika orang yang memiliki nama Alanair bukan hanya seorang saja. Namun kini sesosok perempuan cantik berdiri di samping Emma, dia baru sadar jika wanita itu adalah Alanair Smitt. "Kau benar-benar Nona Smitt, astaga!" Elisa membekap bibirnya tak percaya. Wanita itu hampir saja pingsan. Bukan apa-apa dari dulu Elisa sangat mengangumi sosok Alanair Smitt, gadis muda yang dermawan dan kerap menjadi donatur di beberapa panti asuhan. Akan tetapi, gadis itu begitu rendah diri dan tak pernah menyombongkan dirinya dengan sering tampil di depan pu
Air mata Alan berderai seiring bibirnya yang terus bergumam menceritakan semua kisah pilunya saat masih berada di mansion Wildberg. Ia mengalirkan semua yang membuat sesak di dadanya. Ia keluarkan semuanya. Semua kehancuran hidupnya. Elisa bahkan tak sanggup berkomentar apapun. Hidup Alan terlalu menyakitkan. Ia bahkan tak bisa membayangkan andai dirinya di posisi Alan. Tentu, ia sudah memilih mati sejak dulu. "Apa Tuan Smitt mengusir anda, Nona?" tanya Peter sembari memeluk tubuh Elisa yang bergetar akibat tangis. Istrinya itu orang yang begitu perasa dan sedikit cengeng. Apalagi mendengar kisah hidup Alan selama 2 tahun terakhir ini yang cukup menguras air mata. Kisah Alan bagai kisah drama telenovela yang kerap ibunya tonton dulu. Seorang gadis miskin yang selalu tertindas oleh ibu mertua kejam. Tetapi, di sini Alan jelas berbeda, gadis itu berpura-pura miskin dan menjadi bahan penind
Nay meniup gelas berisi coklat panas yang baru saja ia pesan dari Caffe yang terletak di seberang hotel tempat ia dan Lucas menginap. Udara pagi ini cukup dingin, jadi dia memilih memesan secangkir coklat panas untuk menghangatkan tubuhnya dan sepotong wafle untuk sarapan paginya. Di sampingnya duduk seorang Lucas Marques yang juga tengah menyesap kopi hitam. Bibirnya menguap berkali-kali menahan kantuk. Semalaman mata sipit Lucas tak terpejam sedikitpun, setelah mereka pulang tanpa hasil dan tanpa jejak sedikitpun tentang keberadaan Alanair Welington. Mereka akhirnya kembali ke hotel dengan kekecewaan. Helaan napas berat yang Nay hembuskan, membuat tatapan pemuda tampan itu beralih padanya. Matanya yang sewarna dengan milik gadis di hadapannya ini dengan segera menangkap tubuh Nay yang terlihat gelisah dalam duduknya.
Peter sudah bersiap duduk di balik kemudi. Laki-laki itu menunggu sosok Alanair yang masih berkemas di dalam. Cukup sulit saat merayu wanita muda itu untuk ikut kembali pulang ke Norwig. Mungkin saja hatinya masih belum siap untuk kembali merasakan penolakan. Butuh waktu 30 menit, saat Peter melihat sosok Alan yang cantik bak putri raja di era modern keluar dari dalam rumahnya bersama Elisa yang berjalan di sampingnya. Wajahnya yang cantik natural tanpa sentuhan makeup dengan bibir pinknya. Raut wajahnya yang bagai nona muda abad pertengahan, namun tak terkesan arogan, membuat dirinya memiliki pesona keluarga bangsawan yang tak terbantahkan. "Jika Gavin Wildberg melihat penampilan anda seperti ini, saya yakin, pria itu akan mengemis cinta pada anda, Nona," ujar Peter. Alan hanya tersenyum tipis ke arah Peter, "Aku tidak mau dia mencintai karena aku adalah Alanair Smitt, Tuan Warsen. Tidak peduli dia berangkat dari keluarga biasa saja, aku hanya
"Ana!" Suara itu seolah meruntuhkan nyali yang telah Alan kumpulkan. Tubuhnya bergetar hebat, wajahnya sontak menunduk ketakutan. Dia takut pria itu akan melayangkan pukulan atau tamparan di wajahnya seperti dua tahun silam. Begitu pria dengan rambutnya yang telah berubah warna menjadi putih di beberapa bagian itu berjalan angkuh ke arah mereka. Semua orang membungkuk 90 derajat kepada laki-laki pemimpin perusahaan raksasa yang merajai kerjaan industri, di benua Amerika tersebut. "Ana!" Suara itu sekali lagi menyapa indera pendengaran Alan. Namun, wajahnya tak berani untuk sekedar mendongak menatap sosok yang adalah ayahnya. "Tuan Smitt, maaf saya datang tidak memberi kabar," ucap Peter yang merasa tidak enak karena dia tiba-tiba datang tanpa memberi tahu sebelumnya. Niatnya dia ingin memberi kejutan untuk pria berwajah dingin tersebut. Pria itu hanya melirik Peter sesaat, dan kembali mengalihkan atensinya pada sosok putrinya yang masih
Joseph sudah frustasi, ia tak bisa menemukan di mana keberadaan putri bungsunya, dan juga menantunya. Sial, bahkan dia telah menyewa detektif terbaik untuk mencari Zenaya, dan Alanair di seluruh daratan Amerika, tapi tak juga menemukan jejak kedua perempuan itu. Mereka seolah lenyap ditelan segitiga bermuda. Apalagi puterinya, dia sangat khawatir dengan Zenaya yang tak kunjung ada infomasi tentangnya. "Suamiku, apa orang suruhanmu belum mampu menemukan di mana Nay berada?" tanya Grifida yang setiap hari menekan suaminya itu. Wanita itu masuk tanpa permisi, dan sekarang memilih menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Joseph menatap nyalang sosok wanita yang ia nikahi 25 tahun silam. Ia mengeratkan kepalan tangannya. Sungguh, jika saja ia mampu menghubungi keponakannya, pasti dia telah mencecar pemuda itu. Dia
Wanita itu masih menunduk. Bibirnya terkatup rapat tak berani menjawab pertanyaan dari ayahnya. Saat ini Alanair masih bersimpuh di depan ayahnya. Alexander yang masih enggan menatap putrinya dengan tangan saling tertaut di belakang punggungnya. Dia hanyalah seorang ayah yang berharap memiliki seorang anak yang mampu dia banggakan, menjadi penerus kerajaan bisnis Smitt yang merajai perindustrian di Amerika. Tetapi apa, puteri yang ia banggakan kini merusak nama baiknya sendiri. "Papa, kumohon terimalah aku kembali di dalam keluarga ini," ujarnya. Ia rendahkan harga dirinya. Ia tepis rasa malunya agar kembali mendapat pengakuan dari sosok yang berdiri angkuh tepat di hadapannya. "Alasan apa aku harus menerimamu kembali, bahkan kau sudah mencoreng nama keluarga Smitt, haruskah aku masih berbaik hati untuk menerimamu kembali. Setelah apa yang kau perbuat selama ini, Alana!" seru Alexander. Tangan pria itu mengepal. Jujur, rasa kecewa itu masihlah besar unt